Menariknya, dari lima pilar penggalian hukum di atas, terdapat analogi yang dipakai untuk menghasilkan keputusan hukum. Akan tetapi, mereka mempunyai pemahaman tersendiri mengenai analogi. Definisi yang dihadirkan oleh Ibnu Hanbal yaitu: "Menyamakan sesuatu perkara dalam teks Qur'an atau Hadits dengan sesuatu perkara yang lain. Apabila sesuatu permasalahan tersebut mempunyai kesamaan di satu wajah namun di sisi yang lain berbeda maka analogi tersebut ditolak". Begitulah yang dipahami Ibnu Hanbal dan pengikutnya dalam pembelajaran analogi, seakan realitas yang hidup pada zaman Rasul harus hadir dengan realitas sosial kekinian. Sedangkan perkembangan sosial masyarakat saat ini mulai mengarah pada perubahan yang sangat signifikan.
Selain pemahaman analogi yang patut dipertanyakan, mereka juga menolak secara total peran rasio, intuisi (dzauq sufi) dan takwil terhadap 'teks suci' Islam. Sebab mereka hanya sudi mengambil 'teks suci' secara telanjang, yang kadang di dalamnya masih mengandung pemaknaan ulang agar penganut teologi Islam tidak terperangkap dalam jeruji teks.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam 'teks suci' agama Islam terbagi menjadi dua bagian, lugas (al-muhkamat) dan ambigu (al-mutasyabihat). Ayat dan hadits yang mengandung ambiguitas teks harus ditafsirkan kembali agar umat Islam memahami maksud dan tujuan teks. Apabila mereka, umpamanya, tidak mau mentakwil teks yang ambigu tersebut maka akan berkonsekuensi terjebak pada ranah Tajsim (menyamakan bentuk Tuhan dengan manunsia, atau disebut dengan anthropomorphism). Contoh ayat yang ambigu dalam Al-Quran adalah  firman Tuhan yang berbunyi: "Tangan Allah di atas tangan mereka," (surat Al-Fath:10). Redaksi dari ayat tersebut seakan menunjukan bahwa Tuhan mempunyai tangan, sebagaimana halnya manusia mempunyai tangan. Untuk itu ayat ini harus ditakwil  dengan baik agar tidak lagi menimbulkan ambiguitas bagi orang awam. Semisal, makna tangan yang dimaksud bukanlah tangan yang terbentuk dari tulang belulang kemudian dibalut dengan kulit, melainkan kekuasaan Tuhan di atas kuasa ciptaanNya (baca: Iljam Al-Awam 'an Ilmi Al-Kalam).
Dari sini, peran akal, bahasa, intuisi dan penafsiran sangat membantu ketika memahami teks-teks yang masih ambigu. Dengan demikian, cara pemahaman tekstualis yang diajukan oleh kalangan Salafi dan Wahabi telah runtuh dan gugur karena bangunan idealisme yang mereka pakai tidak terbentuk kokoh.
Krikil-krikil Penghalang Kemajuan Peradaban Islam
Penulis melihat, dalam siklus kekinian, peradaban yang berkembang dan maju hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai kadar intelektualitas yang dibangun  berasaskan moral yang baik; ditambah lagi keterbukaan diri (self) terhadap budaya-budaya lain (others) sangatlah menunjang untuk perbaikan Islam ke depan.
Kalau Islam, umpamanya, ingin menjadi peradaban yang unggul, sudah selayaknya mengikuti tahapan tersebut, menurut penulis. Namun, apabila sebagian oknum-oknum (anti-dialog dengan budaya lain) masih  'berkeliaran' dalam tubuh Islam maka stagnasi bin jumud akan berkelanjutan.
Oleh sebab itu, apabila Salafi-Wahabi dan golongan-golongan yang sepaham secara esensial dengan mereka masih kaku terhadap hal-hal yang baru, sudah barang tentu oknum yang satu ini akan menjadi krikil penghalang kemajuan Islam.
Akhirnya, secara jujur tanpa adanya tendensi apapun, penulis kurang setuju apabila Salafi mengatakan bahwa Islam mereka adalah Islam yang diajarkan oleh Rasul; yang tanpa adanya keterbukaan dengan apa dan siapa. Sebaliknya, agama Islam yang penulis pahami, yaitu agama yang terbuka dengan apa dan siapa. []
S. Admodjo
Salam SASALI