Bahkan Presiden Jokowi saat membuka Konvensi XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pada Senin (15/1/2024) lalu menyatakan kekagetannya bahwa lulusan S2 dan S3 di Indonesia hanya mencapai angka 0,45% sementara negara seperti Vietnam dan Malaysia sudah berada di atas angka 2 %, sementara negara maju sudah mencapai 9,8%
Tentunya hal tersebut berimbas pada minimnya pengembangan teknologi di Indonesia serta sedikitnya jurnal-jurnal penelitian yang diterbitkan pendidikan tinggi di Indonesia, dan secara tidak langsung mengurangi kecepatan pembangunan di negara ini. Sehingga bisa disimpulkan bahwa negara kita sedang darurat lulusan pendidikan tinggi.
Jika sudah demikian, apa yang harus dilakukan oleh para mahasiswa, apakah harus demo terus menerus. Berikut kiranya yang dapat dilakukan dalam menghadapi tingginya biaya UKT dalam pendidikan tinggi.
Gerakan Kuliah Dulu, Biaya “Pikir Keri”
Bagi para lulusan SMA dan sederajat, jangan pernah berputus asa, jika kalian memang bercita-cita melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, namun tak memiliki kemampuan biaya yang cukup, maka tetaplah semangat dan tetaplah untuk mendaftar pada penerimaan mahasiswa baru setiap tahunnya.
Para kepala sekolah SMA dan sederajat seluruh Indonesia harus memiliki integritas yang sama yaitu harus memacu para peserta didiknya untuk melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, tanamkan kepada mereka jangan pernah memikirkan biaya, atau bahasa Jawanya, “dipikir keri” yang artinya dibaca “dipikir belakangan”.
Harus diakui biaya pendidikan tinggi memang tidaklah murah, tetapi paradigma yang berkembang di masyarakat tidaklah boleh demikian. Pemerintah justru harus menghimbau para lulusan SMA atau sederajat untuk berbondong-bondong mendaftar penerimaan mahasiswa baru setiap tahunnya, karena negara kita memang sedang darurat lulusan pendidikan tinggi.
Jangan sampai rendahnya minat lulusan SMA atau sederajat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi terhambat hanya karena paradigma biaya pendidikan yang mahal.
Beasiswa Menggandeng Swasta dan BUMN
Solusi terbaik dari masalah ini adalah memperbanyak jumlah pemberian beasiswa kepada mahasiswa. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, jumlah penerima beasiswa pendidikan tinggi hanya mencapai 9,60 % dari semua total mahasiswa di Indonesia.
Angka tersebut tentulah sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang malah menggratiskan biaya pendidikan tinggi pada prodi tertentu. Idealnya jumlah penerima beasiswa pendidikan tinggi harus mencapai di atas angka 50 %, sebenarnya angka tersebut masihlah kurang, mengingat persentase masyarakat kelas menengah ke bawah hingga miskin masih di atas 60 % menurut data dari World Bank terakhir.
Dalam hal ini pihak perguruan tinggi baik negeri maupun swasta bersama Pemerintah aktif menggandeng pihak perusahaan swasta dan BUMN untuk dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia.
Perusahaan swasta dan BUMN diharapkan bisa memperbanyak lagi program beasiswa pendidikan tinggi, sehingga hal tersebut akan membentuk paradigma bahwa untuk berkuliah sudah ada solusi pembiayaannya.