Pada awal bulan ini, di Boyolali sempat dikejutkan kasus pembunuhan mutilasi yang dilatarbelakangi selain berniat menguasai harta korban, tetapi juga masalah asmara hubungan sesama jenis, dimana baik korban dan pelakunya adalah sama-sama berjenis kelamin laki-laki. Diketahui keduanya sudah menjalin 'asmara' sudah selama setahun. Namun, naas pada awal bulan lalu, korban dibunuh dan dimutilasi oleh pelaku karena alasan asmara dan ingin menguasai harta korban yang juga merupakan pengusaha tembaga di Boyolali.
Kasus ini yang saya soroti adalah masalah - Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT ) ternyata masih menjadi isu yang patut kita cermati dalam permasalahan sosial masyarakat. Kasus pembunuhan karena asmara, bisa saja muncul dari pasangan Heteroseksual, namun jika hal tersebut terjadi pada pasangan homoseksual, tentunya akan membawa aib memalukan bagi keluarga bersangkutan, mengingat masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan ketimuran.
Bagi saya pribadi, jika ada orang dewasa yang memilih pilihan hidup sebagai LGBT, saya tak mempermasalahkannya dan takkan menganggunya. Â Namun sebagai guru SD, saya berada di garis depan menolak keras keberadaan mereka jika individu-individu LGBT tersebut mencoba untuk menyebarkan faham LGBT ke masyarakat luas, entah itu membentuk komunitas, mengkampanyekan LGBT, atau bahkan menyebarkan pesan-pesan terselubung tentang LGBT.
Karena upaya-upaya tersebut juga tentunya akan menganggu ketentraman keluarga-keluarga heteroseksual yang ingin anaknya tumbuh kembang sesuai kodrat fitrah jenis kelaminnya. Â Perihal ini mengingatkan dimana saya pernah chat dengan orang Jerman yang mengkampanyekan LGBT. Dimana dia berargumen bahwa orang-orang yang mengaku beragama terlalu kejam memperlakukan kaum LGBT hanya karena berdasar dogma agama. Lalu saya pun membalas dengan bertanya, apakah orangtuamu yang melahirkanmu, pernah terpikir bahwa kamu tumbuh menjadi seorang gay, ketika beranjak dewasa ?. Dia pun terdiam dan lantas mengakhiri chat tersebut.
Bagi saya yang seorang guru, membentengi anak-anak dari pengaruh LGBT, bukan sekedar karena perintah agama ?, tetapi bagaimana rasio pikiran manusia untuk menggunakan akal dalam mengambil keputusan. Dalam ilmu Pedagogi di Negara manapun, sekalipun itu di negara barat, yang namanya nilai-nilai maskulin sudah pasti diajarkan untuk anak laki-laki, sementara nilai-nilai feminim diajarkan untuk anak perempuan, dikarenakan pembelajaran usia  dini juga harus menyesuaikan jenis kelaminnya. Perkara jika setelah dewasa dia memilih menjadi seorang gay atau lesbian, itu kembali ke individu masing-masing, tetapi sebagai pendidik harus wajib mengajarkan boneka Barbie itu mainan anak perempuan dan robot Gundam itu mainan anak laki-laki.
Dunia pendidikan Indonesia sempat dihebohkan dengan terbongkarnya grup Whatsapp siswa LGBT di sebuah sekolah dasar di Riau pada pertengahan tahun 2023, belum lagi diketahui ada sekolah internasional di Jakarta yang menurut penelusuran Youtuber, Daniel Mananta mengindikasikan ada agenda LGBT pada sebuah program di sekolah tersebut. Program tersebut dinamakan Woke Agenda, yaitu dimana setiap siswa mengungkapkan perasaan seksualnya.
Di Negara-negara Eropa Barat, keberadaan LGBT sudah sangat diakui dan terlegitimasi, bahkan dapat disahkan dalam status perkawinan. Sementara di Indonesia, perkembangannya ternyata cukup pesat tanpa disadari.
