Judul artikel ini sebenarnya adalah diksi jawaban menanggapi pernyataan Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie yang mengatakan pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier alias tidak wajib dipenuhi oleh setiap keluarga Indonesia pada beberapa waktu lalu.
Pernyataan konyol tersebut dikeluarkan dalam menjawab banyaknya protes atas kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dilakukan para mahasiswa serta berbagai elemen pendidikan tinggi. Sungguh pernyataan tersebut adalah bentuk ‘menyerahnya’ pemerintah dalam mewujudkan pendidikan tinggi yang bisa terjangkau kepada setiap elemen masyarakat. Pernyataan tersebut seolah memarjinalisasi dunia pendidikan tinggi, bahwa hanya orang kaya yang bisa kuliah dan yang miskin hanya bisa termangu tak bisa lanjutkan pendidikan tinggi.
Pernyataan yang menggunakan analogi teori kebutuhan pada pendidikan tinggi, menurut saya adalah blunder dan kekonyolan. Seseorang yang ingin mendapatkan ilmu itu bukanlah suatu kebutuhan, itu adalah kewajiban bagi setiap manusia. Pemerintah yang baik tak bisa menghalangi seseorang yang ingin meraih pendidikan setinggi-tingginya.
Sumber awal malapetaka carut marutnya pendidikan tinggi di Indonesia berawal dari diberlakukannya UU No 12 tahun 2012 tentang Badan Hukum Perguruan Tinggi yg kini sudah direvisi masuk dalam UU Cipta Kerja.
Imbas dari aturan ini adalah mengakibatkan perguruan tinggi beroperasi layaknya mekanisme pasar tanpa ada perlindungan dari negara, sehingga secara tidak langsung perguruan tinggi negeri sudah seperti serasa perguruan tinggi swasta karena sudah tidak disubsidi negara dan mencari modal sendiri. Eksesnya kampus-kampus negeri merubah statusnya dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN), menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kemudian diubah lagi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH).
Sehingga dari pergantian status tersebut kampus negeri harus berupaya mencari sumber dana sendiri dengan cara berbisnis dengan para mahasiswa lewat kenaikan biaya pendidikan dan membuka diri untuk diintervensi oleh modal swasta melalui kedok investasi.
Sebagai imbas dari kenaikan biaya pendidikan tinggi tersebut , pasal 88 UU No 18 Tahun 2012 mengamanatkan pemerintah untuk menentukan suatu standar tertentu operasional pendidikan tinggi dan sistem pembayaran pendidikan bagi mahasiswa, maka lahirlah sistem uang kuliah tunggal (UKT) , yang kemudian selanjutnya diatur dengan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan.
Bentuk liberalisasi pendidikan tinggi ini sungguh tanpa disadari akan membuat ciut para pemuda bangsa yang ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi, namun tak memiliki dana yang cukup.
Sebenarnya jika memakai analogi terbalik, yang butuh pendidikan tinggi bukanlah rakyat itu sendiri, tetapi justru negara yang sangat membutuhkan banyaknya lulusan-lulusan pendidikan tinggi untuk membangun peradaban bangsa.
Berdasarkan data rilis dari OECD (Organisasi Kerja sama dan Pembangunan Dunia) pada tahun 2023 memberikan data bahwa rata-rata negara maju berhasil meluluskan warganya hingga pendidikan tinggi di atas angka 50 %, bahkan Kanada mampu di angka 60 %, sementara Indonesia masih di angka yang sangat rendah yaitu 11 %.
Bahkan Presiden Jokowi saat membuka Konvensi XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pada Senin (15/1/2024) lalu menyatakan kekagetannya bahwa lulusan S2 dan S3 di Indonesia hanya mencapai angka 0,45% sementara negara seperti Vietnam dan Malaysia sudah berada di atas angka 2 %, sementara negara maju sudah mencapai 9,8%
Tentunya hal tersebut berimbas pada minimnya pengembangan teknologi di Indonesia serta sedikitnya jurnal-jurnal penelitian yang diterbitkan pendidikan tinggi di Indonesia, dan secara tidak langsung mengurangi kecepatan pembangunan di negara ini. Sehingga bisa disimpulkan bahwa negara kita sedang darurat lulusan pendidikan tinggi.
Jika sudah demikian, apa yang harus dilakukan oleh para mahasiswa, apakah harus demo terus menerus. Berikut kiranya yang dapat dilakukan dalam menghadapi tingginya biaya UKT dalam pendidikan tinggi.
Gerakan Kuliah Dulu, Biaya “Pikir Keri”
Bagi para lulusan SMA dan sederajat, jangan pernah berputus asa, jika kalian memang bercita-cita melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, namun tak memiliki kemampuan biaya yang cukup, maka tetaplah semangat dan tetaplah untuk mendaftar pada penerimaan mahasiswa baru setiap tahunnya.
Para kepala sekolah SMA dan sederajat seluruh Indonesia harus memiliki integritas yang sama yaitu harus memacu para peserta didiknya untuk melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, tanamkan kepada mereka jangan pernah memikirkan biaya, atau bahasa Jawanya, “dipikir keri” yang artinya dibaca “dipikir belakangan”.
