Sejak beberapa waktu yang lalu, saya mulai mendisiplinkan diri untuk merespon Hari Bhakti Pemasyarakatan dan beberapa event formal tertentu dengan tulisan diberbagai pilihan media.
Meskipun selalu merespon dengan seloroh atau bahkan bisa dibilang "guyonan ndalan" tetap saja sebetulnya ini adalah kegiatan yang membutuhkan effort lebih, karena secara pribadi saya harus menyiksa diri dengan deadline yang sebetulnya tidak perlu saya sendiri tetapkan.
Namun apa boleh buat, nampaknya perlu sebuah sacrifice ala kadarnya. Bahkan pada momen yang berbahagia ini, secara sengaja saya yang tidak tahu diri ini juga berencana membuat sebuah Kolom Series untuk ikut menyemarakan Hari Bhakti Pemasyarakatan.
Pada kesempatan ini saya mencoba untuk tidak berkelakar dan lebih serius. Setidaknya melalui series ini, saya (mewakili masyarakat yang belum tentu bersedia diwakilkan) ikut menaruh harap dalam doa-doa yang dilangitkan bersama, semoga apa yang dihajatkan menjadi sebuah penyelebrasian makna dan pembumian manfaatnya.Â
Bismillah... (Wejangan dari Syaikhona yang sebisa mungkin setiap sore saya sowani)
Pagi tadi seketika saya "mak traatap" mendengar Sambutan Menteri Hukum dan HAM di kanal resmi instansi tersebut.
"Jumlah narapidana yang begitu banyak dan masih dalam usia produktif adalah sebuah labor force yang harusnya mampu dioptimalkan. Karena kondisi sebaliknya, massisve idle labor akan menjadi ancaman besar terhadap kondisi keamanan dan ketertiban di Lapas," jelas Yassona H. Laoly.
Sekejap saya membayangkan kondisi idleness di Lapas saat ini seperti bom waktu. Detonator telah diaktifkan dan ledakan tinggal menunggu waktu.
Saya menyakini bahwa tanpa perlu menunggu trigger yang berarti lagi kondisi idleness di Lapas mampu menjadi hulu ledak bagi masalah apapun.
Memang salah satu persoalan paling besar yang dihadapi oleh setiap penjara di dunia adalah kondisi tidak adanya kegiatan formal yang dilakukan oleh narapidana selama berada di dalam penjara. Praktis mereka hanya keluar sel di pagi hari, kemudian beraktifitas sesukanya, untuk kemudian masuk kembali ke dalam sel pada petang harinya.
Dalam kurun waktu sekian lama dan berulang-ulang, maka kondisi tersebut rentan sekali terhadap proses-proses interaksi sosial yang tidak sehat seperti pengelompokan atau pengorganisasian narapidana (geng) untuk usaha-usaha melanggar tata tertib.
Adanya proses komunikasi dan interaksi antar narapidana dalam durasi waktu yang cukup lama dan intensitas yang cukup sering di dalam Lapas juga memungkinkan terjadi proses pembelajaran kejahatan yang oleh Sutherland disebut dengan differentiational association.
Dikaitkan dengan issue kerusuhan dan kebakaran beberapa waktu yang lalu, maka kondisi idleness seperti di atas tentu sangat mengerikan. Kondisi idleness jelas akan menjadikan Lapas sebagai penyumbang lampu kuning terhadap indikator keamanan nasional.
Hal ini didasarkan pada kenyataan yang dijelaskan oleh Frank J. Culiffo, bahwa penjara diyakini sebagai inkubator ide-ide ekstrem, di mana berbagai varian gerakan milisi dibentuk dan merekrut.
Senada dengan hal tersebut, Jess Maghan, seorang Praktisi Senior Intelijen Pemasyarakatan Canada menjelaskan bahwa tipikal-tipikal kejahatan yang terorganisir memang sangat canggih dalam menggunakan lingkungan penjara untuk keuntungan mereka.
Mereka selalu mampu menempatkan penjara menjadi bagian dari permainan, penjara dipersepsikan sebagai waktu untuk beristirahat, menghitung, dan merekrut. Mereka bergerilya dalam menggalang kekuatan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan penjara.