Adalah peneliti bidang sosial, Toba Sastrawan Manik yang melakukan riset perkembangan LGBT di Indonesia pada tahu 2021, menjelaskan perkembangan jumlah LGBT yang terus meningkat setiap tahunnya, bahkan kelompok tersebut sudah memiliki komunitas gay terbesar di Asia Tenggara yang bernama 'Gaya Nusantara' tersebar di 11 kota besar di Indonesia.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Â Erlinda di dalam laman website KPAI menyatakan, LGBT merupakan penyimpangan terhadap moral, agama dan undang-undang. Di dalam UU Perlindungan Anak dan KUHP, beliau menjelaskan, jika pemahaman atau propaganda LGBT dilarang keras untuk disebarkan kepada anak-anak atau yang belum cukup umur.
Tentunya hal tersebut sangat meresahkan bagi para pendidik dan orang tua yang ingin anak-anaknya tumbuh kembang sesuai kodrat fitrahnya. Hal tersebut dikarenakan apabila seseorang telah dewasa dan memutuskan menjadi LGBT, maka akan sulit untuk mengembalikan fitrahnya sesuai jenis kelaminnya. Maka dari itu diperlukan upaya-upaya untuk membentengi anak-anak kita dari pengaruh LGBT semenjak usia dini, berikut tips-tipsnya.
Pendidikan Seks Usia Dini
Pada acara Akhirrusannah di sekolah kami, pada saat melakukan unjuk pentas seni, untuk kostum murid-murid kelas saya, menggunakan pakaian toga berwarna biru untuk siswa laki-laki, dan untuk yang perempuan menggunakan kostum toga berwarna pink. Di panggung saya menjelaskan kepada para orangtua, alasan saya menggunakan warna kostum berbeda antara laki-laki dan perempuan, adalah mempunyai maksud edukasi benteng melawan pengaruh LGBT, agar sedari dini mereka terpatri jiwa maskulin pada laki-laki, dan jiwa feminim pada wanita.
Pendidikan seks usia dini sebenarnya sangat mudah diaplikasikan, bahkan tak vulgar sama sekali. Pengenalan jenis pakaian antara pria dan wanita, jenis-jenis mainan berdasarkan karakter jenis kelamin, hingga menerangkan perbedaan peran ayah dan ibu adalah beberapa hal yang bisa diajarkan untuk anak-anak usia dini. Banyak video di Youtube yang memberikan materi konten pembelajaran tentang edukasi seksual bagi usia dini.
Intinya sedari dini, mereka sudah harus mampu membedakan ciri-ciri dasar seorang pria seperti apa, dan begitu pula ciri-ciri seorang wanita seperti apa. Jika anak-anak usia dini sudah secara jelas mengenali perbedaan antara pria dan wanita, maka mereka pun akan berusaha berkembang sesuai jenis kelaminnya masing-masing.
Filter Konten LGBT
Siapa yang menyangka kartun Little Pony yang disenangi anak-anak usia dini, ternyata ada beberapa karakter animasinya terindikasi pasangan lesbian di dalamnya. Bahkan ada beberapa konten di Youtube Kids pun terindikasi mengarah kepada kampanye terselubung LGBT yang ditujukan kepada anak-anak. Mungkin bagi pemirsa Negara barat, nilai-nilai tersebut tak masalah dipertontonkan kepada anak-anak mereka. Namun tidak tentunya bagi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung nila-nilai agama dan ketimuran.
Ciri-ciri konten mengandung unsur LGBT yang ditujukan kepada anak-anak adalah (i) ada beberapa karakter animasi berjenis kelamin sama, tetapi menampilkan unsur kemesraan (ii) penggunaan unsur warna pelangi khas LGBT yang terlalu sering ditampilkan (iii) lirik-lirik lagu anak yang seolah mengarah ke sisi inklusif, namun ada unsur menerangkan ada jenis kelamin lain selain pria dan wanita dan (iv) secara terang-terangan menampilkan unsur karakter LGBT.
Jika anda menemukan keempat ciri-ciri konten anak-anak yang terindikasi ada unsur LGBT di dalamnya, maka segera lock konten tersebut dari anak anda, jika perlu laporkan kepada KPI agar konten tersebut tidak dapat diakses anak-anak Indonesia.
