Abstract
The ideal leadership is one of the conditions to form social order which needs dignified preparation of various circles that its central is based on the community itself. Today, our country is experiencing as crisis of ideal leadership. It is proved by the corruption that is still being rampant. To meet the ideal leadership in this country, Indonesia must prepare generation characterized by nations cultural without being restrained by outside traditions and culture.
Kepemimpinan yang ideal merupakan salah satu syarat terbentuknya tatanan masyarakat yang bermartabat yang diperlukan persiapan matang dari berbagai kalangan yang sentralnya pada masyarakat itu sendiri. Kini, negeri kita tengah mengalami krisis kepemimpinan ideal.Â
Itu terbukti dengan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang masih meraja lela. Untuk menyongsong kepemimpinan yang ideal di negeri ini, Indonesia harus mempersiapkan generasi yang berkarakter kebudayaan bangsa tanpa terkungkung oleh tradisi dan budaya luar.
Kata kunci: Internalisasi, budaya nusantara, pendidikan, kepemimpinan ideal.
Pendahuluan
Pemimpin yang bermartabat tentunya menjadi impian seluruh manusia dimanapun berada, begitupun di Indonesia. Hanya saja, harapan untuk mendapatkan pemimpin bermartabat seperti panggang yang jauh dari api. Setiap momen pemilihan umum, kita selalu disuguhkan dengan wacana-wacana progresif terkait masa depan bangsa.Â
Namun demikian, kenyataan pahit yang kini masih memeluk keadaan kita seolah menjadi sinyal negatif, bahwa kita selama ini hanya berjalan di tempat. Sistem perpolitikan kita tak lebih dari konsep mati yang hanya sebatas formalitas bagi sebuah Negara demokrasi. (Asep Nurjaman. Dkk. Kebijakan Elitis Politik Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006) Hal. v-x)
Kesadaran akan posisi kaum elit politik sebagai tulang punggung tegaknya demokrasi tak serta merta membawa kita menuju rekonstruksi paradigma politik yang lebih sehat.Â
Tarik-menarik kepentingan antar partai politik masih saja menjadi pemandangan dalam implementasi birokrasi di negeri ini. Orientasi yang demikian pincang salah satunya disebabkan oleh para aktor di tubuh partai politik itu sendiri.Â
Dengan demikian, salah satu cara untuk memperbaiki perpolitikan bangsa Indonesia saat ini adalah dengan mempersiapkan para aktor-aktor yang memiliki kapasitas secara keilmuan dan moral secara karakter individual.
Cerita buram para pejabat Negara sudah banyak kita dengar di media-media massa. Kadangkala atraksi-atraksi antagonistis tak jarang mewarnai hubungan antara rakyat dan pejabat. Masih begitu sering kita dengar rakyat yang merusak kantor-kantor pemerintahan karena ketidakbecusan pejabat yang terkait. Atau tentang korupsi yang merajalela di tataran elit pemerintah.Â
Semuanya membawa kita kepada pemandangan sesak dan sikap pesimistis atas proses demokrasi di negeri ini. Dan sering kali muncul sebagai perlawanan adalah sikap apatisme yang disebabkan rasa penat dan bosan melihat semua itu. Hal tersebut tentu akan berakibat tidak baik pada eksistensi bangsa.Â
Rongrongan dari berbagai doktrinasi yang kontra dengan NKRI akan menjadikan wacana tersebut sebagai ajang untuk menjastifikasi ideology mereka. (Misalnya saja, organisasi-organisai yang membawa wacana khilafah atau negara Islam berlandaskan syari'at Islam.)
Disamping itu, kenyataan pelik yang kita temukan di realitas pendidikan kita saat ini adalah peserta didik yang tidak lagi mencerminkan manusia yang terdidik. Mereka semakin beringas dan tidak mengenal aturan. Sudah biasa kita saksikan di acara-acara berita di televisi tawuran antar pelajar.Â
Baik yang di ibu kota Jakarta maupun di banyak daerah-daerah di Indonesia. Begitupun juga dengan tingkah-tingkah amoral lainnya seperti seks bebas dan kriminalitas. Semua ini membuat kita miris dan prihatin.Â
Padahal jika kita miliki sejarah, bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kemanusiaan yang bagus dan menghargai harmoni sosial. Itu semua terbukti dari sekian bentuk budaya yang dimiliki bangsa ini. Maka dengan demikian, ada yang salah dengan proses pendidikan kita.
Mengkaji tulisan Radhar Panca Dhana beberapa tahun yang lalu di koran Kompas tentang dunia pendidikan kita saat ini. Tulisan tersebut berjudul "Pendidikan Pecundang".Â
Dalam tulisan itu, Radhar menulis bagaimana keadaan peserta didik saat ini adalah warisan dari pendidikan orde baru yang hanya terpaku pada materi-materi sentralistik yang menghasilkan peserta didik prematur.Â
Artinya, kapasitas peserta didik dalam hal intelektualitas tidak maksimal, bahkan cenderung salah produk. Misalnya saja Viky yang terkenal dengan "vikiisme" yang merupakan simbol kebobrokan pendidikan kita. Bagi Radhar itulah salah satu hasil pendidikan kita saat ini. Dan hal tersebut tentunya dibutuhkan evaluasi oleh negara. (Radhar Panca Dhana. Pendidikan Pecundang. Kompas edisi 17 September 2013)
Proses pendidikan seharusnya diarahkan tidak hanya menuju lapangan ke-intelektual-an, tapi juga menuju lautan moral yang bersih. Sehingga peserta didik mampu menyerap pengetahuannya secara baik untuk kepentingan masa depan dan mampu mengolah spiritualitasnya untuk kesalehan horizontal. Untuk melakukan hal ini tentunya dibutuhkan sinergitas budaya di dalam pendidikan itu sendiri.Â
Hal ini mengingat pentingnya menanamkan karakter budaya bangsa pada diri peserta didik. Sehingga kedepannya diharapkan muncul generasi-generasi cerdas yang memiliki karakter kebudayaan yang khas Indonesia dan mampu menjawab mimpi bangsa memperoleh pemimpin yang ideal.
Kepemimpinan ideal
       Kepemimpinan merupakan kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi dan memungkinkan pengikut untuk memberikan kontribusi terhadap efektifitas dan kesuksessan komunitas. Tambahan pula, kepemimpinan membutuhkan kewibawaan seorang pemimpin sehingga mampu memberikan dampak persuasive dalam implementasi setiap kebijakan. (House dkk, dalam teori dan perilaku organisasi (Malang, UIN Maliki Press. 2008) hal 195)
Kepemimpinan dalam hal ini adalah suatu hal yang menunjukkan pada keadaan pantas seseorang untuk mengatur suatu komunitas (negara). Maka dari itu, tentunya seorang pemimpin harus memiliki karakter yang memungkinkan dia untuk dihormati dalam sebuah komunitas. Hal demikian karena seseorang secara psikologis akan lebih patuh pada perintah atau intruksi seseorang yang memiliki latar budaya yang sama dengan mereka.Â
Di Negara kita, tentunya pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang memiliki karakter sebagaimana budaya yang ada di Indonesia (nusantara). Berbicara budaya nusantara tentunya berbicara perangkat sosial yang cukup rumit dan kompleks. Ini mengingat bangsa Indonesia sebagai negara yang penuh dengan keragaman budaya.Â
Kepemimpinan ideal dengan demikian, merupakan keadaan pemerintah yang dipimpin oleh seorang yang bijaksana dan mampu memehami dengan utuh objek yang dipimpinnya sehingga mampu membawa harapan-harapan dan mimpi masa depan yang dimiliki oleh rakyatnya.Â
Bangsa Indonesia dalam hal ini masih begitu jauh dari model kepemimpinan yang seperti itu. Indikator yang menunjukkan hal tersebut sudah cukup jelas, tidak meratanya perekonomian negara, kolepnya system budaya dan pendidikan kita serta semakin merajalelanya aktifitas koruptif para birokrasi negara.Â
Ada beberapa karakter orang agar bisa menduduki posisi pemimpin ideal. Dibutuhkan karakter yang benar-benar kuat serta pemahaman yang mendalam tentang masyarakat dan negara, agar dia bisa berdiri sebagai pengayom bangsa yang tidak hanya bermodal pencitraan dan topeng media, tapi benar-benar bentuk asli yang bisa merangkul semua elemen masyarakat.Â
Karakter yang seperti inilah yang kelak mampu berdiri di keragaman bangsa Indonesia serta mampu mewadahi semua aspirasi secara objektif dan merata. Ini penting mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibalut keragaman budaya dan nilai dalam masyarakatnya.
Melalui hal ini, maka sekiranya penting dilakukan kajian terkait masa depan politik bangsa Indonesia dengan pemimpin bermartabat yang kelak hadir sebagai jawaban dari mimpi-mimpi rakyat Indonesia.Â
Bukan berarti saat ini pemimpin kita jauh dari karakter pemimpin ideal, tapi hasil yang dicapai menggambarkan bahwa kepemimpinan di negeri ini masih belum bisa berdiri dengan utuh dan objektif.Â
Pemimpin negara masih terkesan berdiri di lahan golongan atau partainya saja. Sehingga lahan-lahan lain yang sebenarnya penting untuk pengembangan negara tak tersentuh dan terbengkalai.
Berangkat dari hal tersebut, maka sekiranya penting untuk meniti langkah-langkah menuju era pemimpin-pemimpin yang bermartabat, yakni para pemimpin yang memiliki ketulusan dalam mengabdi kepada masyarakat dan benar-benar sebagai penyambung lidah masyarakat.Â
Artinya mereka yang menjadi pemimpin tidak justru menjadi penindas dan pengambil hak-hak rakyat. Tentunya hal ini dibutuhkan proses yang tidak sedikit dan butuh keseriusan dan komitmen dari berbagai kalangan. Dari pemerintah sendiri maupun lokal masyarakat.
Ada beberapa komponen yang harus kita persiapkan untuk mempersiapkan pemimpin yang bermartabat. Diantaranya: pendidikan, kebudayaan dan humanisme yang tinggi. Pendidikan menjadi penting karena secara formal maupun non formal dia menjadi syarat dari segala karir di kehidupan ini. Secara formal, seorang membutuhkan pengakuan (ijasah) untuk kepentingan studi maupun pekerjaan.Â
Dan secara non formal pemimpin dituntut pintar dan cerdas. Kemudian, seorang pemimpin juga harus memiliki nilai budaya yang kuat. Dalam hal ini, budaya bangsa Indonesia harus benar-benar melekat dan menjadi karakternya, sehingga akan berimplikasi kepada warga yang dipimpinnya.Â
Warga yang dipimpin akan menemukan sososk panutan dari pemimpin mereka. Adapun yang terakhir adalah humanisme. Seorang pemimpin harus memiliki jiwa humanisme yang tinggi sehingga mampu merangkul seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu.
Evaluasi bidang pendidikan
Sebagai langkah solutif, kita mesti melakukan pembenahan dalam bidang pendidikan. Ini mengingat pendidikan sebagai sentral dan penentu perbaikan masa depan. Namun demikian, tidak cukup dengan perbaikan pendidikan secara independen, melainkan konsep pendidikan harus disinergikan dengan budaya yang ada.Â
Dalam hal ini bangsa Indonesia harus menggali nilai-nilai budaya yang mereka miliki, agar mampu menjadi ruh dalam proses pendidikan bangsa. Mekanisme ini memang membutuhkan waktu yang lama dan intens karena berbicara piranti halus dalam diri manusia yang itu hanya bisa disentuh melalui kesadaran diri.Â
Untuk membangkitkan kesadaran diri terhadap budaya sendiri, dibutuhkan semangat mencintai identitas diri dan tidak terbuai dengan kebudayaan luar.
Jika kita flashback ke masa lampau, situasi pendidikan kita saat ini yang akultural adalah situasi pendidikan kita pada awal kemerdekaan. Dimana pada awal kemerdekaan, bangsa kita mengalami virus alienasi yakni keterasingan dari budaya sendiri. Ini merupakan implikasi logis dari proses kolonialisme yang begitu panjang.Â
Diantara rasa keterasingan tersebut berupa: meragukan hakekat diri sendiri, ragu akan penentuan tempatnya ditengah lingkungan, ragu pada bahsa Ibu dan pengalaman eksistensial kaum serta bangsa sendiri, dan yang paling parah terasing dari kebudayaan sendiri, dengan akibat terjadinya urbanisasi secara massal.Â
Yang menjadi pertanyaan adalah, jika dulu kita mengalami alienasi karena baru merdeka, maka apakah setelah 72 tahun bangsa ini merdeka, kita masih dikungkung kebudayaan luar? (Kartini Kartono. Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. 1990 Bandung: Mandar Maju. Hal 30)
Secara formal akademik, barangkali kita telah menyusun banyak materi sebagai standarisasi dan kodifikasi terhadap kebudayaan yang kita miliki, namun apakah kebudayaan terbatas pada dialektika konsep? Berbicara budaya seharusnya berbicara aplikasi. Artinya kebudayaan bangsa kita tidak mungkin terinternalisasikan dengan sendirinya tanpa kemauan dari semua warga negara.Â
Dalam hal ini, pemerintah sebagai penegak administrasi pendidikan harus membentuk kegiatan-kegiatan ataupun program yang sifatnya mengajak seluruh warga negara menyerap nilai kebudayaan yang dimiliki agar nilai-nilai budaya bisa terinternalisasikan pada sikap dan tingkah laku warga negara, dalam hal ini adalah peserta didik.Â
Kenapa ini penting, karena sesungguhnya akar dari kebobrokan pendidikan kita saat ini adalah aninternalisasi kebudayaan sendiri (budaya nusantara) terhadap pendidikan kita dewasa ini.
Salah satu hal yang melatari ini memang tidak bisa kita pungkiri adalah pengaruh kolonialisme, namun kini kita harus segera merancang langkah dan tehnik agar mampu keluar dari lingkaran setan masa lalu yang telah mengembargo kita dari kebebasan mengekpresikan kebudayaan sendiri sehingga kita kehilangan jati diri.Â
Kembali mengkaji nilai-nilai sendiri adalah langkah bijak untuk kembali menjadi bangsa yang sadar dan menyerap identitas sendiri, tidak berjiwa dengan ruh budaya lain.
Budaya nusantara sebagai ruh pendikan bangsa
Budaya nusantara atau dalam istilahnya Ki Hajar Dewantara adalah kebudayaan nasional merupakan kebudayaan puncak dari budaya-budaya yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Budaya nusantara dengan demikian adalah identitas bangsa Indonesia yang berakar pada keragaman yang dimilikinya karena adanya cita-cita dan harapan yang sama, yakni kejayaan dan kesejahteraan bangsa.Â
Dengan demikian, budaya nusantara sebagai ruh pendidikan berarti menjadikan nilai-nilai budaya nusantara sebagai senergi bagi pendidikan formal, yang kemudian diharapkan terinternalisasikan di dalam jiwa peserta didik sehingga mampu menjadi generasi yang peduli kepada bangsa sendiri juga mampu untuk menggerakkan roda kepemimpinan ketika masa mereka sampai pada hal itu.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pemerintah dan seluruh kalangan yang bergerak untuk menjalankan roda pendidikan harus memiliki komitmen yang kuat dalam memasukkan kebudayaan nusantara dalam materi pendidikannya, yang mana sifatnya adalah materi aplikasi, artinya peserta didik diarahkan untuk mengimplimentasikan kebudayaan yang mereka miliki dengan suka rela. Jika hal ini berhasil, maka apa yang disebut sebagai pendidikan karakter akan mempengaruhi hasil yang maksimal.
Salah satu gerakan pemerintah yang juga harus di minimalisir adalah gerakan penerapan modernisasi pendidikan menurut pola luar. Dalam hal ini keberadaan sekolah-sekolah yang lebih berkarakter keberatan bisa dijadikan contoh. Kebijakan ini tentu akan membawa pada pengadopsian budaya luar dan kurang menyertakan unsur-unsur budaya asli serta aspirasi lokal dan regional.Â
Implikasi dari kebijakan ini adalah munculnya mental-mental peserta didik yang tidak berkarakter bangsa sendiri tapi justru berjiwa budaya luar. Sistem pendidikan seperti ini sebenarnya sudah dulu disindir oleh Robert S. President World Bank Group (1974) yang menyatakan bahwa negara-negara berkembang dalm sistem pendidikan masih saja terkungkung dengan kebudayaan kolonial yang pernah menjajahnya. (Ibid. Hal 31 dan33)
Dari data diatas, berarti salah satu yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk memperbaiki peserta didiknya adalah dengan memperbaiki pendidikannya serta tidak lupa pada ruh pendidikan berupa kebudayaan asli milik sendiri (budaya nusantara).Â
Dengan demikian, nantinya akan terbentuk suatau generasi cerdas secara intelektual dan memiliki kesalehan sosial secara horizontal yang terbangun melalui penghayatan yang mendalam dan internalisasi dari kebudayaanya.
Internalisasi Kebudayaan nusantara dalam pendidikan
Ada beberapa hal teknis yang mesti dilakukan pemerintah dan seluruh elemen terkait dalam rangka menginternalisasikan kebudayaan nusantara dalam pendidikan guna membentuk kepemimpinan yang ideal. Pertama, masyarakat harus sadar akan nilai-nilai kebudayaan luhur yang mereka miliki dan mau menggali dan mengkaji milik mereka itu sehingga proses internalisasi lebih efektif dan merupakan kesadaran individual.Â
Mekanisme ini tentunya didasarkan dengan daerah masing-masing di seluruh Indonesia. Artinya, setiap kebudayaan daerah yang ada memiliki kewajiban untuk mengkaji kebudayaan lokal mereka.Â
Kedua, dari sisi regulasi, pemerintah harus mensistematisasikan kurikulum, kebudayaan berbasis lokal genius sehingga mampu menjadi payung hukum dan penekanan yang sifatnya instruktif dari pemerintah. Harapannya, dengan regulasi yang ada, proses internalisasi akan semakin tersistematiskan.
Selanjutnya, semua pihak juga memulai internalisasi budaya yang berorientasi pendidikan sedini mungkin. Yakni dengan cara mengenalkan kebudayaan-kebudayaan daerah kepada peserta didik, mengarahkan anak-anak untuk mencintai kebudayaan sendiri. Salah satu untuk menopang ini adalah budaya bercerita tentang cerita rakyat.Â
Dalam hal ini kisah-kisah tentang pemimpin perkasa yang pernah dimiliki nusantara atau daerah kerajaan masa lalu daerah terkait masing-masing. Seperti cerita tentang Gajah Mada, Sidharta Gautama dan lainnya.Â
Ini bertujuan untuk menanamkan sikap kepemimpinan dan mampu membawa aspirasi seluruh rakyatnya. Dengan demikian, harapan akan terbentuknya pemimpin yang bermental seperti yang diharapkan bisa tercapai.
PenutupÂ
Untuk memulai internalisasi budaya dalam pendidikan seyogyanya dimulai sejak dini agar hasil yang dihasilkan lebih efektif dan mampu bertahan dari segala penyakit zaman seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini mengingat kita sudah terikat dalam lingkaran setan KKN sehingga sangat sulit memberangus virus tersebut.Â
Disamping itu, mengingat kebudayaan lokal juga memiliki senyawa yang namanya local genius yang mana fungsi darinya adalah untuk mengantisipasi, menyaring, bahkan mentransformasikan berbagai bentuk pengaruh budaya luar sehingga sesuai sengan ciri-ciri masyarakat lokalnya, maka masyarakat yang bersangkutan makain stabil.Â
Dengan demikian, untuk menjadikan budaya sebagai nyawa dalam pendidikan, maka kebudayaan juga harus disucikan dari pengaruh luar, ini untuk memastikan bahwa budaya yang akan kita masukkan dalam pendidikan benar-benar karakter bangsa dan akhirnya mampu membentuk generasi kepemimpinan yang ideal, yakni kepemimpinan yang akan membawa Indonesia lebih cemerlang. []
Sastro A.
Salam SASALI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H