Pada awalnya saya sebagai penikmat bola, senang-senang saja kontribusi Jay Idzes, Rafael Struick dan pemain keturunan lainnya berdampak positif terhadap prestasi timnas, namun saya menjadi agak sedikit miris, ketika mereka diwawancarai, mereka selalu berbahasa inggris dan terang-terangan mereka mengatakan baru saja mempelajari beberapa kata bahasa Indonesia.
Jikalau hanya 1 atau 2 pemain saja mungkin tak masalah yang memang perlu adaptasi dengan kultur Indonesia, tetapi faktanya hampir seluruh pemain naturalisasi keturunan tak mahir berbahasa Indonesia dan sangat sedikit tahu tentang tanah air Indonesia. Bisa anda bayangkan pemain-pemain bule ini bakalan seperti timnas Prancis, dimana seandainya kesebelas pemain bule  bermain di starting line-up, dan kesemuanya berkomunikasi dengan bahasa Inggris, jujur jiwa nasionalisme saya sebagai bangsa Indonesia merasa teriris.
Lalu langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan PSSI agar para pemain naturalisasi keturunan ini agar benar-benar bisa menjiwai kewarganegaraannya dengan sungguh-sungguh, berikut beberapa hal yang bisa dilakukan.
Target Bisa Berbahasa Indonesia
Saya pernah melihat video Youtube tentang para imigran Indonesia yang berkerja di Eropa, dimana salah satu syarat agar dapat ijin berkerja disana, mereka harus melalui berbagai tes, dan salah satunya adalah tes kemampuan dasar bahasa negara tersebut. Hal ini tentunya adalah suatu gambaran dimana bumi dipijak, maka disitulah langit dijunjung.
Para pemain naturalisasi keturunan harus diberikan target selama 6 bulan atau setahun untuk paling tidak bisa berkomunikasi berbahasa Indonesia secara dasar, setelah mereka secara resmi menjadi WNI. Mereka bisa ikut kursus privat atau belajar dengan saudara mereka yang mampu berbahasa Indonesia.
Permasalahannya mereka bukanlah orang turis bule yang menikah dengan orang lokal Indonesia, mereka adalah  perwakilan bangsa di kancah olahraga, maka jiwa nasionalisme harus benar-benar tertanam dalam jiwa sanubari mereka, dan salah satunya adalah kemauan untuk belajar bahasa Indonesia secara sungguh-sungguh.
Team Talk Wajib Bahasa Indonesia
Dalam suatu video viral suasana timnas sedang makan malam jelang pertandingan esoknya, tampak pak Erick Thohir menghampiri para pemain, dan menjadi miris dimana komunikasi yang digunakan adalah bahasa Inggris, padahal disana berbaur antara pemain keturunan dan pemain domestik lokal. Saya pun berteriak dalam hati, bukankah ini timnas dari Republik Indonesia, bukan timnas Belanda. Mohon maaf, dalam konteks komunikasi umum tim atau 'team talk' harus wajib menggunakan Bahasa Indonesia, jika menyangkut teknis perorangan, tak masalah pelatih teknik gunakan bahasa Inggris kepada pemain keturunan.
Suka tak suka, ketika pelatih Teknik Nova Ariyanto atau penerjemah Shin Tae Young menjelaskan penjelasan umum dengan Bahasa Indonesia, kemudian pemain naturalisasi keturunan merasa tak paham, itu sudah menjadi risiko profesional, maka mereka pun harus mau belajar Bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh.
Sewaktu pertandingan Timnas melawan Filipina pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia kemarin, terlihat jelas dari starting line up didominasi para pemain bule, dan hanya menyisakan hanya 4 pemain lokal. Sayup-sayup saya mendengar team talk antar pemain pada pertandingan itu, menggunakan bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Jika sudah begini, PSSI jangan baper, kalau Timnas Indonesia disindir sebagai Timnas KNVB. Maka dari itu, PSSI harus mewajibkan 'Bahasa Indonesia' sebagai bahasa pengantar utama dalam Timnas.
Membaur Kegiatan Diaspora Indonesia
Para penggemar Timnas sekarang memang sedang euforia kebangkitannya yang dimotori para pemain-pemain bule keturunan ini. Tapi saya yakin, kebanyakan para fans tidak belajar sejarah masa lalu nenek moyang para pemain ini. Saya tidak usah menyebut nama, dimana ada beberapa para pemain bule keturunan ini, memiliki nenek moyang yang sejarah masa lalunya kelam dalam perjalanan bangsa ini. Ada yang kakeknya keturunan perwira KNIL yang dulunya diusir oleh pejuang Republik, ada juga keturunan yang nenek moyangnya dulu memang dekat dengan pemerintah Hindia Belanda, dan ketika terjadi invasi Jepang, mereka memilih eksodus ke Belanda. Kini, para meneer-meneer ini kembali ke Indische dan dielu-elukan bak pahlawan oleh penduduk lokal.
Tapi itu sudah masa lalu, yang lalu sudahlah berlalu, dan yang pasti mereka semua sudah resmi menjadi WNI, bukan sekedar warga negara biasa, tetapi seorang perwakilan bangsa di kancah Internasional. Maka dari itu, sudah sepatutnya mereka mau berbaur dengan warga Indonesia, paling tidak mengikuti kegiatan komunitas kaum diaspora Indonesia dimana mereka tinggal.