“bagaimana anakku, apakah berhasil? Tanya Tumenggung Mayang pada putranya.
“sudah rama, bunga sudah hamba berikan pada utusan tuan putri, yang bernama emban Soka” jawab Radèn Pabélan.
Dalam pada itu, emban Soka yang telah menerima bunga dari Radèn Pabèlan, segera bergegas menuju kaputrèn da menyampaikanya kepada tuan Putri. Bunga sudah diterima, dan sang putri tahu kalau ada sepucuk surat ditangkainya. Kemudian emban Soka ditanya tentang surat tersebut, emban Soka menceritakan panjang lebar ketika akan membeli bunga, di pertigaan Sri Manganti bertemu seorang pemuda yang ganteng dan memberikan bunga itu untuk tuan putri.
Surat dibuka, sang putri tertegun ketika membaca suratnya; “ kawula atur seraté, abdiné tur pejah gesang, kawula ngèstu pada mring kusuma kang sung wuyung mrih dasihé Pabèlan, yèn siyang tan kolu bukti, yèn dalu tan saged néndra. Yèn Gusti tan welasa ngusadani kawlas ayun, kanga sung lara wigena. Pun Pabèlan angajak lampus yèn tan antuka dasih “
( untuk tuan putri, hamba menyerahkan diri mati hidup hamba, hormat hamba tuan putri orang yang sedang dirundung cinta, hamba bernama Pabelan. Kalau siang tan enak makan, malam tak nyenyak tidur, semua itu hanya mengharap tetesan kasih untuk mengobati sakit hamba, dan hamba rela mati daripada tidak mendapatkan kasih dari tuan putri).
Sang putri Sekar Kedhaton baru kali itu menerima surat dari seorang pria yang menyatakan kasih dan cintanya, hatinya berdebar keras. Surat itupun dibaca berulang-ulang, dan membayangkan wajah tampan Raden Pabelan. Selama ini sang putri sinengker di kaputren. Sang putri seperti kena pengaruh energy cinta, setiap akan berangkat tidur yang terbayang hanyalah wajah sang tampan. Hati meronta ingin keluar kaputren tetapi tidak mampu untuk melakukannya, takut pada perintah kanjeng Sultan.
Pada pagi harinya, seperti biasa emban disuruh membeli bunga di pasar, setelah diberi uang, sang putri memberikan sepucuk surat agar diberikan pada Raden Pabelan. Emban Soka menerima nya kemudian memberikan sembah dan meninggalkan ruang kaputren.
Raden Pabelan sudah lama menunggu di Sri Manganti, hatinya harap-harap cemas, menunggu balasan surat dari tuan putri. Raden Pabelan gembira hatinya, orang yang ditunggu-tunggu sudah datang, ia segera mendatangi emban Soka dengan terbatabata dan wajahnya yang ceria, menanyakan tentang tanggapan tuan putri setelah menerima bunga dari dirinya.
Emban Soka memberi sembah dan menyerahkan surat balasan dari tuan Putri. Juga semua yang terjadi didalam kaputren tentang tanggapan tuan Putri pada Raden Pabelan, diceritakan tidak ada yang tersisa. Raden Pabelan hatinya semakin menggebu, ingin segera menemui tuan putri Sekar Kedaton.
Tumenggung Mayang sedang duduk bersama istrinya, keduanya sedang membicarakan perkembangan putranya yang semata wayang, belum selesai Tumenggung Mayang berbicara dengan isterinya, raden Pabelan memasuki ruangan, tetapi tidak seperti biasanya, kini nampak berseri-seri kegirangan. Surat balasan dari tuan putri diberikan pada ayahanya, yang isinya mengijinkan Raden Pabelan masuk ke puri Kaputren, pada saat sirep wong .
Setelah membaca surat dari Sekar Kedaton, Tumenggung Mayang mulai mengatur siasat “ lah ta kulup anak mami, lamun sira metu nglawang pakéwuh lebumu nggèr, ingsun lebonira lumumpat pager bata, gampanga yèn sira metu, aja ana kang wruh ing sira” ( anakku, jika engkau ingin menemui tuan putri, hendaknya jangan melalui pintu yang ada, tetapi engkau harus melompati pagar kaputren. Karena itu akan memudahkan ketika nanti keluarnya. Kecuali itu kamu lolos dari penjagaan dan pengamatan penjaga kaputren).