Selama ini pendidikan kerap dipahami sebagai ajang persaingan siswa untuk mendapatkan nilai atau rangking tertinggi. Hal ini menyebabkan semakin menurunnya aspek kognitif dan tingkat eksplorasi dari segi keterampilan. Padahal, berkaca dengan industri global saat ini, individu lebih dituntut untuk memberikan kreativitas dan inovasi diri dengan sebaik mungkin.
Oleh karena itu, paradigma yang sedemikian rupa diadaptasi oleh Nadhim Makarim dalam menciptakan program Merdeka Belajar. Program ini bertujuan untuk memberikan kesempatan pada siswa dalam mengembangkan potensi sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan demikian, pendidikan mampu memerdekakan siswa dari belengu-belenggu kelemahan secara potensial dan intelektual.
Selanjutnya, Merdeka Belajar berupaya untuk meningkatkan kesadaran berbagai untuk menjadikan proses belajar menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan dengan cermat. Ditinjau dari penyelenggaran pendidikan di Indonesia, lembaga pendidikan kerap dijadikan sebagai tempat ajang persaingan untuk mendapat nilai atau rangking tertinggi.Â
Padahal, setiap siswa memiliki potensi yang tidak seragam, sehingga hasil yang diperoleh pun demikian. Perbedaan minat dan bakat serta latar belakang membuat setiap siswa memiliki "warna tersendiri" dalam mencerna materi pembelajaran. Apabila hasil belajar dianggap sebagai tolak ukur keberhasilan, maka terdapat indikasi bahwa pendidikan tidak menunjukkan penghargaan pada proses belajar yang dilalui siswa (Yusuf, 2014: 5).
Misalnya, penyelenggaraan UN dan USBN dijadikan bahan evaluasi tertinggi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Nilai yang diperoleh dari dua ujian tersebut dipergunakan untuk masuk ke jenjang berikutnya. Tanpa mempertimbangkan proses belajar selama 3 tahun atau 6 tahun sebelumnya, hal ini menunjukkan adanya praktik dehumanisasi atau praktik yang mengabaikan nilai humanisme dalam pendidikan. Dehumanisasi juga menciderai kodrat manusia sebagai mahluk yang merdeka.
Kordi (2015: 8) berpendapat bahwa UN akan menciptakan penghianatan pada potensi siswa. Hal ini dikarenakan pendidikan terlalu memaksa pembelajaran yang dogmatis dengan mengedepankan hafalan ketimbang kemampuan berpikir. Hal inilah yang menjadi paradigma dari Merdeka Belajar dalam menerapkan salah satu kebijakannya, yaitu penghapusan UN dan USBN.
Bentuk ujian pada UN dan USBN sebetulnya tidak benar-benar dihapus secara menyeluruh. Penyelenggaraannya tetap dilaksanakan dengan menggunakan tipe ujian yang lebih relevan dengan kebutuhan pendidikan. Pertama, USBN diganti dengan asesmen yang dibuat oleh masing-masing sekolah, misalnya berbentuk portofolio atau penugasan. Kebijakan ini diterapkan untuk meningkatkan kemerdekaan pihak guru dalam menilai hasil belajar siswa. Hal ini selaras dengan UU Sisdiknas yang memberikan ruang yang lebih luas kepada sekolah untuk menentukan kelulusan siswa.
Selain itu, asesmen dianggap lebih akurat dalam menilai kompetensi siswa. Kedua, UN diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang mengandung aspek literasi (penalaran dalam berbahasa), numerasi (penalaran dalam berhitung), dan karakter (penalaran dalam bersikap), yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang mengacu pada praktik internasional seperti PISA dan TIMSS. Seperti yang kita ketahui, UN sebelumnya cenderung hanya menguji kemampuan kognitif siswa dalam penguasaan konten.Â
Selain itu, ujian ini juga diterapkan sebagai indikator kelulusan siswa sehingga menjadi beban tersendiri bagi berbagai pihak, yakni siswa, orang tua, maupun guru. Oleh karena itu, perubahan ini diharapkan mampu meningkatkan pemetaan mutu pendidikan sekaligus sebagai acuan penilaian siswa secara menyeluruh (Kemendikbud, 2019).
Jika dicermati lebih lanjut, konsep pendidikan merdeka ini sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran pada pandangan ini menganggap bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari manusia itu sendiri. Selaras dengan teori perkembangan dari Jean Pigaet (1954), yang menyatakan bahwa pengetahuan anak dibangun melalui pengalamannya bertemu dengan objek-objek di lingkungan sekitarnya.Â
Oleh karena itu, pandangan konstruktivisme bisa merujuk pada upaya dalam memerdekakan manusia secara seutuhnya. Hal menempatkan posisi guru sebagai pengasuh siwa untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi secara kognitif, afeksi, psikomotorik, konatif, sosial, dan spiritual. Oleh karenanya, guru dibolehkan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran, namun tidak menggunakan metode paksaan. Keterlibatan ini diperlukan dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa setiap siswa memiliki hak dan kodrat yang harus dihormati (Muzakki, 2021: 14).