Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Runtuhnya Kasultanan Pajang ( 1 )

3 Juni 2010   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:46 1930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andaka angungas sari tan wrin baya

Abstrak

Tumenggung Mayang adalah seorang nayaka kasultanan Pajang, ia menjadi orang kepercayaan Sultan Pajang, pada sisi lain ia seorang agen rahasia Senapati Ing Ngalaga. Tumenggung Mayang mengabdi di Kasultanan Pajang sudah lama, yakni sejak berdirinya Pajang. Isterinya adalah adik dari Sénapati Ing Ngalaga. Ia mempunyai seorang putra bernama Raden Pabelan, seorang pemuda yang parasnya tampan dan dikenal sebagai playboy.

Di kotaraja, nama Pabelan dikenal setiap wanita , tua, muda, janda dan juga para emban di istana kasultanan Pajang. Tumenggung Mayang menjadi serba salah, ia merasa dipermalukan oleh putra satu-satunya. Karena kegelisahan hatinya itulah, ia akan mengambil keputusan yang grusa-grusu tanpa dipikir akibatnya. Untuk kepentingan politik, maka anak satu-satunya dijadikan korban sebagai sarana untuk memuluskan rencana besarnya.

Misi Rahasia

Ia berharap kelak putranya itulah yang akan dijadikan tumpuan hidup keluarganya, tetapi jika tingkah lakunya saja sudah tidak menyenangkan bagi orang lain, bagaimana mungkin Pabelan mendapatkan simpati dari rakyat Pajang. Akan dibunuh anaknya sendiri, jika tidak mempermalukan orang tua dan leluhurnya. Tumenggung Mayang berkata dalam hati ;” apa jadinya kelak harapan Sunan Giri , jika bukan aku yang memulainya. Kemudian ki Tumenggung memutar otak, mencari cara agar anaknya bisa mendapatkan pencerahan jiwa.

Acara makan malam di Katumenggungan hanya dihadiri Raden Pabelan dan kedua orang tuanya, biasanya jika mengundang makan malam ada keluarga pamannya, tetapi kali ini tidak ada. Dalam hatinya raden Pabelan ingin seperti anak nayaka praja yang lain, ada canda tawa dengan orang tua dan anaknya. Yang dihadapinya tidak demikian, dalam rumah terasa panas, sang ayah sibuk dengan pekerjaannya, maka i yang dilakukan selama ini oleh raden Pabelan hanyalah berfoya-foya.

Sambil menikmati hidangan makan malam, Tumenggung Mayang mengawali pembicaraannya ;” anakku Pabelan, aku dan ibumu ini sudah tua, kami ingin seperti yang lain, mereka bisa bercanda dengan cucunya. Nah , apakah kamu sudah punya pilihan gadis idaman, kalau ada anaknya siapa, nayaka praja, saudagar atau siapa, nanti ayah akan meminangnya, katakan anakku!”.

Tetapi jawaban Pabelan sangat sepele dan mengejutkan kedua orang tuanya, ;” maaf rama, Pabelan masih ingin melajang”. Mendengar jawaban anaknya, maka Tumenggung Mayang menjadi berang ; ‘ bagaimana kamu ini, umurmu itu sudah 30 tahun lebih, tetapi masih ingin sendiri, itu bukan trahing kusuma, bukan watak satriya. Jika kamu menganggap dirimu seorang ksatriya masih trahing kusuma, maka tunjukkan keberanianmu, datangilah putri sekar kedaton kasultanan Pajang. Nanti ayah akan membantumu” kata Tumenggung Mayang

“ Bagaimana mungkin ayah, kaputren itu dijaga ketat, tembok kaputren juga tinggi dan banyak jebakan-jebakan, aku tidak berani masuk kedalam puri. Meskipun sebenarnya selama ini hamba memang selalu membayangkan bagaimana kalau menjadi menantu kanjeng Sultan”, tukas Raden Pabelan.

“Begini anakku, tuan putri itu setiap pagi membeli bunga, dan bunga kesukaan sang putri adalah kenanga dan cepaka, emban yang disuruh beli bunga itu kau bujuk, berikanlah bunga darimu, pasti sang putri merasa gembira. Hanya dengan cara ini engkau bisa mendapatkan sang putri kedaton, kalau dia sudah jatuh kedalam pelukanmu, ayahmu akan segera melamar pada kanjeng Sultan”. Tumenggung Mayang menasehatinya.

Jasa emban Soka

Pada keesokan harinya raden Pabelan sudah menunggu keluarnya emban Soka, ia menunggu di gerbang Sri Manganti dengan membawa contong berisi bunga kenanga, dan bunga cepaka putih, dan terselip sepucuk surat. Raden Pabelan mendekati emban Soka dan bertanya“ bibi, aku mau tanya, apakah anda ini abdinya tuan putri, dan akan pergi kemana ?".

Nyai emban diam tertegun ketika disapa oleh satriya yang tampan, meskipun di dalam kedaton juga banyak sentanadalem tetapi tidak setampan Raden Pabelan. Bahkan emban Soka mengandai-andai, ingin menjodohkan tuan putri Sekar Kedaton dengan Raden Pabelan.

Emban Soka menjawab;” hamba bernama nyai Soka, akan pergi kepasar diutus oleh tuan putri Sekar Kedhaton, untuk membeli bunga kesukaannya “.

“kebetulan bibi, kamu tidak perlu pergi kepasar meski diutus oleh tuan putrimu, tetapi ini, ada bunga yang indah dari aku, tolong kau berikan kepada sang Putri”.

Emban Soka hatinya gembira, pucuk dicinta ulam tiba, pemuda ini tampan dan agaknya cocok untuk sang putri, katanya dalam hati,” siapakah nama raden, jika nanti ditanyakan oleh tuan putri?

Seraya menerima bunga kesukaan Sang putri Sekar Kedaton, emban Soka bengong memandang wajah Radèn Pabèlan tanpa berkedip “ sungguh tampan “ katanya dalam hati.

“namaku Pabelan anak Tumenggung Mayang, “ tukasnya.

Pabelan berhasil membujuk emban Soka, contong berisi bunga dan surat diterima emban Soka, radèn Pabèlan memberi bebungah uang satu ringgit, untuk membuat senang hati emban Soka. Emban Soka dalam hati menyanjung Radèn Pabèlan, sudah wajahnya tampan, suaranyapun merdu, pantaslah di kaputrèn sering dibicarakan, dan banyak wanita banyak yang tergila-gila.

“ baiklah tuanku, hamba tidak jadi membeli bunga di pasar, nanti bunga dari tuan hamba sampaikan pada tuan putri”. Raden Pabelan hatinya gembira, karena luapan hatinya yang tak terkendali, ia segera berlari pulang, untuk memberitahukan pada ayahanya.

Raden Pabèlan sudah kembali ke Tumenggungan, dan menghadap ayahandanya. Dan dengan penuh tatakrama, duduk di hadapan Tumenggung Mayang.

“bagaimana anakku, apakah berhasil? Tanya Tumenggung Mayang pada putranya.

“sudah rama, bunga sudah hamba berikan pada utusan tuan putri, yang bernama emban Soka” jawab Radèn Pabélan.

Dalam pada itu, emban Soka yang telah menerima bunga dari Radèn Pabèlan, segera bergegas menuju kaputrèn da menyampaikanya kepada tuan Putri. Bunga sudah diterima, dan sang putri tahu kalau ada sepucuk surat ditangkainya. Kemudian emban Soka ditanya tentang surat tersebut, emban Soka menceritakan panjang lebar ketika akan membeli bunga, di pertigaan Sri Manganti bertemu seorang pemuda yang ganteng dan memberikan bunga itu untuk tuan putri.

Surat dibuka, sang putri tertegun ketika membaca suratnya; “ kawula atur seraté, abdiné tur pejah gesang, kawula ngèstu pada mring kusuma kang sung wuyung mrih dasihé Pabèlan, yèn siyang tan kolu bukti, yèn dalu tan saged néndra. Yèn Gusti tan welasa ngusadani kawlas ayun, kanga sung lara wigena. Pun Pabèlan angajak lampus yèn tan antuka dasih “

( untuk tuan putri, hamba menyerahkan diri mati hidup hamba, hormat hamba tuan putri orang yang sedang dirundung cinta, hamba bernama Pabelan. Kalau siang tan enak makan, malam tak nyenyak tidur, semua itu hanya mengharap tetesan kasih untuk mengobati sakit hamba, dan hamba rela mati daripada tidak mendapatkan kasih dari tuan putri).

Sang putri Sekar Kedhaton baru kali itu menerima surat dari seorang pria yang menyatakan kasih dan cintanya, hatinya berdebar keras. Surat itupun dibaca berulang-ulang, dan membayangkan wajah tampan Raden Pabelan. Selama ini sang putri sinengker di kaputren. Sang putri seperti kena pengaruh energy cinta, setiap akan berangkat tidur yang terbayang hanyalah wajah sang tampan. Hati meronta ingin keluar kaputren tetapi tidak mampu untuk melakukannya, takut pada perintah kanjeng Sultan.