Harus diakui biaya pendidikan tinggi memang tidaklah murah, tetapi paradigma yang berkembang di masyarakat tidaklah boleh demikian. Pemerintah justru harus menghimbau para lulusan SMA atau sederajat untuk berbondong-bondong mendaftar penerimaan mahasiswa baru setiap tahunnya, karena negara kita memang sedang darurat lulusan pendidikan tinggi.
Jangan sampai rendahnya minat lulusan SMA atau sederajat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi terhambat hanya karena paradigma biaya pendidikan yang mahal.
Beasiswa Menggandeng Swasta dan BUMN
Solusi terbaik dari masalah ini adalah memperbanyak jumlah pemberian beasiswa kepada mahasiswa. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, jumlah penerima beasiswa pendidikan tinggi hanya mencapai 9,60 % dari semua total mahasiswa di Indonesia.
Angka tersebut tentulah sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang malah menggratiskan biaya pendidikan tinggi pada prodi tertentu. Idealnya jumlah penerima beasiswa pendidikan tinggi harus mencapai di atas angka 50 %, sebenarnya angka tersebut masihlah kurang, mengingat persentase masyarakat kelas menengah ke bawah hingga miskin masih di atas 60 % menurut data dari World Bank terakhir.
Dalam hal ini pihak perguruan tinggi baik negeri maupun swasta bersama Pemerintah aktif menggandeng pihak perusahaan swasta dan BUMN untuk dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia.
Perusahaan swasta dan BUMN diharapkan bisa memperbanyak lagi program beasiswa pendidikan tinggi, sehingga hal tersebut akan membentuk paradigma bahwa untuk berkuliah sudah ada solusi pembiayaannya.
Kendala di lapangan biasanya tidak semua mahasiswa mengetahui ‘privilage’ ini, maka dari itu solusinya pihak perguruan tinggi sedari awal memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada para mahasiswa baru tentang jalur beasiswa yang bisa mereka gunakan.
Permohonan Keringanan Biaya UKT
Solusi lain yang sering ditempuh dalam menghadapi biaya UKT yang tinggi, adalah permohonan biaya keringanan perkuliahan. Berdasarkan Pasal 5 Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 tentang BKT dan UKT, dimana mahasiswa bisa mengajukan surat permohonan keringanan biaya UKT kepada pihak kampusnya.
Syarat paling utama adalah surat keterangan miskin dan struk gaji atau pendapatan dari orang tua. Diharapkan pihak kampus harus mengakomodir dengan baik permohonan-permohonan tersebut serta tidak mempersulit proses administrasinya.
Perihal ini seolah kita teringat janji kampanye salah satu capres pada saat kontestasi kemarin sewaktu pemilu, yaitu menjanjikan satu keluarga, satu sarjana, suatu konsep dimana semua lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan tinggi. Semoga kepada pemerintahan yang terpilih untuk periode mendatang bisa mengakomodir konsep ini walau ide ini datangnya dari pihak rivalnya sewaktu pemilu, dikarenakan begitu urgennya masalah pendidikan tinggi kita yang terkendala masalah biaya UKT.
Meluruskan Paradigma Perkuliahan
Kita sering mendengar paradigma-paradigma miring tentang perkuliahan, seperti “Steve Jobs, Mark Zuckerberg dan Steven Spielberg itu semua tidak lulus kuliah, ternyata bisa jadi tokoh dunia”, kemudian ada lagi “Ijazah Kuliah itu tidak penting, yang penting elu bisa kerja kagak”, lalu ada juga yang mengatakan, “Ijazah perguruan tinggi hanya dijadikan tiket untuk bisa kerja”, kemudian adapula yang menyatakan, “Kuliah cuma untuk gengsi, daripada nganggur di rumah”. Kemudian yang terbaru dari Dirjen Dikti menyatakan, “Kuliah di perguruan tinggi itu kebutuhan tersier, tidak wajib”.
Sungguh kesemua paradigma itu salah besar jika kita telan mentah-mentah bahkan dijadikan pembenaran untuk tidak berkuliah di perguruan tinggi, padahal secara akademis dan intelektual kita sangat mampu untuk menjalaninya.
Orang-orang sukses besar yang tanpa berkuliah di perguruan tinggi itu jumlahnya sangat sedikit sekali, dan masih didominasi orang-orang bertitel akademis yang mampu meraih kesuksesan, bahkan sebagian dari mereka malah menyarankan untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi.
Menjadi mahasiswa bukan sekedar kebanggaan, tetapi suatu cerminan kebudayaan intelektual suatu bangsa, maka dari itu bangsa yang besar adalah bangsa yang juga menghormati para calon-calon intelektual ini, jangan hambat mimpi-mimpi besar mereka dalam membangun bangsa, hanya masalah remeh seperti UKT, marilah kita semua membiayai mereka dengan segala upaya.
Ali Bin Abi Thalib RA pernah berkata bahwa kekayaan sesungguhnya bukanlah usaha untuk mengejar harta dunia sebanyak-banyaknya, tetapi justru usaha sekuat tenaga untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, maka kekayaan dunia pun akan mengikutimu, jadi pesan untuk para pemuda bangsa, berkuliahlah untuk membangun peradaban bangsamu. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H