Ada sebuah rentetan sejarah yang tidak bisa dipenggal oleh kalangan pemikir, sejarawan, sosiolog dan bahkan para politikus-pun wajib punya andil dalam pengkajian ini. Adalah puritanisme, sebuah paham yang menjadi benih sekte baru dalam Islam, yang muncul pada masa dimana dinasti Turki Usmani mulai goyah atas kekuasaannya.
Awal cerita dimulai dari seorang tokoh yang mempunyai nama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M). Ia terlahir dari lingkungan sosial yang jauh dari peradaban  dan tak kenal informasi tentang laju dinamika perkembangan Islam yang telah berinteraksi cukup lama dengan budaya asing.
Tatkala Abdul Wahab telah mematangkan diri dengan ilmu pengetahuan fiqh, ia mulai berkelana dari kampung Najd (tempat lahirnya) menuju Madinah, Bashrah dan beberapa kota yang mengelilingi Hijaz kala itu. Secara psikologis, Abdul Wahab muda mulai terganggu dengan nuansa sosial yang baru dalam dirinya, ketika singgah di antara kota ke kota yang lain. Ia seakan menganggap bahwa ruang hidup sosial hanya terbatas pada kampung Najd saja tanpa melihat realitas sosio-kultural lainnya; sehingga ia mulai merasa aneh tatkala melihat orang-orang yang tidak sejalan dengan pola hidup dan pola pikir yang ada dibenaknya.
Dengan kata syirik, khurafatdan bid'ah, Abdul Wahab mulai melontarkan ungkapan itu pada penikmat filsafat, pemerhati tasawuf, pengkaji ilmu logika, pengamat seni dan budaya pada setiap perjumpaannya dengan orang-orang tersebut, dalam halqah-halaqah ilmiah.
Disiplin keilmuan di atas, khususnya praktek tasawuf, menurut pandangan Muhamad bin Abdul Wahab, sama sekali tidak pernah diajarkan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya. Kalau pun dipraktekan pada masa rasul, ia melihat hal tersebut hanya dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Oleh sebab itu, ia mulai menghadirkan paham 'pembaharuan' untuk merekonstruksi pemikiran Arab-Hijaz waktu itu dengan mengembalikan ajaran-ajaran murni Islam atau puritanisme. Disamping itu, ia juga menolak dengan keras atas perkembangan-perkembangan dialektika keilmuan dan mazhab-mazhab dalam tubuh Islam. Benarkah Abdul Wahab menganut puritan?
Puritanisme
Kata puritan, dalam bahasa Arab, dikenal dengan Al-salaf. Adapun pemaknaan cukup sempit, ketika berada di tangan Muhamad bin Abdul Wahab. Pertama-tama, Abdul Wahab memaknai diksi Al-salafsebagai garis pembatas atau tebing pemisah yang hanya tertuju pada sarjanawan klasik, yang menurutnya telah berpegang teguh pada ajaran-ajaran yang dibawa oleh rasullah Muhammad. Sarjanawan-sarjanawan klasik tersebut, di antaranya, adalah Ibnu Hanbal (781 - 855 M.), Ibnu Taimiyah (1263-1334 M.) dan Ibnu Qoyim Aj-jauzi (1292-1350 M.). Mereka semua, menurut pandangan Abdul Wahab, adalah sarjanawan-sarjawan yang keilmuannya tidak tercemari oleh disiplin keilmuan di luar agama Islam, semisal: Ilmu Logika, Filsafat dan Teologi, atau lebih tepatnya helenistik.
Pemaknaan sempit yang dilakukan oleh Abdul Wahab dan para pengikutnya atas kata Al-salaf bersandar pada sebuah Hadist rasul yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, yang berbunyi: Sebaik-baik kurun (masa) adalah kurunku, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Dari sinilah, seakan-akan Ibnu Hanbal dijadikan salah satu contoh poros utama ulama klasik yang telah mempunyai legalitas formal atas metodologi-tekstulis-nya dari sahabat terhadap pemahaman Al-Qur'an dan Al-Hadits. Metodologi pemahaman-pemahaman teks yang dilakukan Ibnu Hanbal dan pengikutnya selama tiga kurun waktu itu dijuluki sebagai Al-Salafiyah.Â
Mereka yang mengikuti Ibnu Hanbal, secara sah telah melanjutkan misi-misi pemahaman Islam yang benar dan murni sesuai yang diajarkan rasul. Adapun pada masa tiga abad setelah Rasul, ulama-ulama yang pemikirannya tidak sejalan dengan Ibnu Hanbal, dianggap menyimpang dari ajaran rasul, sehingga Ibnu Hanbal dan para pengikutnya yang 'menisbatkan dir mereka' atau 'dinisbatkan' sebagai Al-salafiyah mengaku yang paling benar. Penulis menganggap, hal tersebut terlalu egois-sentris. Artinya, ia mengenyampingkan logika pemahaman ulama'-ulama' terdahulu yang juga berusaha menganalisa teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadist dengan upaya yang luar biasa matang, semisal: Imam Syafi'i, Imam Malik, khususnya Imam Hanafi, selaku pemuka ulama' rasionalis. Dengan demikian, penulis melihat ada pemaknaan yang tersembunyi dari kata Al-salaf.
