Mohon tunggu...
An.Sastra
An.Sastra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pil Kadal

8 Oktober 2024   08:41 Diperbarui: 8 Oktober 2024   08:43 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu sore yang tenang, di bawah pohon besar di tengah desa Karang Kadal, Bagong duduk sambil menghisap rokok lintingannya. Matanya mengamati kejadian di lapangan desa dengan tatapan tajam yang bersembunyi di balik senyumannya yang selalu menyiratkan lelucon.

Di sampingnya, Petruk duduk bersandar, ikut mengamati para warga yang ramai mendiskusikan siapa yang akan terpilih dalam PilKadal kali ini.

"Truk," kata Bagong dengan nada santai, "ini PilKadal udah kayak pertunjukan wayang. Para dewata di kahyangan kayaknya cuma nonton dari atas sana sambil ngopi, melihat kita berlarian kayak semut rebutan remah roti."

Petruk tertawa kecil. "Iya, Gong. Tapi mungkin kita juga tidak tau kalau kita bukan cuma berebut remah roti, tapi rebutan janji-janji kosong."

"Hm, Truk," Bagong mulai dengan senyum sinis, "PilKadal ini sudah seperti sandiwara di langit. Para dewata di atas sana memainkan boneka-boneka mereka, sementara kita di sini hanya bisa menatap, tanpa bisa berbuat banyak."

Petruk menghela napas panjang. "Tapi, Gong, bukankah ini sudah biasa? Para dewata memang begitu. Mereka selalu memutar-mutar langit agar terlihat seperti kita yang memilih, padahal arah angin sudah mereka tentukan."

Bagong tertawa keras. "Ah, memang sudah biasa, tapi bukan berarti kita harus terus menutup mata! Para dewata itu turun dari kahyangan hanya untuk sesaat, ketika mereka perlu memperbaiki bayang-bayang mereka di cermin langit. Mereka janji akan membawa hujan di musim kering, akan menumbuhkan padi di ladang tandus. Tapi begitu mereka naik lagi ke atas, yang tertinggal cuma ilusi, Truk. Bayang-bayang janji yang tersapu angin."

Petruk tertawa kecil, tapi ada kepedihan dalam matanya. "Iya ya, Gong. Dulu waktu Cak Gareng jadi kepala desa, dia janji mau bangun irigasi buat sawah-sawah kita. Nyatanya, sampai akhir masa jabatan, irigasi nggak kelihatan, yang ada malah rumahnya yang makin gede."

Di tengah pembicaraan mereka, rombongan pendukung calon datang. Mereka mengenakan kaos yang sama, meneriakkan yel-yel sambil mengibar-ngibarkan bendera bergambar wajah calon yang mencalonkan diri. Beberapa orang terlihat membagikan amplop kecil, yang dari warnanya sudah bisa ditebak isinya uang.

Petruk mendengus kesal. "Ya, begini terus. Rakyat disogok sama duit recehan, padahal duit kita yang mereka ambil nanti jauh lebih banyak."

Baca juga: Asmara Renjana

Tiba-tiba, seorang lelaki berperut buncit mendekati mereka. "Bagong! Petruk!" serunya sambil tersenyum lebar. "Kalian kan warga sini juga. Ini, saya kasih sedikit bantuan dari calon kita, semoga bermanfaat." Dia menyerahkan dua amplop putih ke tangan mereka.

Bagong memandangi amplop itu dengan tatapan datar, lalu tertawa keras. "Wah, ini nih yang namanya PilKadal! Menyusup di bawah tanah, penuh kelicikan."

Petruk ikut tertawa, namun tak seperti Bagong, tawanya getir. "Gong, duit kayak gini emang bikin perut kenyang sehari, tapi bikin mereka kenyang lima tahun."

Lelaki buncit itu tampak tersinggung. "Hati-hati bicara, kalian. Ini kan bantuan, bukan sogokan. Kalian nggak dipaksa milih siapa-siapa."

Bagong mencibir, "Bantuan? Kalau emang mau bantu, kenapa nunggu mau PilKadal dulu? Kenapa nggak dari dulu, waktu sawah kita kekeringan, waktu jalan-jalan di desa rusak? Semua cuma ada kalau lagi mau menang."

Lelaki itu terdiam sejenak, mukanya memerah. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi.

Setelah lelaki itu menjauh, Petruk membuka amplopnya. "Waduh, Gong, cuma seratus ribu! Apa yang bisa dibeli buat masa depan kita dari duit segini?"

Bagong menghela napas panjang, lalu berdiri. "Sampai kita sadar, Truk, bahwa suara kita itu lebih mahal dari amplop isi seratus ribu. Kalau kita terus begini, PilKadal ini nggak akan pernah berubah. Kadal-kadal di atas sana akan terus berkuasa, sementara kita tetap di bawah, mengais sisa-sisa."

Petruk berdiri di samping Bagong, menatap langit yang semakin mendung. "Mungkin sudah saatnya kita bangun dari bawah pohon, Gong. Bukan cuma nonton."

Bagong tersenyum tipis. "Iya, Truk. Tapi sebelum itu, kita pulang dulu. Amplop ini buat beli nasi bungkus, perut kita udah keroncongan."

Dan dengan tawa getir, mereka berjalan pulang, membawa selembar kenyataan pahit di tangan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun