Acapkali terjadi perdebatan sengit di grup Whatsapp keluarga tentang sekolah negeri favorit di kota kami. Dimana beberapa kerabat keluarga yang mempunyai agenda memasukkan anaknya ke sekolah yang baru, meminta rekomendasi sekolah negeri favorit dalam percakapan grup.
Untuk tingkatan Sekolah Dasar, lumayan cukup banyak pilihannya, mulai dari desa hingga ke tengah kota. Untuk tingkatan SMP, mulai mengerucut ke pinggiran kota hingga ke tengah kota. Sementara SMA, pilihan sekolah favoritnya hanya ada di sekitaran tengah kota.
Para tetua-tetua di grup whatsapp keluarga saling adu silang pendapat, sekolah mana yang favorit menurut mereka, ada yang bilang SMP 1 itu bangunannya megah, ada yang mengatakan SMP 4 itu bagus-bagus gurunya dan  ada yang berujar SMP 6 itu tempat alumninya para pejabat-pejabat. Semuanya mempunyai 'dalil'-nya masing-masing  tentang kriteria sekolah favorit menurut mereka.
Dari perdebatan sengit tersebut, tersirat sebuah kesimpulan bahwa sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang digembar-gemborkan oleh pemerintah, belum terasa efeknya untuk mengubah stigma sekolah favorit pada masyarakat awam.
Saya pribadi sangat setuju pemberlakuan sistem zonasi PPDB dalam upaya menghapus stereotype sekolah-sekolah favorit. Namun jika telaah lagi, sistem zonasi baru bisa diberlakukan jika sudah terjadi pemerataan standarisasi sarana prasarana seluruh aspek kependidikan pada seluruh sekolah negeri di negara Indonesia, tanpa terkecuali.
Tentunya hal tersebut tidaklah mudah, namun bagaimanapun harus dilakukan, agar negara ini bisa menciptakan keadilan dan kemerdekaan pendidikan untuk seluruh peserta didik. Jangan sampai ada kesenjangan kualitas pendidikan sekolah yang ada di ibukota Jakarta dengan sekolah di Bovendigul, Papua, kesemuanya haruslah sama standarnya.
Masih ingat kisah Prof Yohannes Surya yang berhasil membawa bocah-bocah pedalaman Papua memborong medali dalam kompetisi Olimpiade Sains Internasional.
Kisah tersebut membuktikan, jika daerah pedesaan atau pedalaman diberikan fasilitas pendidikan yang sama seperti di kota besar, ternyata juga bisa menghasilkan prestasi akademik yang sama pula.
Upaya menghapus stigma sekolah negeri favorit adalah usaha untuk memberikan kesempatan yang sama ke setiap peserta didik dimanapun mereka bertempat tinggal. Sebuah upaya dimana niat bersekolah bukanlah untuk gengsi anaknya belajar di sekolah favorit atau tidak. Paradigma ini harus diputus sesegera mungkin, karena tidaklah baik untuk iklim pendidikan yang inklusif dan egaliter.
Sudah seharusnya tidak terjadi lagi, dimana para orang tua berpusing-pusing mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah negeri yang dianggap berkualitas.