Penulis memperhatikan, sederhananya, kata tersebut tidak pada eksistensi teks, akan tetapi pada esensi yang mau disampaikan rasul dalam teks. Teks Hadist yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas'ud itu mengisaratkan agar supaya umat Islam berpegang teguh pada suatu prinsip sesuai yang diajarkan dengan rasul. Ajaran-ajaran yang sesuai dengan Rasul tentunya tidak terbatas pada ruang dan waktu, apalagi ketokohan.
Nah dengan demikian, teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits  yang berpotensi ditafsiran ganda, tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan sudut pandang tafsir yang variatif pula. Ketika penafsir-penafsir  telah muncul kepermukaan dunia Islam untuk menerjemahkan maksud teks Qur'an dan Hadits yang belum sempat terbaca sebelumnya, bukan menjadi sebuah tolok ukur benar dan salah. Karena setiap penafsir mempunyai pisau analisanya masing-masing, ketika mendekati teks.Â
Contoh kongkrit yang hadir dalam kancah penafsir klasik Islam adalah Imam Al-Syafi'i. Ia mendekati Al-Qur'an dan Al-Hadits sesuai dengan metode yang telah dibangun dengan rapih di dalam Al-risalah,yang mana dalam karyanya tersebut, ia menyajikan salah satu metode pendekatan dengan nalar logika Bahasa Arab; alasan konkret Imam Al-Syafi'i memasukan peran bahasa disebabkan Al-Qur'an dan Al-Hadist 'lahir' dan berada di lingkup kebudayaan Arab. Bukan hanya Imam Al-Syafi'i, terlebih Imam Hanafi yang menggunakan logikanya dengan cara mendialogkan maksud teks Qur'an dan Hadist bersama murid-muridnya. Secara tidak langsung, sebenarnya pada masa awal Islam telah muncul keterbukaan tafsir yang beragam yang tidak 'mendewakan' tunggalitas penafsiran teks.
Hadirnya metologi penafsiran tekstulalis yang ditawarkan oleh Ibnu Hanbal, bukan lantas menjadikannya sebagai satu-satunya alat analisa yang bisa semena-mena dibenarkan oleh golongan tertentu atau pengikutnya, melainkan hanya salah satu corak penafsiran yang, mungkin saja, pendekatannya bisa benar atau salah. Karena yang perlu disadari, sebenarnya, ada batas pemisah antara teks dan si penafsir itu sendiri.
Dari sini, setidaknya, penulis sedikit mendapatkan titik kejelasan, siapakah As-salaf atau puritanis itu? Gampangnya, seorang puritan tidak bisa 'dikapling' hanya dengan nama seorang tokoh atau paham tertentu. Melainkan, seorang puritan hanya bisa dibatasi dengan pengikut rasul yang tidak melenceng dari ajaran-ajarannya, meski seorang penafsir menggunakan metode analisa bahasa, akal atau bahkan intuisi (Tafsir Sufi).
Ketika Salafi dan Wahabi Mendekati Teks Suci
Dalam perkembangannya, kata Al-salaf telah menjadi sekte Islam dengan penyebutan Salafiyah. Ada juga yang menamakan diri sebagai Wahabi karena dinisbatkan pada Muhammad bin Abdul Wahab. Keduanya, sama-sama bersandar pada metodologi pendekatan teks Qur'an dan Hadist yang ditawarkan oleh Ibnu Hanbal.
Upaya yang dilakukan Ibnu Hanbal dalam pemahaman teks melalui beberapa tahap, sebagaimana yang ditemukan oleh Dr. M. Imarah;
Pertama, dalam memutuskan solusi permasalahan sosial, orang-orang Salafi mengambil langsung pada teks Al-Qur'an Al-Hadits dengan tanpa pertimbangan logika dan analogi.
Kedua, mengikuti semua hasil penggalian hukum para sahabat tanpa melandaskan terjadinya perbedaan pandangan antara yang satu dengan yang lainnya.