Berteman dan Bermain Sewajarnya
Terkadang kita melihat anak-anak usia dini serta sekolah dasar, utamanya yang laki-laki kerap bermain dengan bergulat, bergumul terlalu dekat satu sama lainnya. Sepintas mungkin terlihat biasa, namun sebaiknya sebagai pendidik atau orangtua jika melihat hal yang demikian, agar segera dipisahkan, jika bergumul terlalu lama. Bagaimanapun kontak fisik tubuh entah dengan lawan jenis maupun sesama jenis kelaminnya, walau belum mencapai usia baligh, juga harus dijaga tingkat kewajarannya, karena kasus pedofilia banyak muncul dari perilaku yang demikian, kita bisa melihat dalam sejarah Yunani, dimana Alexander Agung dikenal juga sebagai gay, karena terbiasa sering gulat telanjang dengan teman-teman prianya sejak kecil, entah bagaimana lama kelamaan muncul rasa cinta diantara mereka.
Jika anak-anak belum berusia baligh, sebagai pendidik dan orangtua agar juga mengarahkan pertemanan sistem grouping atau kelompok yang banyak jumlahnya. Dimana kelompok tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan, namun tentunya tetap selalu dalam pantauan, dimana mereka tumbuh kembang sesuai fitrahnya masing-masing.
Pengawasan Bersama
Banyak kasus seseorang menjadi homoseksual, dikarenakan pada masa kecilnya pernah menjadi korban pencabulan/pedofilia yang dilakukan orang dewasa, sehingga ketika dia beranjak besar, maka dia pun juga menjadi seorang homoseksual pula.
Sering kita mendengar pemberitaan banyak anak-anak yang menjadi korban pedofilia dari seorang dewasa. Para pelakunya justru biasanya orang yang dikenalnya, bisa tetangganya, kerabatnya, bahkan ada kasus pelakunya adalah guru ngajinya. Parahnya, jumlah korban biasanya cukup banyak, biasanya para korban yang masih anak-anak diming-imingi uang atau jajanan, lalu kemudian pelaku melampiaskan perilaku bejatnya.
Bukan bermaksud suudzon atau berprasangka buruk, ada baiknya dalam suatu lingkungan yang banyak anak-anaknya, entah itu sekolah, TPQ, pesantren atau tempat bermain playground, sebaiknya minimal ada 2 orang dewasa yang berada di sekitar lingkungan tersebut. Sehingga paling tidak bisa memberikan rasa aman satu sama lainnya dalam memberikan pengawasan kepada anak-anak.
Kelas parenting menjadi cara yang paling vital dalam mencegah perilaku LGBT pada anak-anak. Kebanyakan kasus justru terjadi karena salah asuh orang tua sendiri, dimana terkadang ada seorang ayah yang memakaikan busana laki-laki dan membelikan mainan mobil-mobilan kepada anaknya yang berjenis kelamin perempuan, dikarenakan ternyata sang ayah mendambakan memiliki anak laki-laki. Sehingga banyak kasus seseorang menjadi lesbian, dikarenakan semenjak kecil anak perempuan dibentuk berperilaku menjadi seorang laki-laki.
Adapula kasus orang tua yang membiarkan seorang anak laki-laki yang terlalu sering bermain dengan anak perempuan, sebenarnya tak masalah, namun apabila circle-nya ternyata dominan teman-teman perempuan, bukan tak mungkin anak laki-laki tersebut tumbuh kembang menjadi gay.
Maka dari itu dengan adanya kelas parenting bisa menyadarkan para orangtua untuk juga menerima takdir jenis kelamin anaknya dan mengawasi pola tumbuh kembangnya yang sesuai kodrat fitrahnya.
Kita tidak membenci kaum LGBT, tetapi kita hanya tak mau anak-anak terpapar pengaruh LGBT dan mampu hidup sesuai fitrah yang diberikan oleh Tuhan, mari kita bentengi anak-anak kita dengan menjadi orang tua yang sesuai fitrahnya juga, yaitu dengan memberikan perhatian serta kasih sayang. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H