Pada acara Akhirrusannah di sekolah kami, pada saat melakukan unjuk pentas seni, untuk kostum murid-murid kelas saya, menggunakan pakaian toga berwarna biru untuk siswa laki-laki, dan untuk yang perempuan menggunakan kostum toga berwarna pink. Di panggung saya menjelaskan kepada para orangtua, alasan saya menggunakan warna kostum berbeda antara laki-laki dan perempuan, adalah mempunyai maksud edukasi benteng melawan pengaruh LGBT, agar sedari dini mereka terpatri jiwa maskulin pada laki-laki, dan jiwa feminim pada wanita.
Pendidikan seks usia dini sebenarnya sangat mudah diaplikasikan, bahkan tak vulgar sama sekali. Pengenalan jenis pakaian antara pria dan wanita, jenis-jenis mainan berdasarkan karakter jenis kelamin, hingga menerangkan perbedaan peran ayah dan ibu adalah beberapa hal yang bisa diajarkan untuk anak-anak usia dini. Banyak video di Youtube yang memberikan materi konten pembelajaran tentang edukasi seksual bagi usia dini.
Intinya sedari dini, mereka sudah harus mampu membedakan ciri-ciri dasar seorang pria seperti apa, dan begitu pula ciri-ciri seorang wanita seperti apa. Jika anak-anak usia dini sudah secara jelas mengenali perbedaan antara pria dan wanita, maka mereka pun akan berusaha berkembang sesuai jenis kelaminnya masing-masing.
Filter Konten LGBT
Siapa yang menyangka kartun Little Pony yang disenangi anak-anak usia dini, ternyata ada beberapa karakter animasinya terindikasi pasangan lesbian di dalamnya. Bahkan ada beberapa konten di Youtube Kids pun terindikasi mengarah kepada kampanye terselubung LGBT yang ditujukan kepada anak-anak. Mungkin bagi pemirsa Negara barat, nilai-nilai tersebut tak masalah dipertontonkan kepada anak-anak mereka. Namun tidak tentunya bagi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung nila-nilai agama dan ketimuran.
Ciri-ciri konten mengandung unsur LGBT yang ditujukan kepada anak-anak adalah (i) ada beberapa karakter animasi berjenis kelamin sama, tetapi menampilkan unsur kemesraan (ii) penggunaan unsur warna pelangi khas LGBT yang terlalu sering ditampilkan (iii) lirik-lirik lagu anak yang seolah mengarah ke sisi inklusif, namun ada unsur menerangkan ada jenis kelamin lain selain pria dan wanita dan (iv) secara terang-terangan menampilkan unsur karakter LGBT.
Jika anda menemukan keempat ciri-ciri konten anak-anak yang terindikasi ada unsur LGBT di dalamnya, maka segera lock konten tersebut dari anak anda, jika perlu laporkan kepada KPI agar konten tersebut tidak dapat diakses anak-anak Indonesia.
Berteman dan Bermain Sewajarnya
Terkadang kita melihat anak-anak usia dini serta sekolah dasar, utamanya yang laki-laki kerap bermain dengan bergulat, bergumul terlalu dekat satu sama lainnya. Sepintas mungkin terlihat biasa, namun sebaiknya sebagai pendidik atau orangtua jika melihat hal yang demikian, agar segera dipisahkan, jika bergumul terlalu lama. Bagaimanapun kontak fisik tubuh entah dengan lawan jenis maupun sesama jenis kelaminnya, walau belum mencapai usia baligh, juga harus dijaga tingkat kewajarannya, karena kasus pedofilia banyak muncul dari perilaku yang demikian, kita bisa melihat dalam sejarah Yunani, dimana Alexander Agung dikenal juga sebagai gay, karena terbiasa sering gulat telanjang dengan teman-teman prianya sejak kecil, entah bagaimana lama kelamaan muncul rasa cinta diantara mereka.
Jika anak-anak belum berusia baligh, sebagai pendidik dan orangtua agar juga mengarahkan pertemanan sistem grouping atau kelompok yang banyak jumlahnya. Dimana kelompok tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan, namun tentunya tetap selalu dalam pantauan, dimana mereka tumbuh kembang sesuai fitrahnya masing-masing.
Pengawasan Bersama
Banyak kasus seseorang menjadi homoseksual, dikarenakan pada masa kecilnya pernah menjadi korban pencabulan/pedofilia yang dilakukan orang dewasa, sehingga ketika dia beranjak besar, maka dia pun juga menjadi seorang homoseksual pula.
Sering kita mendengar pemberitaan banyak anak-anak yang menjadi korban pedofilia dari seorang dewasa. Para pelakunya justru biasanya orang yang dikenalnya, bisa tetangganya, kerabatnya, bahkan ada kasus pelakunya adalah guru ngajinya. Parahnya, jumlah korban biasanya cukup banyak, biasanya para korban yang masih anak-anak diming-imingi uang atau jajanan, lalu kemudian pelaku melampiaskan perilaku bejatnya.
Bukan bermaksud suudzon atau berprasangka buruk, ada baiknya dalam suatu lingkungan yang banyak anak-anaknya, entah itu sekolah, TPQ, pesantren atau tempat bermain playground, sebaiknya minimal ada 2 orang dewasa yang berada di sekitar lingkungan tersebut. Sehingga paling tidak bisa memberikan rasa aman satu sama lainnya dalam memberikan pengawasan kepada anak-anak.