Mohon tunggu...
Sasqia Faradila
Sasqia Faradila Mohon Tunggu... Lainnya - akun milik sasqi

enjoy without limits

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Untukmu Bidadariku

6 Februari 2021   23:52 Diperbarui: 7 Februari 2021   05:41 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara pagi menusuk hidung. Memang sudah jelas udara disini selalu dingin, dari pagi hingga pagi lagi. Daerah yang dingin, berada di dataran tinggi. Daerah yang tanahnya subur sekali serta didukung oleh cuaca yang tidak panas memang sangat tepat sekali dipakai untuk bertani sayuran.

Ketika mendengar nama daerahnya saja orang akan langsung tau akan semua hal ini. Ya, tepatnya di sebuah desa bernama Argarasa. Desa yang terkenal akan produksi sayuran serta buah yang maju dan berkualitas baik. Sudah seperti surga sayuran dan buah saja jika orang pertama kali datang ke desaku ini.

Dengan keadaan yang seperti ini, siapa yang tidak akan memanfaatkannya dalam kehidupan. Ayahku salah satunya. Razimanku, pahlawanku. Begitu kataku dan ibuku. Bagiku, ayahku bukan sekedar pahlawan, ia juga seperti cahaya dalam hidupku. Selalu menolong, kuat, menyejukkan, dan mengajarkanku banyak makna kehidupan. Amat sempurna laki - laki ini. 

Betapa sempurnanya lagi dengan kehadiran satu wanita terbaik di dunia, ibuku. Wanita yang begitu tulus, manis, dan baik hati pula menambah terang hidupku. Sifatnya bak sutera, penuh kelembutan. Tak pernah terpikir bagaimana gelapnya jalanku jika tidak ada dua lampu penerang yang amat aku sayang ini.

Ayahku seorang petani juga di desaku. Namun hanya petani kecil yang hanya mempunyai beberapa petak kebun saja. Ayahku menanam beberapa macam jenis sayuran di kebunnya. Juga, sedikit tanaman stoberi. Setelah panen, ayah akan menjual hasil panennya pada juragan Rendra. Juragan Rendra mempunyai sebuah gudang sayur dan buah yang disitulah hasil panen masyarakat desa Argarasa ini diolah, dikemas, lalu dikirim ke kota untuk dijual di swalayan, supermarket, pasar - pasar di kota, dan perusahaan - perusahaan yang menjadi langganan juragan Rendra.

Sekarang, aku duduk di kelas tiga SMA. Posisi dimana sedang bingung - bingungnya akan dilanjutkan kemana sekolahku. Kuliah atau bekerja?. Jujur saja, aku ingin kuliah. Namun semua itu seperti imajinasiku saja yang berkeliling dalam pikiranku. Ibarat pungguk yang merindukan bulan, mungkin sulit sekali untuk diwujudkan. Meski ayah dan ibuku sendiri mengharapkan sesuatu yang sama denganku. 

Tapi apa boleh buat, hati ini terasa teriris melihat kondisi keluargaku sekarang. Ayahku bersusah payah dari subuh hingga petang mengurus kebun. Ibuku juga tidak bekerja. Sepertinya aku tidak tega untuk menggunakan uang ayah untuk biayaku kuliah, itukan mahal sekali.

"Nak, bangun. Ayo, sudah subuh." Alarm alami yang membangunkanku setiap hari. Suara yang sudah pasti aku dengar pagi - pagi. Ya, ibu.

" Iya, Ibu. Aku sudah bangun ini." Aku menjawab ibu sambil berjalan juga menggosok mataku yang masih rapat. Seperti biasa, lekas - lekas berwudhu lalu pergi ke masjid bersama ayah.

Hanya sedikit orang yang berjamaah di masjid ketika shalat subuh. Hanya satu baris saja.