Pada pagi harinya, seperti biasa emban disuruh membeli bunga di pasar, setelah diberi uang, sang putri memberikan sepucuk surat agar diberikan pada Raden Pabelan. Emban Soka menerima nya kemudian memberikan sembah dan meninggalkan ruang kaputren.

Raden Pabelan sudah lama menunggu di Sri Manganti, hatinya harap-harap cemas, menunggu balasan surat dari tuan putri. Raden Pabelan gembira hatinya, orang yang ditunggu-tunggu sudah datang, ia segera mendatangi emban Soka dengan terbatabata dan wajahnya yang ceria, menanyakan tentang tanggapan tuan putri setelah menerima bunga dari dirinya.

Emban Soka memberi sembah dan menyerahkan surat balasan dari tuan Putri. Juga semua yang terjadi didalam kaputren tentang tanggapan tuan Putri pada Raden Pabelan, diceritakan tidak ada yang tersisa. Raden Pabelan hatinya semakin menggebu, ingin segera menemui tuan putri Sekar Kedaton.

Tumenggung Mayang sedang duduk bersama istrinya, keduanya sedang membicarakan perkembangan putranya yang semata wayang, belum selesai Tumenggung Mayang berbicara dengan isterinya, raden Pabelan memasuki ruangan, tetapi tidak seperti biasanya, kini nampak berseri-seri kegirangan. Surat balasan dari tuan putri diberikan pada ayahanya, yang isinya mengijinkan Raden Pabelan masuk ke puri Kaputren, pada saat sirep wong .

Setelah membaca surat dari Sekar Kedaton, Tumenggung Mayang mulai mengatur siasat “ lah ta kulup anak mami, lamun sira metu nglawang pakéwuh lebumu nggèr, ingsun lebonira lumumpat pager bata, gampanga yèn sira metu, aja ana kang wruh ing sira” ( anakku, jika engkau ingin menemui tuan putri, hendaknya jangan melalui pintu yang ada, tetapi engkau harus melompati pagar kaputren. Karena itu akan memudahkan ketika nanti keluarnya. Kecuali itu kamu lolos dari penjagaan dan pengamatan penjaga kaputren).

Kemudian ki Tumenggung Mayang melanjutkan :” baiklah anakku, rama tidak sampai hati melihatmu, nanti malam ketika sudah sepi, ayah akan membantumu memasuki kaputren, bukankah tuan putri sudah mengijinkan masuk ketika sudah sirep wong “.

Malam itu langit gelap tak ada bintang, bulan sudah melewati purnama, para penjaga yang tungguk, di gardu itu ada empat orang penjaga, mereka membawa senjata bersiap-siap jika terjadi sesuatu di dalam kaputren.

Di bawah pohon tanjung nampak dua orang yang mengendap-endap, merapat di Baluwerti, kemudian Tumenggung Mayang memberi contoh pada raden Pabelan; “kalau mantra sudah dibaca maka tanganmu meraba tembok ini, jika engkau akan keluar, maka usapkan dengan punggung tanganmu, cobalah ayahanda ingin melihatmu”.

Radèn Pabelan melakukan semua petunjuk dari Tumenggung Mayang, dan pagar tembok kaputren menjadi terbelah, selebar orang yang masuk, tembok terhempas di tanah seperti daun pisang. Raden Pabelan sudah berada di dalam kaputren, dan tembok yang roboh itu kembali tegak dan utuh seperti sediakala. Kemudian tembok itu diraba oleh Tumengung Mayang, tetapi mengunci dari mantra sebelumnya, sehingga tidak mungkin anaknya nanti bisa keluar dari kaputren.

Sang dyah Mutèningrum putri Sekar Kedaton, mendengar isyarat suitan burung malam, segera bergegas membuka pintu sengkeran, ia berdiri di tengah halaman, karena situasinya gelap. Sementara itu raden Pabelan berdiri di balik pohon pucang. Jantungnya berdegup keras dan hatinya gembira bisa bertemu dengan orang yang dicintainya, meskipun sang retna belum mengenalnya.

Pabelan segera merunduk mendekati sang putri, ia sendiri tidak ingin membuat tuan putri menjerit kaget, sebab bisa merusak rencana bahkan belum menikmati hasilnya sudah menerima hukuman pancung.

Ketika mengendap semakin mendekat, tuan putri menyapa;” siapakah gerangan yang ada disitu”.

“hamba tuan putri, aku orang luar, anak Tumenggung Mayang, masuk kaputren dengan cara mengendap-endap, hanya ingin mengabdi tuan putri “.

(bersambung)

Babad Demak II (Buminoto,GPH,1937)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun