Setiba di pertigaan, tepatnya dua kilo dari pusat kampanye, Ia terhenti oleh palang pintu di jaga ratusan pemuda tegap-tegap, ber-jas-jas kuning, ber-baret-baret kuning, penuh waspada bagai Kopassus penjaga tepi batas Negara.
Tak banyak tanya, sebab merasakan aurora tak bersahabat. Ia berusaha cari-cari celah, namun untung tak dapat diraih, teguran Ia dapat.
"Bapak tidak punya kartu anggota, tidak boleh masuk. Area khusus anggota. Selain itu dilarang masuk!" tegur salah satu pemuda itu.
"Maaf, bapak lihat tidak ada tanda larangan, lagi pula tulisan di spanduk bebas hadir..." ujarnya santun, mengingatkan apa yang eja dalam spanduk.
"Kuping bangkotan, apa tidak dengar! Kamu bukan anggota! Ngeyel, mau melawan! Warna kamu norak! Suara kamu parau tidak enak di kuping, di.. la..rang... masuk..! cepat pergi, sepuluh menit lagi caleg-caleg akan datang! Apa kata dunia nanti!" hujatnya, sembari menunjuk-nunjuk jam tangannya, diiring pula tawa anggota yang lain.
"Baik, maaf ..." jawabnya santun.
Suaranya jawabnya tenggelam dilautan tawa mereka dan pandangan sinis peserta yang akan masuk. Ia tak ambil hati kelakuan mereka, yang Ia ambil hanya Dzikirullah. Lelaki parau memutar balik dan menggelindingkan gerobaknya dengan susah payah melawan arus, mencari ruang kosong.
Kurang lebih selemparan batu dari palang pintu masuk, menemukan celah kosong diantara mobil yang parkir. Ia tahu di sepanjang jalan dijaga pula ratusan pemuda doreng, mengatur dan mengawasi parkir kendaraan dengan penuh kewaspadaan bagai Marinir penjaga tempat vital.
.
Bersambung.........
Menyambut kedatangan Caleg