"Nah, shalat berjamaah subuh itu banyak manfaatnya. Salah satunya jika kita memohon doa pada Allah, Insyaallah akan didengar oleh-Nya. Sebab apa? Saat orang lain nyaman di atas tempat tidurnya, kita berjuang pergi ke masjid untuk berjamaah. Sudah jelas Allah lebih suka pada yang mana kan, Bar?" Itulah yang ayahku katakan padaku sehingga aku selalu tidak ingin tertinggal shalat berjamaah.

Aku ingin doaku didengar-Nya. Doaku sampai ke langit. Menggantungkan segala harapanku disana.

Setelah shalat subuh, ayah pulang ke rumah bersamaku. Ibu sudah menyiapkan kopi hangat untuk ayah dan susu hangat untukku. Agar kedua yang orang yang disayanginya selalu sehat, ucap ibu pada kami. Memang, tiada tangdingannya di dunia kasih sayang seorang ibu.

Dari dulu hingga kini, setiap pukul setengah enam pagi ayahku langsung bergegas pergi ke kebun. Mengenakan baju polos dan celana kain serta topi taninya. Melawan dinginnya udara diluar, itulah pengorbanannya. Pergi pagi pulang petang.

Pukul tujuh pagi aku bersekolah hingga siang pukul dua belas, lalu akan membantu ayah di kebun.  Ibu selalu menyusul ayah ke ladang pukul sepuluh pagi sekaligus mengirimkan makanan untuk ayah. Itulah kegiatan kami sehari - hari.

"Ibu, aku pergi sekolah dulu ya, doakan anakmu." Sambil mengecup tangan ibu.

"Sekolah yang baik ya, semoga cita-citamu tercapai, abdi negara ibu." Elusan ibu mendarat di kepalaku. Ibu dan ayah memang berharap aku bisa menjadi abdi negara. Polisi.

Aku selalu membantu ayah untuk mengangkut hasil panen ke gudang juragan Rendra untuk dijual. Setiap kali banyak panen aku selalu begitu. Menggunakan kayu tanggungan di bahuku untuk mengangkut sayur mayur hasil panen tersebut. Hingga dari kegiatanku sehari - hari yang seperti itu bahuku tidak sejajar. Beban yang ku pikul terlalu berat. Tapi apa boleh buat, aku tak mau ayahku yang merasakannya. Tak apa biar aku yang rasakan.

Jangkrik dan katak sudah mengeluarkan suaranya, bersahutan. Udara tetap dingin. Malam ini kami bertiga berkumpul di ruang tengah. Namun sayang, topik obrolan malam ini tidak semenyenangkan biasanya.

"Jadi bagaimana, Akbar? Setelah lulus mau lanjut kemana?" Ayah memulai pembicaraan pada topik yang tidak aku harapkan untuk dibicarakan malam ini.

"Tidak tahu yah, bingung." Jawabku sedikit ragu.

"Kamu jadikan daftar polri?" Ibuku mulai menanggapi pembicaraan ini.

"Aku pesimis, Bu. Bagaimana dengan fisikku? Bahuku, nih."  Aku sambil menunjukkan posisi nahuku yang tidak sejajar. Bahu kiriku lebih berada dibawah karena sering aku gunakan untuk mengangkut sayur

"Yasudah, kalau begitu kamu kuliah saja ya?" Tawar ayah padaku.

"Tapi kan biaya kuliah itu mahal, aku tidak mau memberatkan ayah."

"Ayahkan tidak diam, Akbar. Ayah setiap hari bekerja." Jawab ayah.

"Iya, Akbar tahu itu ayah. Tapi aku tidak mau ayah sampai kelelahan bekerja memikirkan biaya sekolahku yang begitu besarnya." Jelasku pada ayah.

"Akbar meragukan ayah?" Ayah terlihat nampak kecewa. Mata aku dan ayah saling bertemu. Aku segera menunduk.

"Ayah masih mau berusaha dan selalu berusaha untuk anak ayah, ayah tahu ayah hanya bekerja seperti ini, tapi ayah yakin sanggup biayai kamu, kamu yakin meragukan ayah?" Ayah mulai agak berkaca-kaca. 