Ketiga,apabila para sahabat berbeda pendapat maka mereka akan mengambil pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Keempat,mengambil Hadits mursal dan dho'if, namun mereka membatasinya dengan pertimbangan analogi yang telah dirancang oleh mereka.
Kelima,Analogi (al-qiyas) dipakai apabila mereka terperangkap pada sebuah masalah yang tidak tercatat dalam teks Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Menariknya, dari lima pilar penggalian hukum di atas, terdapat analogi yang dipakai untuk menghasilkan keputusan hukum. Akan tetapi, mereka mempunyai pemahaman tersendiri mengenai analogi. Definisi yang dihadirkan oleh Ibnu Hanbal yaitu: "Menyamakan sesuatu perkara dalam teks Qur'an atau Hadits dengan sesuatu perkara yang lain. Apabila sesuatu permasalahan tersebut mempunyai kesamaan di satu wajah namun di sisi yang lain berbeda maka analogi tersebut ditolak". Begitulah yang dipahami Ibnu Hanbal dan pengikutnya dalam pembelajaran analogi, seakan realitas yang hidup pada zaman Rasul harus hadir dengan realitas sosial kekinian. Sedangkan perkembangan sosial masyarakat saat ini mulai mengarah pada perubahan yang sangat signifikan.
Selain pemahaman analogi yang patut dipertanyakan, mereka juga menolak secara total peran rasio, intuisi (dzauq sufi) dan takwil terhadap 'teks suci' Islam. Sebab mereka hanya sudi mengambil 'teks suci' secara telanjang, yang kadang di dalamnya masih mengandung pemaknaan ulang agar penganut teologi Islam tidak terperangkap dalam jeruji teks.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam 'teks suci' agama Islam terbagi menjadi dua bagian, lugas (al-muhkamat) dan ambigu (al-mutasyabihat). Ayat dan hadits yang mengandung ambiguitas teks harus ditafsirkan kembali agar umat Islam memahami maksud dan tujuan teks. Apabila mereka, umpamanya, tidak mau mentakwil teks yang ambigu tersebut maka akan berkonsekuensi terjebak pada ranah Tajsim (menyamakan bentuk Tuhan dengan manunsia, atau disebut dengan anthropomorphism). Contoh ayat yang ambigu dalam Al-Quran adalah  firman Tuhan yang berbunyi: "Tangan Allah di atas tangan mereka," (surat Al-Fath:10). Redaksi dari ayat tersebut seakan menunjukan bahwa Tuhan mempunyai tangan, sebagaimana halnya manusia mempunyai tangan. Untuk itu ayat ini harus ditakwil  dengan baik agar tidak lagi menimbulkan ambiguitas bagi orang awam. Semisal, makna tangan yang dimaksud bukanlah tangan yang terbentuk dari tulang belulang kemudian dibalut dengan kulit, melainkan kekuasaan Tuhan di atas kuasa ciptaanNya (baca: Iljam Al-Awam 'an Ilmi Al-Kalam).
Dari sini, peran akal, bahasa, intuisi dan penafsiran sangat membantu ketika memahami teks-teks yang masih ambigu. Dengan demikian, cara pemahaman tekstualis yang diajukan oleh kalangan Salafi dan Wahabi telah runtuh dan gugur karena bangunan idealisme yang mereka pakai tidak terbentuk kokoh.
Krikil-krikil Penghalang Kemajuan Peradaban Islam
Penulis melihat, dalam siklus kekinian, peradaban yang berkembang dan maju hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai kadar intelektualitas yang dibangun  berasaskan moral yang baik; ditambah lagi keterbukaan diri (self) terhadap budaya-budaya lain (others) sangatlah menunjang untuk perbaikan Islam ke depan.
Kalau Islam, umpamanya, ingin menjadi peradaban yang unggul, sudah selayaknya mengikuti tahapan tersebut, menurut penulis. Namun, apabila sebagian oknum-oknum (anti-dialog dengan budaya lain) masih  'berkeliaran' dalam tubuh Islam maka stagnasi bin jumud akan berkelanjutan.
Oleh sebab itu, apabila Salafi-Wahabi dan golongan-golongan yang sepaham secara esensial dengan mereka masih kaku terhadap hal-hal yang baru, sudah barang tentu oknum yang satu ini akan menjadi krikil penghalang kemajuan Islam.
Akhirnya, secara jujur tanpa adanya tendensi apapun, penulis kurang setuju apabila Salafi mengatakan bahwa Islam mereka adalah Islam yang diajarkan oleh Rasul; yang tanpa adanya keterbukaan dengan apa dan siapa. Sebaliknya, agama Islam yang penulis pahami, yaitu agama yang terbuka dengan apa dan siapa. []
S. Admodjo
Salam SASALI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI