“Dengan Rp 50 ribu untuk mentraktir kawan-kawanmu, engkau akan dikenang mereka. Kenangan baik itulah yang akan muncul kelak saat engkau bertemu mereka kembali dan akan mereka ingat sampai mereka pikun atau mati.. Apalagi kalau saat mentraktir, engkau tidak sombong, tidak tengil dan tidak sok kaya.”
“Lho itu kan cuman kenangan bagi mereka. Apa untungnya buat saya, ayah ?”
“Dengan kamu punya kawan yang terkenang oleh kebaikanmu, suatu saat engkau akan mendapat rezeki jika kawanmu mendapat rezeki. Bisa saja salah seorang kawanmu kelak menjadi presiden bukan ? Bayangkan kalau dia jadi presiden dan kamu orang pintar, tentu kamu bisa diangkatnya jadi menteri...”
“Boleh jadi ayah demikian, yah. Lantas tentang yang Rp 50 ribu satunya lagi, apa hubungannya dengan saya ?”
“Rp 50 ribu yang kau berikan kepada anak miskin sebayamu itu sesungguhnya merupakan sumbanganmu untuk melembutkan hati anak-anak miskin yang biasanya cenderung keras atau sangar karena kemiskinannya. Apalagi kalau uang itu kau belikan makanan bergizi untuk mereka, tentu akan mengurangi kebodohan mereka. “
“Bayangkan, “lanjut sang ayah, “betapa engkau telah menyumbang sebagian manusia miskin sebayamu agar kelak besar tidak sangar dan tidak bodoh. Merekalah yang akan bersamamu di negeri ini kelak kalau sudah besar. Selain menjadi bawahan, boleh jadi di antara mereka ada yang jadi atasan. Bayangkan saja kalau dia yang bodoh dan sangar itu jadi anak buah. Tentu pimpinannya akan kerepotan. Kalau jadi atasan, tentu anak buahnya akan kesusahan. ”
“Ya..benar, yah. Kalau begitu saya akan lakukan jika saya diberi kakek uang berapapun besarnya. “
“Tanpa diberi uang oleh kakekmupun kamu bisa melakukan hal yang sama.”
“Uangnya dari mana ?”
“Bukan uang yang kau berikan kepada mereka. Tetapi tenagamu. “
“Maksudnya bagaimana, yah ?”