Menurutku, aku tidak ada maksudku yang meragukan ayahku. Tapi aku mengerti, orang tua memang terkadang sensitif perasaannya.

"Tapi ayah..." Belum selesai aku menjelaskan, Ibu yang sedari tadi diam saja berdiri akan menuju ke kamar.

"Mau kemana, Bu?" Tanya ayah cekatan.

"Kalian lanjutkan saja pembicaraannya, ibu sedang tidak enak badan, mungkin perlu istirahat sebentar." Tanpa menunggu jawaban ibu langsung berjalan menuju kamar. Aku tahu, ibu juga berat memikirkan ini.

Obrolan malam ini hanya cukup sampai disini. Aku menyuruh ayah untuk tidur. Juga meminta maaf sudah membuatnya merasa tidak enak. Jika dilanjutkan pun sudah tidak akan benar. Istirahat lah pilihan terbaiknya.

Rasanya beban menumpuk di dalam kepalaku. Sesulit ini kah menggapai masa depan yang baik?. Serumit ini kah jalan untuk membahagiakan orang tua dan membuat mereka bangga?. Itulah yang menghantui pikiranku setiap malam. Menari - nari dalam pikiranku hingga membuatku amat pusing. Gelap. Aku pun berhasil tertidur malam ini.

Esok pagi, suasana antara aku dan ayah masih canggung. Tapi ayah memang tidak marah padaku. Mungkin hanya kesal dalam hatinya. Seperti biasa setelah sarapan ayah segera pergi ke kebun. Tak lama aku pun pamit pergi ke sekolah.
Ibu hari ini terlihat banyak diam. Seperti ada sesuatu yang dipikirkannya namun ibu hanya memilih diam. Ia seperti terlihat tidak bergairah seperti biasanya.

"Ibu baik baik saja kah?" Tanyaku pada ibu yang duduk berhadapan denganku.

Ibu mencoba untuk tersenyum, lalu menjawab, "Tidak apa-apa sayang, ibu hanya sedikit tidak enak badan. Sekarang abdi negara ibu sekolah dulu ya, ibu akan baik-baik saja". Elus ibu saat itu. Menyejukkan sekali rasanya.

"Iya ibu, ibu istirahat saja ya, baik-baik dirumah." Aku pun pamit dan segera pergi ke sekolah. 

Namun jujur saja, hari itu perasaanku tidak enak. Entah apa yang akan terjadi namun perasaanku terasa begitu gelisah. Aku takut sesuatu yang tidak baik akan menimpaku. Hari itu aku tidak bisa fokus mengikuti pelajaran, aku hanya memikirkan sesuatu yang sebenarnya tak tahu apa itu.

Sepulang sekolah, aku menuju rumah seperti biasa sebelum pergi ke kebun membantu ayah. Terik matahari menyoroti tubuhku. Makin eksotis saja aku.

Sampai dirumah aku mengetuk pintu, tidak ada yang menjawab salamku. Ku ketuk kembali pintu, masih tidak ada yang menjawabku. Pintu juga terkunci tak dapat dibuka. Kemana ibu?.

Beberapa waktu kemudian, pintu tetap tidak ada yang membuka. Aku bergegas pergi ke kebun. Siapa tau ibu ada disana bersama ayah. Secepat-cepatnya aku berjalan kesana. Keringat menjalari tubuhku. Sudahku abaikan.

Aku datang dengan tergesa-gesa. Dari jauh ayah terlihat sendirian. Dimana ibu?.

"Ayah apakah ibu ada disini?" Aku tanya pada ayah. Ayah keheranan melihatku. Berpakaian seragam sekolah, bercucuran keringat, berlari-lari pula. Kenapa anaknya ini?.

"Tidak, ibumu belum kesini. Mungkin pekerjaan dirumah belum beres." Jawab ayah sambil lanjut mengurus tanaman-tanaman.

"Pintu rumah terkunci ayah, aku pikir ibu disini".
Aku yang sudah tidak enak hati segera berlari menuju kembali ke rumah.

Ku ketuk sekeras-kerasnya pintu rumahku. Hening, tidak ada yang menjawab. Ku ketuk semua jendela rumahku tetap tidak ada respon.

Perasaanku semakin tidak enak. Sampai ketika aku melewati jendela dapur di belakang rumah, aku mendengar suara air menyala dari dalam rumahku.

Aku berteriak memanggil ibu, siapa tahu ibu memjawab. Namun tetap tidak ada respon. Rasa gelisah semakin merajai hatiku. Aku memutuskan untuk mendobrak pintu rumahku untuk mencari ibu. Kemana ibu?.

Aku kumpulkan seluruh tenagaku. Dan 1, 2, 3 pintu berhasil kubdobrak. Suara dentuman memenuhi seisi rumahku. Aku memanggil manggil ibu, namun hening. 

Aku mencari ke setiap sudut ruangan kamar, tidak ku temukan ibu disana. Sampai ku terbesit ke tempat tujuanku yang terakhir. Ya, kamar mandi.

Aku segera pergi kesana. Segera aku buka pintunya. Dan aku  terkejut. Duniaku terhenti saat itu. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya.
Ku temukan ibuku tergeletak pada lantai kamar mandi, lemas, tidak sadarkan diri. 

Aku segera menepuk-nepuk pipi ibu untuk menyadarkannya, namun tetap tidak membuat ibu mendengarku.

Ku bawa ibu ke ruang tengah, ku tidurkan ibu pada sofa. Aku spontan berteriak memimta pertolongan pada warga sekitar, sekencang-kencangnya aku berteriak, melebihi kencangnya suara speaker.

Warga berdatangan, dan dengan cepat ambulan desa pun datang. Membawa ibu ke puskesmas terdekat. Aku belari menemui ayahku kembali.Mengabari apa yang terjadi pada ibu.

"Ayah, ibu dibawa ke puskesmas, ku temukan ibu sudah tak sadarkan diri di kamar mandi." Aku berteriak-teriak panik pada ayah. Aku menangis.

Ayah tidak bisa berkata kata mendengar itu. Ayah lemas. Kakinya tak kuasa lagi untuk berdiri. Ayah terduduk ditanah. Segera ku bawa ayah lalu menyusul ibu ke puskesmas.

Kecemasan terlihat diwajah beberapa orang yang ikut mengantar ibu. Mereka menatapku seperti itu. Ada apa ini?.

"Pak Zaedi, bagaimana ibu saya?" Saya bertanya dengan penuh harap dan kecemasan, memegang tangan Pak Zaedi, kepada desa Argarasa. Ayahku sudah hanya terdiam saja, tak malu berkata apa apa. Pikirannya kosong.

Pak Zaedi terdiam. Melihat ke arahku dan ayahku. 

"Ibu Lasmi sudah meninggal dunia, ia tidak tertolong,ikhlaskan ya". Pak Zaedi bilang, ibu terkena serangan jantung.

"Bagaimana bisa? Ibuku tidak kenapa-napa, ia pasti kuat!" Aku tidak percaya. Aku menangis. Tak terima ini semua. Tidak menyangka ibu meninggalkanku secepat ini.

Semua orang berusaha menguatkan aku dan ayahku. Namun semua terasa sia-sia. Aku tetap tidak kuat. Namun, inilah takdir. Duniaku diputarkan 180 derajat akibat kepergian ibuku.

Seminggu sudah ibu pergi, tak ada lagi cahaya di duniaku. Semangatku terbakar habis. Duniaku terasa berhenti. Semua terasa menyesakkan.

"Akbar, hidup harus tetap berjalan. Kamu harus tetap semangat. Meraih cita-citamu, juga tetap bahagia". Ayah selalu begini, berusaha menguatkan aku.

"Tapi ayah, aku tidak sanggup. Aku butuh ibu disini". Itulah jawabku.

"Akbar tau kalau Allah lebih sayang ibu? Ibu itu orang baik, Allah rindu pada orang-orang baik. Makanya, Allah panggil ibu lebih cepat. Akbar mau sampai kapan terus begini? Ibu sedih jika melihatmu terus-terusan begini". Ucap ayah lagi.

Aku hanya terdiam memikirkan apa yang ayah ucapkan padaku.

"Akbar ingin tahu bagaimana cara membahagiakan ibu disana?" Ayah bertanya lagi padaku.

"Bagaimana ayah?" Aku pikir bagaimana bisa aku membahagiakan ibu yang sudah tiada di dunia.

"Akbar hanya perlu berdoa untuk ibu, lalu Akbar buktikan bahwa kamu mampu mewujudkan apa yang ibumu mau." Ayah mengatakan itu padaku, aku masih terdiam.

"Abdi negara ibu, apa kau sanggup?". Mendengar ini aku sungguh ingin menangis. Aku rindu pada ibu. Abdi negaraku, itulah yang ibu berikan untuk memanggilku sebelum sekolah.

Karena itulah akhirnya ayahku berhasil mengembalikan semangatku. Aku tahu, ayah juga sedih dan terpukul, namun ia tak pernah mau anaknya tahu.

Mulai hari ini, semangatku kembali. Aku akan mewujudkan apa yang ibuku mau.

Aku selalu membantu ayahku di kebun. Mengangkut sayuran , berlari dari gudang juragan Rendra ke kebun, dan terus begitu. Aku tidak mengangkut banyak-banyak sayur di tanggunganku. Bahuku sedang diobati, sedang diterapi supaya bisa normal kembali. Setiap hari dengan begitu, ku latih fisikku agar tak lemah. Tiap malam aku belajar banyak dari buku-buku dan berusaha tidur cukup. Paginya, ku ulangi lagi kegiatanku itu.

Waktu kelulusanku tiba. Aku mendapat nilai terbaik disekolahku. Aku tahu, ini berkatmu ibu. Ayah juga senang melihat nilaiku sangat baik.
"Bangga ayah padamu nak, tidak sia-sia ayah menyekolahkanmu". Ucap ayah sambil menepuk-nepuk bahuku.

Aku tersenyum menanggapi ayah. Aku senang, ayah bisa bahagia.

Hari demi hari aku belajar, latihan fisik, bantu ayah. Begitu setiap hari sampai pendaftaran polri dibuka. Aku meminta izin pada ayahku untuk mendaftar dan mengikuti tes polri.

"Izin ayah, aku mewujudkan cita-cita ibu, doakan semoga lancar." Aku berpamitan pada ayah untuk mengikuti tes-tes polri.

"Ayah doakan, abdi negaraku". Ayah tersenyum.
Aku mengikuti tes-tes yang diadakan. Ku lakukan semuanya dengan sebaik-baiknya kemampuanku. 

Kubayangkan ada ibu disampingku.

Semua tes sudah aku jalani. Sampai pada akhirnya,aku mendapati surat keterangan bahwa aku diterima menjadi anggota polri.

Segera aku kabarkan pada ayah. Ayah menangis. Ia bilang, ia bangga padaku.

"Ayah bangga, nak!" Ayah terharu, terlihat matanya bekilau oleh air mata.
Aku memeluk ayah erat-erat. Aku menangis terharu.

"Ini semua berkat ayah, juga ibu. Ayah yang selalu mendukung dan mengusahakan aku supaya semua impianku terwujud. Dan semua usaha ayah tidak sia-sia kan?" Ucapku pada ayah.

Ayah tak lagi bisa berkata-kata. Ia hanya bisa bicara lewat air mata. Ya, air mata bahagia.
Dalam hati aku berujar, "Ini untukmu ibu, bidadariku yamg amat sempurna. Menerangi duniaku, hingga aku tidak pernah jatuh dalam kegelapan. Harapan ibu padaku sudah berhasil ku wujudkan. Ini aku ibu, abdi negaraku. Sampai jumpa, bidadari surgaku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun