Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas Indonesia Dipenuhi Pemain Bule, Patutkah ?

13 Juni 2024   17:25 Diperbarui: 13 Juni 2024   17:40 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Pemain Naturalisasi dan Keturunan  (sumber : Bola.net )

Ada hal yang menarik Pada pertandingan final piala dunia Qatar 2022 Antara Argentina melawan juara bertahan Perancis. Hal yang menarik terjadi pada saat babak perpanjangan waktu, dimana tim Ayam Jantan Perancis mulai melakukan pergantian pemain, dan akhirnya terjadilah pemandangan yang aneh dalam tim Les Blues ini, yaitu seolah saya melihat bukan melihat timnas Perancis, tetapi timnas dari Afrika.

Bukan bermaksud rasis, pada babak perpanjangan waktu ini, semua pemain 'kulit putih' Perancis yang berada di starting line up ditarik dan digantikan para pemain 'kulit hitam', hingga akhirnya hanya menyisakan kiper  Hugo Lloris yang berkulit putih di lapangan, karena Griezmann dan Giroud ditarik keluar. Menjadi aneh bagi saya, karena sepengetahuan saya orang Perancis itu seperti Asterix Obelix yang berkulit putih, berhidung mancung, rambutnya pirang atau brunette  serta raut wajah khas mediterania kaukasoid.

Timnas Prancis dalam dua dekade terakhir adalah gambaran ekstrem tentang tim nasional yang diisi pemain hasil naturalisasi dan keturunan, pemain mereka rata-rata adalah keturunan imigran dari negara-negara Afrika, ketika mereka beranjak dewasa mereka baru memutuskan untuk menjadi warga negara Perancis atau warga negara asal dari jejak keturunan orang tuanya. Kenapa saya katakan ekstrem, maaf sekali lagi bukan bermaksud rasis, dikarenakan hampir 90 persen pemain timnas perancis keturunan imigran berkulit hitam dari negara-negara afrika sub-sahara, sehingga seolah hanya 'menyisakan' sedikit pemain 'pribumi' Asterix Obelix dalam susunan pemain.

Kombinasi fisik pemain kulit hitam Afika yang atletis kekar dipadu dengan fasilitas pembinaan sepakbola Perancis yang kelas wahid, maka jadilah timnas Perancis layaknya team Dream Team Basket  NBA Amerika Serikat yang didominasi pemain berkulit hitam.

Lalu, bagaimana dengan proyek pemain naturalisasi keturunan warisan pada timnas Indonesia. Kata istri saya, "itu timnas Jowo opo timnas Bule ?", ya itulah sekilas pandangan orang-orang yang tak tahu banyak tentang sepakbola. Sebagai penikmat bola, hal tersebut sebenarnya bukan masalah, tetapi memang ada yang kurang patut jika kita berbicara masalah nasionalisme.

Artikel ini saya angkat karena hampir semua pemain keturunan 'bule' tersebut ternyata tidak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan tidak tahu banyak hal tentang tanah air leluhurnya. Sehingga seolah mereka semua  pemain ini menjadi 'mendadak Indonesia'. Dalam artian, sudah berwajah bule, tak bisa lancar bahasa Indonesia lagi, yang penting bisa main bola saja, sudah menjadi tiket menjadi warga negara Indonesia.

Jika kita melihat timnas Perancis saat ini yang didominasi pemain kulit hitam keturunan Afrika, saya yakin 100 % mereka semua sangat lancar berbahasa Perancis bahkan hidup layaknya seperti orang Perancis pada umumnya.

Lalu bagaimana dengan Timnas Maroko, yang sering dibanding-bandingkan dengan timnas Indonesia yang merekrut pemain naturalisasi keturunan dari beberapa negara Eropa seperti Hakim Ziyech, Achraf Hakimi, Sofyan Amrabat dan lainnya . Saya pun yakin walau mereka hidup bersama ayah ibunya di Eropa, mereka tetap bisa berbahasa Arab dialek Maroko dan mempraktekan tradisi Islam, karena mereka tetap menjaga tradisi negara asal walau di berada perantauan. Kebanyakan orangtuanya adalah imigran pekerja informal, dan kedua ayah ibunya biasanya masih orang asli Maroko, jadi adat tradisi masih terjaga.

