Dengan demikian, salah satu cara untuk memperbaiki perpolitikan bangsa Indonesia saat ini adalah dengan mempersiapkan para aktor-aktor yang memiliki kapasitas secara keilmuan dan moral secara karakter individual.
Cerita buram para pejabat Negara sudah banyak kita dengar di media-media massa. Kadangkala atraksi-atraksi antagonistis tak jarang mewarnai hubungan antara rakyat dan pejabat. Masih begitu sering kita dengar rakyat yang merusak kantor-kantor pemerintahan karena ketidakbecusan pejabat yang terkait. Atau tentang korupsi yang merajalela di tataran elit pemerintah.Â
Semuanya membawa kita kepada pemandangan sesak dan sikap pesimistis atas proses demokrasi di negeri ini. Dan sering kali muncul sebagai perlawanan adalah sikap apatisme yang disebabkan rasa penat dan bosan melihat semua itu. Hal tersebut tentu akan berakibat tidak baik pada eksistensi bangsa.Â
Rongrongan dari berbagai doktrinasi yang kontra dengan NKRI akan menjadikan wacana tersebut sebagai ajang untuk menjastifikasi ideology mereka. (Misalnya saja, organisasi-organisai yang membawa wacana khilafah atau negara Islam berlandaskan syari'at Islam.)
Disamping itu, kenyataan pelik yang kita temukan di realitas pendidikan kita saat ini adalah peserta didik yang tidak lagi mencerminkan manusia yang terdidik. Mereka semakin beringas dan tidak mengenal aturan. Sudah biasa kita saksikan di acara-acara berita di televisi tawuran antar pelajar.Â
Baik yang di ibu kota Jakarta maupun di banyak daerah-daerah di Indonesia. Begitupun juga dengan tingkah-tingkah amoral lainnya seperti seks bebas dan kriminalitas. Semua ini membuat kita miris dan prihatin.Â
Padahal jika kita miliki sejarah, bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kemanusiaan yang bagus dan menghargai harmoni sosial. Itu semua terbukti dari sekian bentuk budaya yang dimiliki bangsa ini. Maka dengan demikian, ada yang salah dengan proses pendidikan kita.
Mengkaji tulisan Radhar Panca Dhana beberapa tahun yang lalu di koran Kompas tentang dunia pendidikan kita saat ini. Tulisan tersebut berjudul "Pendidikan Pecundang".Â
Dalam tulisan itu, Radhar menulis bagaimana keadaan peserta didik saat ini adalah warisan dari pendidikan orde baru yang hanya terpaku pada materi-materi sentralistik yang menghasilkan peserta didik prematur.Â
Artinya, kapasitas peserta didik dalam hal intelektualitas tidak maksimal, bahkan cenderung salah produk. Misalnya saja Viky yang terkenal dengan "vikiisme" yang merupakan simbol kebobrokan pendidikan kita. Bagi Radhar itulah salah satu hasil pendidikan kita saat ini. Dan hal tersebut tentunya dibutuhkan evaluasi oleh negara. (Radhar Panca Dhana. Pendidikan Pecundang. Kompas edisi 17 September 2013)
Proses pendidikan seharusnya diarahkan tidak hanya menuju lapangan ke-intelektual-an, tapi juga menuju lautan moral yang bersih. Sehingga peserta didik mampu menyerap pengetahuannya secara baik untuk kepentingan masa depan dan mampu mengolah spiritualitasnya untuk kesalehan horizontal. Untuk melakukan hal ini tentunya dibutuhkan sinergitas budaya di dalam pendidikan itu sendiri.Â