Tentunya ini perlu menjadi perhatian khusus otoritas penjara dalam menciptakan sebuah terobosan kebijakan dalam mengatasi idleness tersebut.
Dalam konteks ini, populasi Lapas yang saat ini hampir seluruhnya mengalami overcrowded, maka pembinaan yang bersifat massive sehingga menyerap banyak tenaga kerja dianggap lebih efektif daripada pembinaan segmented yang belum tentu dapat dilakukan atau diminati oleh masing-masing narapidana. Bagaimana sebisa mungkin narapidana terserap dalam pembinaan yang berorientasi kerja dan memiliki keberlanjutan yang pasti seperti sebuah kegiatan industri yang berada di dalam Lapas.
Praktik kegiatan industri di Lapas selain sebagai manifestasi dari pemberian bekal hidup, juga dirasakan selaras dengan kebutuhan Lapas dalam mengatasi idleness yang sangat berpotensi terhadap berbagai gangguan keamanan.
Dengan suasana kerja yang diciptakan melalui industri di Lapas, maka proses-proses interaksi antar narapidana secara konstruktif dimasukan dalam sebuah kanal yang salurannya dapat dengan mudah diarahkan dan bahkan dibatasi agar sesuai dengan tujuan.
Proses interaksi yang begitu acak dalam kondisi idleness, akhirnya dapat dipolakan dengan penempatan narapidana dalam pos-pos kerja pada industri di Lapas.
Berdasarkan kaidah organisasi dalam sebuah kegiatan indusri maka departementalisasi pekerjaan menjadi alasan yang tepat bagi otoritas Lapas untuk secara ketat melakukan pengawasan melalui puzzling komposisi narapidana yang dilokalisir dalam menciptakan lingkungan kerja.
Proses penciptaan lingkungan kerja inilah yang diharapkan sebagai proses kanalisasi ruang interaksi sosial yang sebelumnya terlalu dibuka dalam kondisi idleness.
Upaya tersebut dilakukan untuk mempersempit kemungkinan para narapidana berinteraksi secara leluasa sehingga dapat menutup ruang gerak differentiational association yang terjadi di dalam Lapas.
Besarnya kondisi idleness yang ada di Lapas, sebenarnya memberikan peluang Lapas untuk mengembangkan potensi narapidana tersebut menjadi aset yang dapat didayagunakan untuk mendukung kegiatan industri di Lapas.
Dalam konteks ekonomi makro kondisi idleness narapidana adalah potensi yang luar biasa, terutama melalui keunggulan jumlah sumber daya manusia yang dapat dijadikan motor penggerak industri tersebut.
Masing-masing narapidana dari segi manusia dengan kemampuan individunya adalah sebuah human capital.
Human capital memang sebuah modal yang tidak berwujud nyata karena berupa intelektual yang bersifat kolektif seperti kompetensi, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki oleh individu. Namun hal ini merupakan faktor kunci dalam sebuah kegiatan industri, karena manusia adalah satu-satunya faktor kesuksesan yang tidak diperdagangkan sebagai komoditas dagang.
Selain itu, sebagai salah satu usaha dalam pengintegrasian kembali ke dalam masyarakat, kegiatan industri di Lapas diharapkan dapat menjadi bridging upaya peran serta dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif sehingga menimbulkan rasa turut bertanggung jawab para pelanggar hukum dalam usaha bersama membangun bangsa.
Kegiatan industri di Lapas juga memiliki tujuan yang bermanfaat terhadap kesejahteraan kolektif maupun individual. Bahkan mampu dielaborasi dalam pembangunan nasional dengan menggerakan roda perekonomian melalui sektor industri kecil dan menengahnya dan pendapatan negara bukan pajak.
narapidana secara langsung akan berkontribusi bagi keluarga dan lingkungannya, sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi Pemasyarakatan.
Dan jika diperkenankan memberikan prejudis, narapidana yang bekerja di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan sangat produktif, akan lebih besar peluangnya untuk diterima kembali di masyarakat. Dan tentunya ini berdampak besar pada upaya pencapaian tujuan reintegrasi sosial dari Pemasyarakatan.
#series1
bersambung...
Jakarta, 27 April 2022
@Sastrokechu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H