Over utilisasi kesalahannya hanya ada pada Pemberi Pelayanan kesehatan /PPK/RS/Dokter. Sedangkan antrian panjang di Puskesmas atau RS , kesalahannya ada pada institusi tersebut. Nah kalau demikian , jangan lah dibebankan kepada peserta/penderita dengan jalan mempreteli Haknya.
Saya pernah membaca tulisan (Dialog antar Pakar Asuransi Kesehatan dengan seorang pejabat Tinggi PT Askes, tapi lupa dimana dan kapan) dan sampai saat ini saya tidak mengerti apa maksud dialog tersebut.
Pakar Asuransi:
“PT Askes membuat Prosedur Pura2 sakit lalu pura2 di rujuk , agar supaya pesertanya bias berobat di rumah sakit”
Pejabat Tinggi PT.Askes
“Mudah2an kalau Bapak Mati , juga pura2 Mati”
Adakah konsersium /komite atau apalah namanya dinegeri ini yang dapat mengawasi ke-pura2an ini, Over utilisasi dan Antrian yang panjang..dan sekaligus melindungi Hak Peserta???, kayaknya belum ada yah!.., di Taiwan , penyelenggara seperti BPJS-Kes dinamai BNHI , dan ada semacam konsersium (Kerja sama dengan BNHI) yang memantau , mengawasi sekaligus memberikan sanksi (Teguran sampai pencabutan Izin ) kepada pemberi pelayanan . disana tidak ditemukan antrian panjang, over utilisasi dan tidak ada surat rujukan….dan tidak ada tunggakan Iuran.
Kembali kemasalah Sistem Rujukan, Apakah BPJS-Kes telah melakukan evaluasi??, dan sejauh mana hasil yang dicapai???, apakah ada dampak positif yang adil, nyaman dan aman bagi peserta??, seingat saya, sejak Namanya PHB, PT Askes dan Kini BPJS-Kes ( 34 Tahun ) system rujukan ini begitu-begitu saja hanya formnya berganti-ganti dan keluhannya makin banyak malah makin meluas dan merocoki beberapa Puskemas, dan ada beberapa Puskesmas yang jumlah kunjungannya cukup besar yang hanya untuk memita rujukan ke RS.(Mudah2an waktu akan dating, tidak ada puskesmas yang membuka Poli khusus untuk melayani peera meminta rujukan, tetapi yang pasti pernah ada RS sengaja membuka Poliklinik Umum).
3. Besaran Iuran
Besaran Iuran seharusnya ditetapkan berdasarkan Benefit yang akan diperoleh mengingat setiap individu mempunyai kesempatan sakit yang sama . besaran Iuran tidak semestinya berdasarkan prosentasi gaji , apalagi dikaitkan dengan kelompok peserta, sebagai contoh antara kelompok peserta PNS dengan penerima upah. Begitu juga dalam kelompok peserta PNS golongan 3 dan golongan 4 Kalau sakit dan dirawat di RS pada Ruang Klas 1, kedua golongan ini mendapatkan benefit yang sama tetapi besaran mutlah iurannya tidak sama. Belum lagi kalau dibandingkan dengan peserta Mandiri. Dan masyarakat Miskin (Penerima Bantuan Iuran)
Contoh Untuk benefit kls III : Iur PBI = Rp 23.000, sedangkan untuk Mandiri Rp. 23.500 dan akan menjadi Rp30.000 pada 1 April 2016…, Apakah ini adil???,
Sedangkan peserta Mandiri saja mempunyai masalah yang sangat pelik/ rumit. Khususnya kemampuan/kesempatan untuk membayar iuran.
Kelompok Mandiri sebenarnya terdiri dari 2 golongan.
Golongan Pertama (peserta mandiri ini Hanya sejumah kecil), mereka ini adalah yang mampu membayar iuran terutama mereka yang mempunyai Usaha sendiri atau mungkin konglomerat/jutawan bahkan millioner,atau anak ke4 dari PNS, tetapi jumlah mayoritas dari kelompok mandiri yang lain (kedua) ini ialah yang terbanyak ,mungkin jumlahnya puluhan juta..
Kebanyakan mereka dalam kelompok ini adala pengangguran, atau anak umur >25 tahun yang masih mengannggur, atau PHK, atau Jamila (Jatu Miskin Lagi)..atau honorer PNS dan pembantu RT yang gajinya dibawah Upa Minimum, atau Pemulung (Bukan pemulung uang/ dollar), pedagang kaki lima yang pendapatannya cukup untuk dimakan saja, nah bagaimanakah nasib mereka ini??, untuk membayar premi bulanberjalan saja tidak mampu (bukan tidak mau) , apalagi membayar utang iuran kepada Negara yang tertunggak???? Karena pemberlakuannya sejak 1 Januari 2014.