Mohon tunggu...
Singgih Swasono
Singgih Swasono Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya usaha di bidang Kuliner, dan pendiri sanggar Seni Kriya 3D Banyumas 'SEKAR'. 08562616989 - 089673740109 satejamur@yahoo.com - indrisekar@gmail.com https://twitter.com/aaltaer7

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Parau

7 Februari 2014   13:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menghadiri Pesta Demokrasi

Tiba di hari H, pesta demokrasi akan segera dimulai di tengah siang bolong, bertempat di gelanggang olahraga (GOR) Satria, Purwokerto. Sedari pagi jelang siang, arena pesta digerumut ratusan ribu manusia dari segala penjuru kota. Tak kecuali Lelaki parau itu tertatih-tatih mendorong gerobak bakso menerobos lautan manusia searah langkahnya.

Tak hanya Dia, seperti pepatah 'ada gula ada semut'. Pedagang kaki lima lain pun sedari Subuh sudah menyerbu arena pesta, dan bahkan saling menyalip, saling, jegal dan terkadang darah tercucur, demi sepetak tempat di pusat kerumunan 'semut'

Namun baginya hal itu sudah lewat, Ia memilih berangkat di pagi jelang siang hari. Tak berharap tempat di kerumunan 'semut' cukup yang ada 'semut'nya, bila tidak 'rizki tak lari kemana' hibur diri dalam hati.

Satu bulan jelang hari H, spanduk betebaran di sudut-sudut kota pun di depan warungnya yang Ia selalu eja: 'Hadiri.... Maklumat Caleg Memberi Bukti Bukan Janji!!! Bla..blaa'. Ejaan paling bawah: 'Bebas Hadir!. Dihibur artis-artis top markotop Ibu kota, Gratis!!! Bla..blaa'

Dua minggu sampai jelang hari H, hidungnya mencium 'bau-bau' tak sedap, sesama kakilima bergerilya ke'oknum' panitia, saling 'tembak' membeli 'warna' dengan gepokan uang dan bahkan ada jual diri demi mendapat sepetak tempat di kerumunan 'semut'. Namun Ia tak tertarik, pernah di beri gratis saudaranya, Ia simpan. Ia lebih mencintai warna-warni alam semesta.

Roda terus menggelinding menerobos lautan manusia dan lorong-lorong spanduk, umbul-umbul, gambar caleg dan artis, terpasang di pohon, tiang listik dan telpon. Abai akan hak-hak asasi pohon dan tiang-tiangnya, mereka terkoyak paku dan jerat talinya.

Namun paling tragis nasib warna-warni alam semesta, di koyak-koyak lantas diganti dua warna kuning dan doreng, dijadikan raja dan ratu warna-warni alam semesta dan bahkan disembah, dipuja-puji bagai Tuhan ! Jikalau tak sewarna, minggir!.

Roda gerobak terhenti sesaat, Ia terhenyak saat melihat sesuatu yang aneh. Entah kekuatan apa, matanya bisa menembus dalemanya rombongan-rombongan yang lewat, entah kaos dalam, celana dalem dan BH pun semua sewarna kuning dan ada pula doreng. Ia berkali-kali usap matanya, namun tak jua hilang.

Ia pun intip miliknya 'Alhamdulillah, masih warna warni' cetusnya spontan dalam hati. Lalu, Ia gelindingkan rodanya seirama Dzikirullah terus dan terus......

....................

Setiba di pertigaan, tepatnya dua kilo dari pusat kampanye, Ia terhenti oleh palang pintu di jaga ratusan pemuda tegap-tegap, ber-jas-jas kuning, ber-baret-baret kuning, penuh waspada bagai Kopassus penjaga tepi batas Negara.

Tak banyak tanya, sebab merasakan aurora tak bersahabat. Ia berusaha cari-cari celah, namun untung tak dapat diraih, teguran Ia dapat.

"Bapak tidak punya kartu anggota, tidak boleh masuk. Area khusus anggota. Selain itu dilarang masuk!" tegur salah satu pemuda itu.

"Maaf, bapak lihat tidak ada tanda larangan, lagi pula tulisan di spanduk bebas hadir..." ujarnya santun, mengingatkan apa yang eja dalam spanduk.

"Kuping bangkotan, apa tidak dengar! Kamu bukan anggota! Ngeyel, mau melawan! Warna kamu norak! Suara kamu parau tidak enak di kuping, di.. la..rang... masuk..! cepat pergi, sepuluh menit lagi caleg-caleg akan datang! Apa kata dunia nanti!" hujatnya, sembari menunjuk-nunjuk jam tangannya, diiring pula tawa anggota yang lain.

"Baik, maaf ..." jawabnya santun.

Suaranya jawabnya tenggelam dilautan tawa mereka dan pandangan sinis peserta yang akan masuk. Ia tak ambil hati kelakuan mereka, yang Ia ambil hanya Dzikirullah. Lelaki parau memutar balik dan menggelindingkan gerobaknya dengan susah payah melawan arus, mencari ruang kosong.

Kurang lebih selemparan batu dari palang pintu masuk, menemukan celah kosong diantara mobil yang parkir. Ia tahu di sepanjang jalan dijaga pula ratusan pemuda doreng, mengatur dan mengawasi parkir kendaraan dengan penuh kewaspadaan bagai Marinir penjaga tempat vital.

.

Bersambung.........

Menyambut kedatangan Caleg

...................

Cerpen ini adalah seribu persen fiksi belaka. Belaka pula imaji hak asasi cerpenis.  Selagi belaka selaras dengan penikmat imajinasi. Jikalau tidak, bunuhlah imaji belaka!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun