Mohon tunggu...
An.Sastra
An.Sastra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pil Kadal

8 Oktober 2024   08:41 Diperbarui: 8 Oktober 2024   08:43 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu sore yang tenang, di bawah pohon besar di tengah desa Karang Kadal, Bagong duduk sambil menghisap rokok lintingannya. Matanya mengamati kejadian di lapangan desa dengan tatapan tajam yang bersembunyi di balik senyumannya yang selalu menyiratkan lelucon.

Di sampingnya, Petruk duduk bersandar, ikut mengamati para warga yang ramai mendiskusikan siapa yang akan terpilih dalam PilKadal kali ini.

"Truk," kata Bagong dengan nada santai, "ini PilKadal udah kayak pertunjukan wayang. Para dewata di kahyangan kayaknya cuma nonton dari atas sana sambil ngopi, melihat kita berlarian kayak semut rebutan remah roti."

Petruk tertawa kecil. "Iya, Gong. Tapi mungkin kita juga tidak tau kalau kita bukan cuma berebut remah roti, tapi rebutan janji-janji kosong."

"Hm, Truk," Bagong mulai dengan senyum sinis, "PilKadal ini sudah seperti sandiwara di langit. Para dewata di atas sana memainkan boneka-boneka mereka, sementara kita di sini hanya bisa menatap, tanpa bisa berbuat banyak."

Petruk menghela napas panjang. "Tapi, Gong, bukankah ini sudah biasa? Para dewata memang begitu. Mereka selalu memutar-mutar langit agar terlihat seperti kita yang memilih, padahal arah angin sudah mereka tentukan."

Bagong tertawa keras. "Ah, memang sudah biasa, tapi bukan berarti kita harus terus menutup mata! Para dewata itu turun dari kahyangan hanya untuk sesaat, ketika mereka perlu memperbaiki bayang-bayang mereka di cermin langit. Mereka janji akan membawa hujan di musim kering, akan menumbuhkan padi di ladang tandus. Tapi begitu mereka naik lagi ke atas, yang tertinggal cuma ilusi, Truk. Bayang-bayang janji yang tersapu angin."

Petruk tertawa kecil, tapi ada kepedihan dalam matanya. "Iya ya, Gong. Dulu waktu Cak Gareng jadi kepala desa, dia janji mau bangun irigasi buat sawah-sawah kita. Nyatanya, sampai akhir masa jabatan, irigasi nggak kelihatan, yang ada malah rumahnya yang makin gede."

Baca juga: Asmara Renjana

Di tengah pembicaraan mereka, rombongan pendukung calon datang. Mereka mengenakan kaos yang sama, meneriakkan yel-yel sambil mengibar-ngibarkan bendera bergambar wajah calon yang mencalonkan diri. Beberapa orang terlihat membagikan amplop kecil, yang dari warnanya sudah bisa ditebak isinya uang.

Petruk mendengus kesal. "Ya, begini terus. Rakyat disogok sama duit recehan, padahal duit kita yang mereka ambil nanti jauh lebih banyak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun