Contoh kongkrit yang hadir dalam kancah penafsir klasik Islam adalah Imam Al-Syafi'i. Ia mendekati Al-Qur'an dan Al-Hadits sesuai dengan metode yang telah dibangun dengan rapih di dalam Al-risalah,yang mana dalam karyanya tersebut, ia menyajikan salah satu metode pendekatan dengan nalar logika Bahasa Arab; alasan konkret Imam Al-Syafi'i memasukan peran bahasa disebabkan Al-Qur'an dan Al-Hadist 'lahir' dan berada di lingkup kebudayaan Arab. Bukan hanya Imam Al-Syafi'i, terlebih Imam Hanafi yang menggunakan logikanya dengan cara mendialogkan maksud teks Qur'an dan Hadist bersama murid-muridnya. Secara tidak langsung, sebenarnya pada masa awal Islam telah muncul keterbukaan tafsir yang beragam yang tidak 'mendewakan' tunggalitas penafsiran teks.
Hadirnya metologi penafsiran tekstulalis yang ditawarkan oleh Ibnu Hanbal, bukan lantas menjadikannya sebagai satu-satunya alat analisa yang bisa semena-mena dibenarkan oleh golongan tertentu atau pengikutnya, melainkan hanya salah satu corak penafsiran yang, mungkin saja, pendekatannya bisa benar atau salah. Karena yang perlu disadari, sebenarnya, ada batas pemisah antara teks dan si penafsir itu sendiri.
Dari sini, setidaknya, penulis sedikit mendapatkan titik kejelasan, siapakah As-salaf atau puritanis itu? Gampangnya, seorang puritan tidak bisa 'dikapling' hanya dengan nama seorang tokoh atau paham tertentu. Melainkan, seorang puritan hanya bisa dibatasi dengan pengikut rasul yang tidak melenceng dari ajaran-ajarannya, meski seorang penafsir menggunakan metode analisa bahasa, akal atau bahkan intuisi (Tafsir Sufi).
Ketika Salafi dan Wahabi Mendekati Teks Suci
Dalam perkembangannya, kata Al-salaf telah menjadi sekte Islam dengan penyebutan Salafiyah. Ada juga yang menamakan diri sebagai Wahabi karena dinisbatkan pada Muhammad bin Abdul Wahab. Keduanya, sama-sama bersandar pada metodologi pendekatan teks Qur'an dan Hadist yang ditawarkan oleh Ibnu Hanbal.
Upaya yang dilakukan Ibnu Hanbal dalam pemahaman teks melalui beberapa tahap, sebagaimana yang ditemukan oleh Dr. M. Imarah;
Pertama, dalam memutuskan solusi permasalahan sosial, orang-orang Salafi mengambil langsung pada teks Al-Qur'an Al-Hadits dengan tanpa pertimbangan logika dan analogi.
Kedua, mengikuti semua hasil penggalian hukum para sahabat tanpa melandaskan terjadinya perbedaan pandangan antara yang satu dengan yang lainnya.
Ketiga,apabila para sahabat berbeda pendapat maka mereka akan mengambil pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Keempat,mengambil Hadits mursal dan dho'if, namun mereka membatasinya dengan pertimbangan analogi yang telah dirancang oleh mereka.
Kelima,Analogi (al-qiyas) dipakai apabila mereka terperangkap pada sebuah masalah yang tidak tercatat dalam teks Al-Qur'an dan Al-Hadits.