Secara fisik, tidak ada perbedaan signifikan antara pemain naturalisasi keturunan dengan pemain asli domestik pada timnas Maroko, yang berwajah Arab. Dan yang paling terlihat, dari nama-nama pemainnya yang masih khas nama Arab-Maroko membuktikkan walau di tanah perantauan, mereka tetap menjaga tradisi Maroko dengan memakai nama kultur asli.

Tidak bisa kita pungkiri, proyek pemain naturalisasi keturunan tidak lepas dari tangan dingin pelatih Shin Tae Young dan pengaruh Ketua Umum PSSI, pak Erick Thohir. Bagi saya pribadi, hal tersebut tak masalah dalam konteks administrasi serta prestasi dari timnas itu sendiri, sama sekali tidak menyalahi aturan-aturan kewarganegaraan yang ada.

Pada awalnya saya sebagai penikmat bola, senang-senang saja kontribusi Jay Idzes, Rafael Struick dan pemain keturunan lainnya berdampak positif terhadap prestasi timnas, namun saya menjadi agak sedikit miris, ketika mereka diwawancarai, mereka selalu berbahasa inggris dan terang-terangan mereka mengatakan baru saja mempelajari beberapa kata bahasa Indonesia.

Jikalau hanya 1 atau 2 pemain saja mungkin tak masalah yang memang perlu adaptasi dengan kultur Indonesia, tetapi faktanya hampir seluruh pemain naturalisasi keturunan tak mahir berbahasa Indonesia dan sangat sedikit tahu tentang tanah air Indonesia. Bisa anda bayangkan pemain-pemain bule ini bakalan seperti timnas Prancis, dimana seandainya kesebelas pemain bule  bermain di starting line-up, dan kesemuanya berkomunikasi dengan bahasa Inggris, jujur jiwa nasionalisme saya sebagai bangsa Indonesia merasa teriris.

Lalu langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan PSSI agar para pemain naturalisasi keturunan ini agar benar-benar bisa menjiwai kewarganegaraannya dengan sungguh-sungguh, berikut beberapa hal yang bisa dilakukan.

Target Bisa Berbahasa Indonesia

Saya pernah melihat video Youtube tentang para imigran Indonesia yang berkerja di Eropa, dimana salah satu syarat agar dapat ijin berkerja disana, mereka harus melalui berbagai tes, dan salah satunya adalah tes kemampuan dasar bahasa negara tersebut. Hal ini tentunya adalah suatu gambaran dimana bumi dipijak, maka disitulah langit dijunjung.

Para pemain naturalisasi keturunan harus diberikan target selama 6 bulan atau setahun untuk paling tidak bisa berkomunikasi berbahasa Indonesia secara dasar, setelah mereka secara resmi menjadi WNI. Mereka bisa ikut kursus privat atau belajar dengan saudara mereka yang mampu berbahasa Indonesia.

Permasalahannya mereka bukanlah orang turis bule yang menikah dengan orang lokal Indonesia, mereka adalah  perwakilan bangsa di kancah olahraga, maka jiwa nasionalisme harus benar-benar tertanam dalam jiwa sanubari mereka, dan salah satunya adalah kemauan untuk belajar bahasa Indonesia secara sungguh-sungguh.

Team Talk Wajib Bahasa Indonesia

Dalam suatu video viral suasana timnas sedang makan malam jelang pertandingan esoknya, tampak pak Erick Thohir menghampiri para pemain, dan menjadi miris dimana komunikasi yang digunakan adalah bahasa Inggris, padahal disana berbaur antara pemain keturunan dan pemain domestik lokal. Saya pun berteriak dalam hati, bukankah ini timnas dari Republik Indonesia, bukan timnas Belanda. Mohon maaf, dalam konteks komunikasi umum tim atau 'team talk' harus wajib menggunakan Bahasa Indonesia, jika menyangkut teknis perorangan, tak masalah pelatih teknik gunakan bahasa Inggris kepada pemain keturunan.

Suka tak suka, ketika pelatih Teknik Nova Ariyanto atau penerjemah Shin Tae Young menjelaskan penjelasan umum dengan Bahasa Indonesia, kemudian pemain naturalisasi keturunan merasa tak paham, itu sudah menjadi risiko profesional, maka mereka pun harus mau belajar Bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh.

Sewaktu pertandingan Timnas melawan Filipina pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia kemarin, terlihat jelas dari starting line up didominasi para pemain bule, dan hanya menyisakan hanya 4 pemain lokal. Sayup-sayup saya mendengar team talk antar pemain pada pertandingan itu, menggunakan bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Jika sudah begini, PSSI jangan baper, kalau Timnas Indonesia disindir sebagai Timnas KNVB. Maka dari itu, PSSI harus mewajibkan 'Bahasa Indonesia' sebagai bahasa pengantar utama dalam Timnas.

Membaur Kegiatan Diaspora Indonesia

Para penggemar Timnas sekarang memang sedang euforia kebangkitannya yang dimotori para pemain-pemain bule keturunan ini. Tapi saya yakin, kebanyakan para fans tidak belajar sejarah masa lalu nenek moyang para pemain ini. Saya tidak usah menyebut nama, dimana ada beberapa para pemain bule keturunan ini, memiliki nenek moyang yang sejarah masa lalunya kelam dalam perjalanan bangsa ini. Ada yang kakeknya keturunan perwira KNIL yang dulunya diusir oleh pejuang Republik, ada juga keturunan yang nenek moyangnya dulu memang dekat dengan pemerintah Hindia Belanda, dan ketika terjadi invasi Jepang, mereka memilih eksodus ke Belanda. Kini, para meneer-meneer ini kembali ke Indische dan dielu-elukan bak pahlawan oleh penduduk lokal.

Tapi itu sudah masa lalu, yang lalu sudahlah berlalu, dan yang pasti mereka semua sudah resmi menjadi WNI, bukan sekedar warga negara biasa, tetapi seorang perwakilan bangsa di kancah Internasional. Maka dari itu, sudah sepatutnya mereka mau berbaur dengan warga Indonesia, paling tidak mengikuti kegiatan komunitas kaum diaspora Indonesia dimana mereka tinggal.

Hal tersebut teramat penting, agar mereka benar-benar mau mempelajari kebudayaan nenek moyang mereka dengan mengikuti kegiatan-kegiatan Diaspora Indonesia. Bukankah mereka banyak dibantu oleh pihak Kedubes kita serta Komunitas Diaspora dalam kepengurusan administrasinya untuk menjadi WNI, maka dari itu sudah sepatutnya mereka harus menyelami ke-Indonesia-an melalui kegiatan-kegiatan tersebut.

Persaingan Alami di Timnas

Sekali lagi, starting line up Timnas merupakan hak prerogratif Pelatih Kepala, Shin Tae Young, jika dia mau kesebelas pemainnya adalah para pemain naturalisasi dan keturunan pun tak masalah, intinya yang terbaik-lah yang layak masuk  'winning eleven' terbaik.

Perihal ini pernah menjadi perhatian dari pemain internasional asal Belgia keturunan Batak, Radja Nainggolan, dimana dia berujar PSSI seolah serampangan menggaet para pemain keturunan untuk menjadi WNI, dan hanya dengan waktu singkat dalam proses menjadi WNI langsung menjadi starter di Timnas dalam hitungan hari.

Kritik dari Radja Nainggolan patut menjadi perhatian bagi PSSI dan staf Timnas, bahwa proses seleksi pemain yang bisa masuk skuad utama timnas haruslah benar-benar alami. Kita tentunya masih ingat Van Beukeuring yang badannya tambun bisa masuk skuad utama timnas, dan semoga hal itu tidak terulang kembali. Intinya jangan sampai seperti membeli kucing dalam tas plastik, kita bisa lihat sudah ada beberapa pemain naturalisasi keturunan yang masuk timnas beberapa tahun lalu, ternyata under perform, dan tak dipanggil lagi oleh STY. Sekali lagi, seleksi pemain timnas haruslah benar-benar alami, bukan karena berwajah bule dan juga bukan titipan, 'yang terbaik yang masuk'.

Saya pribadi tidak ada masalah antara pemain naturalisasi keturunan dan pemain lokal, mereka semua adalah WNI, punya hak yang sama untuk membela Garuda.  Seperti pembicaraan saya dengan Mas Greg Satria, Kompasianer Bola terkeren, dimana beliau menuturkan bahwa ini adalah proses transfer ilmu, saya sepakat, kita tidak memungkiri, bahwa para pemain naturalisasi keturunan ini memang membawa gaya permainan Timnas menjadi lebih modern dan enak ditonton. Namun yang menjadi catatan adalah kalau sudah menjadi WNI, jadilah orang Indonesia sebenar-benarnya, jangan hanya bisa bilang "Syaya Syuka Nawsi Gowreng". Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun