Ada ungkapan yang lebih profokatif dari seorang penggagas Zionisme, Theodor Herzl  pada tahun 1895 mengatakan " kami akan berusaha sekuat tenaga mengusir orang-orang Arab ke negeri tetangga dan akan menutup pintu masuk dan pekerjaan bagi mereka di negeri kami ini". Ia lalu berseru kepada warga Yahudi," kamu sekalian tidak akan menemukan kebahagian bila masih ada penduduk selain Yahudi di tanah palestina". Ungkapan profokatif, rasisme dan lebih meggambarkan pada neo-nazisme di jerman, yang di munculkan oleh pemimpin-pemimpin Zionisme tersebut menjadi sebuah ideologi dasar Negara Israel raya, serta menjadikannya maple (mata pelajaran) di setiap sekolah-sekolah hingga pada tingkat university.
Faham Zionisme yang rasis, semi nazi, arogansi dan bersifat kolonisme tersebut tidak sama sekali mencerminkan eksistensinya sebagai pemabawa misi Agama Yahudi, melainkan lebih mununjukkan sebagai organisasi polotik skuler dan kolonial. Dalam banyak hal keberadaan Zionisme ini di tentang oleh ummat yahudi sendiri. Ketua pendeta Yahudi inggris Prof. Jonatahan Sack mengatakan" banyak hal yang terjadi setiap hari yang menjadikan saya sangat tidak nyaman sebagai orang Yahudi ". Bermunculan perotes mengenai keberadaan faham Zionisme tidak hanya pada ummat Yahudi yang demokrat dan taat.
Protes tersebut bermunculan juga pada kalangan akademisi yahudi. Suatu kalangan akademisi Yahudi, kelompok yang menamakan dirinya "para sejarawan baru," telah membongkar "kebohongan suci" yang ditanamkan dalam kebijakan resmi Israel, serta kebenaran yang berhubungan dengannya, semenjak awal 1980an. Para anggotanya, yakni Benny Morris, Ilan Pappe, Avi Shlaim, Tom Segev, Baruch Kimmerling, Simha Flappan, dan Joel Miqdal, menyerang reaksi kuat dari orang-orang Yahudi yang menganut paham Zionis. Mereka mempertanyakan "kebohongan suci" berikut ini: Ras orang-orang Arab lebih rendah dari Yahudi, Israel adalah sebuah negara kecil yang mencoba bertahan di suatu daerah yang dikelilingi oleh musuh-musuh, semua orang Palestina adalah teroris yang ingin menghancurkan Israel, dan teroris-teroris gila ini pantas menerima balas dendam. Tom Segev, misalnya, salah satu anggota paling penting dari "sejarawan baru" ini, mengemukakan hal berikut ini mengenai sejarah "resmi" Israel: "Hampir hingga sekarang, kita tidak mempunyai sejarah negara ini yang sebenarnya, selain mitos." Kritik yang jujur ini, yang dulu hanya pernah disuarakan oleh akademisi dan cendekiawan Muslim, sekarang dinyatakan lebih keras oleh banyak orang-orang Yahudi dan akademisi Kristen yang mencoba menilai kembali sejarah dengan sudut pandang yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan. (Harun Yahya. Yahudi melawan terorisme Israel.com).
Orang-orang ini, yang telah menyaksikan kebiadaban Zionis, melihatnya sebagai bentuk lain ideologi penjajahan yang didirikan dalam rasisme abad kesembilan belas. Mereka tidak punya bukti apa pun untuk mitos bahwa Israel adalah "suatu negara kecil dan sendirian menghadapi kepungan musuh-musuh yang ingin menghancurkannya." Sebaliknya, Israel, melalui aksi-aksinya, terbukti menjadi suatu negara kekerasan yang menganut kebijakan penindasan dan penyerangan.
Hujan perotes yang mengalir dari hati nurani ummat Yahudi sendiri entah yang  bersumber dari kalangan moderat atau akademis, menujukkan bahwa tidak selamnya kebijakan Israel dalam invansinya terhadap warga pelstina tersebut sesuai dan sejalan dengan kebijakan agama mereka. Melainkan lebih jauh didalam kebijakan Israel tersebut telah di tunggangi oleh kepentingan politik sang penguasa. Lebih profokatifnya lagi kebijakan-kebijakan tesebut membawa-bawa nama Agama sehingga banyak kalangan yang mengasumsikan bahwa dilema konflik Israel-palestina hanya lah merupakan dendam kesumat yang di wariskan oleh nenek moyang  mereka masing-masing.   Â
Penutup
Akhirnya sampailah pada sebuah konklusi ringkas, dalam artikel ini penulis  hanya sekedar mencoba untuk membedakan antara ajaran Agama Yahudi yang membawa misi perdamaian bagi setiap pemeluknya, dengan tidak begitu manusiawinya diseret oleh sebagian orang yang mengatasnamakan Zionisme kedalam lubang politik yang bersimbah darah manusia tak berdosa dan penindasan berkepanjangan. " Peromised land ", hanyalah sebuah mitos yang tidak mendasar sama sekali seperti halnya yang di ungkapkan oleh sarjanawan Israel, di jadikan sebuah landasan untuk terwujudnya sebuah Negara Yahudi merdeka (Israel)  tanpa menghiraukan ribuan nyawa anak adam.
Penulis hanya mencoba memandang Yahudi dari pesepektif kacamata Agama dan Zionisme dari kacamata politik, agar tidak tejerembab pada asumsi yang telah berkembang bahwasanya konflik Palestina-Israel merupakan perang Agama yang telah diwarisi oleh nenek moyang masing-masing. Lebih ringkasnya agar tidak ada dusta dianta kita (Islam-Yahudi).
Bukan hal yang mustahil konflik ini akan berakhir, dalam artikelnya Harun Yahya menegaskan " keadaan akan bisa pulih dan konflik akan berakhir jika Israel di pimpin oleh kaum-kaum moderat yang berpegang teguh pada Turat dan meninggalakan dasar ideolgi Zionisme mereka ". Islam mewakili atas nama Palestina dan Yahudi atas nama Israel, mereka akan dapat hidup berdampingan sepertihalnya pelstina ketika di bawah kekuasan khilafah Islam Umar bin Khatab pada 673 M ataupun ketika pelstina di bawah kekuasaan khalifah ustmaniayah pada 1517 M. hal ini di pertegas oleh seorang kebangsaan Israel, Edward Said mengatakan" minoritas Yahudi dapat hidup seperti minoritas yang lain di dunia Arab. Hal ini berlangsung cukup baik di bawah ke khilafahan ustmaniyah dengan system bangsa (millet) nya. Yang mereka terapkan jauh lebih manusiawi di banding yang kita punya sekarang ". (18-8-2000).
Artikel sederhana ini penulis sajikan dengan penuh kekurangan dimana-mana, namun penulis hanya berusaha menunjukkan fakta yang berkembang, agar kita tidak salah dalam menilai. Pada akhirnya pendapat anda benar menurut anda dan pendapat saya benar menurut saya peribadi, kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT.[]
S. A.