Bu Payem dan Bu Paimi adalah gambaran betapa kemiskinan masih menjadi sesuatu yang nyata ada di sekitar kita, tetapi pemerintah masih tutup mata untuk segera menyelesaikannya.
Seharusnya kita tidak mendengar lagi kisah-kisah para lansia yang hidup dalam kemelaratan yang amat pelik, hingga sampai untuk makan saja, harus mengais beras gabah sisa.
Saya yakin pemerintah sebenarnya sudah tahu banyak masalah ini, dan menjalankan program-program bantuan sosial namun kita melihatnya masih belum efektif tepat sasaran.
Bansos Belum Tepat Sasaran
Menurut Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Hempri Suyatna yang diungkapkan kepada Kompas TV (22/11/2021), mengungkapkan terdapat 3 faktor mengapa Bantuan Sosial (bansos) yang dilakukan Pemerintah masih belum tepat sasaran.
Faktor pertama adalah masih banyaknya masyarakat yang sebetulnya tidak dikategorikan miskin, namun mereka turut mendaftar sebagai kelompok yang bisa diberikan bansos. Mereka ini disebut sebagai masyarakat bermental miskin.
Akibatnya beberapa kelompok masyarakat miskin yang seharusnya mendapatkan haknya justru tidak mendapat jatah bansos sebagaimana mestinya, data base menjadi kacau dan lain sebagainya.
Masalah mental gratisan memang sesuatu yang pelik pada masyarakat kita, karena perihal ini terjadi di berbagai lini masyarakat, dimana untuk level elit pun maunya gratisan dengan cara perilaku koruptif.
Faktor kedua yaitu verifikasi dan validasi data kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak terintegrasi dan terupdate dengan baik sehingga banyak warga yang berkategori mampu masih terdata sebagai penerima bantuan.Â
Pembaruan data di tingkat pemerintah daerah atau desa seharusnya selalu di-update secara berkala, bukan baru diambil datanya ketika ada program bansos tiba.
Hal ini teramat penting karena kebermanfaatannya juga tidak hanya untuk keperluan bansos, tetapi juga untuk hal administratif lainnya seperti DPT pemilu dan lainnya.