Tiba-tiba, seorang lelaki berperut buncit mendekati mereka. "Bagong! Petruk!" serunya sambil tersenyum lebar. "Kalian kan warga sini juga. Ini, saya kasih sedikit bantuan dari calon kita, semoga bermanfaat." Dia menyerahkan dua amplop putih ke tangan mereka.
Bagong memandangi amplop itu dengan tatapan datar, lalu tertawa keras. "Wah, ini nih yang namanya PilKadal! Menyusup di bawah tanah, penuh kelicikan."
Petruk ikut tertawa, namun tak seperti Bagong, tawanya getir. "Gong, duit kayak gini emang bikin perut kenyang sehari, tapi bikin mereka kenyang lima tahun."
Lelaki buncit itu tampak tersinggung. "Hati-hati bicara, kalian. Ini kan bantuan, bukan sogokan. Kalian nggak dipaksa milih siapa-siapa."
Bagong mencibir, "Bantuan? Kalau emang mau bantu, kenapa nunggu mau PilKadal dulu? Kenapa nggak dari dulu, waktu sawah kita kekeringan, waktu jalan-jalan di desa rusak? Semua cuma ada kalau lagi mau menang."
Lelaki itu terdiam sejenak, mukanya memerah. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi.
Setelah lelaki itu menjauh, Petruk membuka amplopnya. "Waduh, Gong, cuma seratus ribu! Apa yang bisa dibeli buat masa depan kita dari duit segini?"
Bagong menghela napas panjang, lalu berdiri. "Sampai kita sadar, Truk, bahwa suara kita itu lebih mahal dari amplop isi seratus ribu. Kalau kita terus begini, PilKadal ini nggak akan pernah berubah. Kadal-kadal di atas sana akan terus berkuasa, sementara kita tetap di bawah, mengais sisa-sisa."
Petruk berdiri di samping Bagong, menatap langit yang semakin mendung. "Mungkin sudah saatnya kita bangun dari bawah pohon, Gong. Bukan cuma nonton."
Bagong tersenyum tipis. "Iya, Truk. Tapi sebelum itu, kita pulang dulu. Amplop ini buat beli nasi bungkus, perut kita udah keroncongan."
Dan dengan tawa getir, mereka berjalan pulang, membawa selembar kenyataan pahit di tangan mereka.