Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yakin Bisa Selamat dari "Serangan Fajar"?

25 November 2024   11:22 Diperbarui: 25 November 2024   23:18 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Spanduk 'Hajar Serangan Fajar' di Gedung KPK. Sumber Gambar: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tinggal menghitung hari. Semua Pasangan Calon Kepala Daerah (Cakada) dan tim suksesnya sudah menunjukan usaha terbaiknya untuk merebut hati calon pendukungnya. 

Mulai dari usaha-usaha yang dibenarkan oleh moral dan regulasi sampai yang bertentangan dengan keduanya. Bukan tidak mungkin, masa-masa tenang Pilkada kali ini pun akan diwarnai usaha-usaha yang bertentangan dengan moral dan regulasi tersebut.

Pasalnya, Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Berbagai tantangan masih dihadapi oleh Penyelenggara Pemilu dan masyarakat dan menuntut kedewasaan para pihak untuk menuntaskannya. 

Salah satu tantangannya adalah kampanye di Pemilu Indonesia masih ditempatkan sebagai aktivitas populis artifisial yang hanya secara simbolis berupaya menunjukan kehadiran fisik partai politik atau calon, namun belum sebagai bagian dari aktivitas pendidikan politik.

Penyebaran kabar/berita bohong juga turut merongrong kredibilitas penyelenggaraan Pemilu. Akibatnya, masyarakat sangat mudah diadu domba, terbujuk untuk melakukan kekerasan, sentimen SARA dan penghilangan hak pilih. 

Kondisi masyarakat yang seperti ini tidak akan menghasilkan Pemilu yang objektif. Sebab, ketika fakta tidak dikedepankan, pengambilan keputusan/kebijakan hanya akan mementingkan emosi.

Selain itu, masyarakat juga masih dapat melihat beberapa calon legislatif yang pernah berstatus sebagai terpidana korupsi pada pemilihan legislatif lalu. 

Ini menggambarkan kegagalan partai politik dalam melaksanakan fungsi kaderisasi. Kualitas para kader yang diragukan juga ditunjukan dengan mental yang dimiliki oleh para calon yang rata-rata hanya siap untuk menang, namun tidak siap kalah. 

Kondisi tersebut diperparah dengan masifnya praktik jual beli tiket/kursi pencalonan (candidacy buying), jual beli suara pemilih (vote buying), dan rendahnya integritas penyelenggara Pemilu sehingga mudah disuap. Seluruh aktivitas tersebut mengakibatkan politik semakin mahal.

Asumsi di atas didukung dengan data hasil studi KPK pada tahun 2020. Dimana, modal finansial para calon menempati 95,5% dari seluruh faktor pemenangan Pemilu. 

Sementara itu, faktor visi misi  dan program kerja hanya memiliki pengaruh sebesar 39,2%. Salah satu sumber dari besarnya modal finansial tersebut adalah sponsor dengan proporsi mencapai 35%. 

Konsekuensi dari adanya sponsor dalam Pilkada harus ditanggung oleh Kepala Daerah terpilih, diantaranya seperti: kemudahan perizinan bisnis, keamanan dalam bisnis, atau menjadi prioritas dalam proyek pemerintah. 

Hasil Survei KPK pada tahun 2020 pun menunjukan bahwa 47% penyumbang mengharapkan balasan kemudian/timbal balik, 52% Calon Kepala Daerah menganggap lazim jika menempatkan pendukungnya di jabatan yang strategis  jika berhasil memenangkan Pilkada, dan 65% Calon Kepala Daerah menyatakan akan memenuhi harapan penyumbang jika menjabat. 

Hasil Survey LIPI pada tahun 2019 juga mengungkap fakta yang cukup memprihatinkan. Dimana, 47,4% masyarakat membenarkan adanya praktik politik uang dalam Pemilu serentak 2019 dan 46,7% masyarakat menganggap politik uang sebagai hal yang wajar. 

Senada dengan hal tersebut, Lembaga Pemantau Pemilu-Deep Indonesia-menerbitkan hasil kajiannya tentang dinamika komunikasi politik perempuan terhadap godaan politik uang pada petiode 2019 sampai dengan 2020. 72% pemilih mengaku telah menerima politik uang dan 82% diantaranya adalah perempuan berusia di atas 35 tahun.

Hasil Survey Persepsi Anti Korupsi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) turut menguatkan data-data di atas. Menurut BPS, masyarakat semakin permisif terhadap politik uang. 

Hal ini ditunjukan dengan adanya penurunan indeks persepsi anti korupsi pada parameter 'Peserta Pilkades/Pilkada/Pemilu membagikan uang/barang/fasilitas ke calon pemilih', yakni dari 77,25 pada tahun 2021 menjadi 75,49 pada tahun 2022.

Dan, parameter 'Mengajak anak dalam kampanye Pilkades/Pilkada/Pemilu demi mendapatkan imbalan (uang, barang, sembako, pulsa, dll.) lebih', yakni dari 89,96 pada tahun 2021 menjadi 77,44 ada tahun 2022.

Dari data-data yang telah disajikan di atas-sudah seharusnya-kita perlu meningkatkan daya tahan diri dan lingkungan dari potensi politik uang menjelang hari pemungutan suara. 

Sebab, meski berbagai upaya pencegahan telah dilakukan oleh penyelenggara Pemilu dan aparat penegak hukum, namun permasalahan utama di sektor politik tersebut masih belum bisa diberantas. 

Politik uang atau yang lebih populer dikenal dengan istilah ‘Serangan Fajar’ adalah tindak pidana yang memicu terjadinya korupsi di level yang lebih rendah. 

Mahar politik yang telah dikeluarkan oleh para Cakada dan pendukungnya akan menuntut 'pengembalian' saat yang bersangkutan menduduki kursi pemerintahan. 

Larangan politik uang sudah tertuang dalam Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Sayangnya, banyak pihak belum serius untuk menindak tegas perbuatan melawan hukum tersebut.

Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

Oleh karena itu, benteng pertahanan yang masih tersisa hanya nilai-nilai integritas diri. Mari pelajari kembali visi misi dan program kerja para Cakada! 

Jangan biarkan objektifitas dipengaruhi oleh 'suap' yang bahkan tidak bisa menjamin kebahagiaan siapa pun di dalam kehidupan ini, karena suara anda lebih bernilai dari apapun. 

Laporkan segala bentuk pelanggaran dan kecurangan melalui berbagai kanal informasi yang tersedia. Jangan biarkan bangsa kita dipimpin oleh orang-orang yang tidak berintegritas dan yakinlah kita semua bisa selamat dari 'Serangan Fajar'! 

Hajar Serangan Fajar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun