Biografi Singkat Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara, dengan nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat, lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Suwardi Suryaningrat merupakan keturunan bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta, yaitu Kanjeng Pangeran Ario Suryaningrat dan Raden Ayu Sandiah. Selain itu, ayahnya adalah cucu dari Paku Alam III yang merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga. Terlahir dari keluarga keraton, Ki Hajar Dewantara berkesempatan untuk belajar di Europeesche Lagere School atau Sekolah Dasar Belanda selama 7 tahun.Â
Selanjutnya, beliau melanjutkan pendidikan di STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen) atau sekolah dokter Jawa di Jakarta melalui beasiswa yang ditawarkan oleh dr. Wahidin Sudiro Husodo. Sayangnya, beasiswa tersebut dicabut karena alasan kesehatan Ki Hajar Dewantara yang sempat memburuk selama 4 bulan. Namun, diduga hal tersebut tidak menjadi alasan satu-satunya karena pencabutan beasiswa dilakukan beberapa hari setelah deklamasi karya sajaknya yang mendeskripsikan perjuangan panglima perang Pangeran Diponegoro, yakni Ali Basah Sentro Prawirodirdjo (Wiryopranoto et al., 2017: 149-150).
Kegagalan menjadi dokter tidak mematahkan semangat perjuangan dari Ki Hajar Dewantara. Baginya, masih banyak profesi lain yang menyediakan ruang perjuangan seperti jurnalis, politis, hingga pedagogis. Setelah meninggalkan STOVIA, beliau menjalankan kesehariannya untuk belajar sebagai analis di laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas. Seraya menjalankan sebagai asisten apoteker di Apotik Rathkamp, Ki Hajar Dewantara juga menjadi jurnalis di Surat Kabar Sedyotomo dan Midden Java di Yogyakarta, serta De Express di Bandung.Â
Selain itu, ia juga berkecimpung pada media cetak lainnya seperti Oetoesan Hindia, Tjahatja Timur, dan Kaoem Moeda. Dengan gaya kepenulisannya yang halus dan komunikatif, Ki Hajar Dewantara menjadi jurnalis yang kerap mengkritik Belanda. Misalnya, karyanya yang berjudul "Andai Aku Orang Belanda" secara terang-terangan menentang kebijakan Belanda yang merayakan 100 tahun sejak penarikan upeti terhadap rakyat Indonesia dilakukan (Widodo, 2017).
Pada tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Sekolah Taman Siswa yang merupakan realisasi diskusi Selasa Kliwon yang banyak membahas solusi perihal bagaimana menciptakan sistem pendidikan yang humanis. Baginya, semakin humanis pendidikan di sebuah negara, semakin banyak kesempatan pendidikan yang diperoleh oleh generasinya.Â
Melihat urgensinya di Indonesia, beliau memandang pendidikan sebagai salah satu upaya dalam menghapus jejak penjajahan, baik secara fisik maupun psikis. Pemikiran cerdas dari Ki Hajar Dewantara ini kemudian menghantarkannya sebagai pahlawan nasional, khususnya pada dunia pendidikan. Untuk menghormati jasa-jasanya, tanggal kelahirannya (2 Mei) diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Berkamsyah, 2020: 42).
Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Pendidikan kerap didefinisikan sebagai usaha manusia dalam membina karakternya untuk sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Dalam perkembangnya, istilah pendidikan sendiri diartikan sebagai pertolongan secara sengaja oleh orang dewasa supaya kedewasaan di dalam dirinya bisa terbentuk dengan baik. Selanjutnya, pendidikan juga merujuk pada sebuah usaha yang dilakukan secara individu maupun kelompok untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik, baik secara fisik maupun mental (Tafsir dalam Jamaluddin, 2014: 130).Â
Selaras dengan hal ini, Nurkholis (2013: 24) berpendapat bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang melibatkan dimensi individu, masyarakat, dan seluruh realitas secara material dan spiritual yang berperan penting dalam menciptakan nasib, bentuk, dan sifat manusia atau masyarakat sekalipun.Â
Oleh karenanya, pendidikan seharusnya tidak hanya berkutat tentang pengajaran saja, melainkan pula sebagai proses transfer ilmu, transformasi nilai, dan pembentukan karakter. Sederhananya, pendidikan diperlukan untuk mencapai kesempurnaan dan keseimbangan individu dalam rangka mewarisi nilai kebudayaan, pemikiran, dan keahlian, sebagai tonggak masa depan dari sebuah bangsa dan negara.
Dalam sudut pandang Ki Hajar Dewantara, pendidikan dipandang sebagai upaya yang harus dilakukan manusia demi menciptakan karakter yang bermanfaat dalam kehidupannya. Hal ini dapat diselenggarakan melalui peningkatan potensi yang relevan dengan minat dan bakat individu, baik secara jasmani dan rohani. Oleh karenanya, pendidikan memang berkaitan erat dengan nilai humanisme dan tidak bisa melukai kebudayaan dalam masyarakat. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang layak mampu memberikan kemerdekaan dalam berkehidupan secara lahir dan batin (Kuswandi dalam Hedratmoko et al., 2017: 153).
Berdasarkan pemahaman pendidikan yang dimiliki Ki Hajar Dewantara tersebut, bisa dikatakan bahwa beliau memandang manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek yang bisa dibentuk sedemikian rupa sesuai keinginan pihak tertentu, baik itu guru maupun orang tua. Sebagai objek, siswa memiliki kebebasan berekspresi yang disesuaikan dengan norma-norma yang berkembang di lingkungannya.
Hal ini disebabkan oleh tugas pendidikan yang tidak hanya membangun konstruksi nilai-nilai humanis saja, namun juga sebagai sarana yang menyediakan "kemerdekaan" pada siswa sehingga mereka tidak merasa didikte untuk menjadi sesuatu yang tidak relevan dengan kodratnya (Wahid, 1984: xv).
Selaras dengan paragraf sebelumnya. Ki Hajar Dewantara pun merumuskan tujuan pendidikan yang memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari sekadar transfer of knowledge atau transfer ilmu. Baginya, penting untuk memiliki keseimbangan dalam mencetak asas cipta, rasa, dan karsa pada proses transformasi nilai-nilai pendidikan (Maulana, 2019: 78). Dalam jangka panjang, pendidikan juga menentukan peradaban pada sebuah bangsa dan negara. Hal ini bisa dibentuk melalui pembentukan esensi pendidikan, yakni membantu siswa untuk menemukan potensi dirinya.Â
Hal ini diupayakan untuk mencapai konsep Tri Hayu Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara yaitu, Memayu Hayuning Sarira, Memayu Hayuning Bangsa, dan Memayu Hayuning Bawana yang berarti seseorang hendaknya bermanfaat bagi dirinya sendiri, bangsanya, dan manusia pada umumnya (Hidayati, 2017). Singkatnya, pendidikan dipandang menjadi sebuah pedoman yang mampu mencetak manusia agar memiliki kebermanfaatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, pada setiap pembelajaran memberikan ruang pada siswa untuk menggali dan mengembangkan potensi masing-masing yang sesuai dengan minat dan bakatnya (Dewantara, 20011: 20-21).
Realisasi tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara terlihat pada sistem pendidikannya yang mewajibkan guru meletakkan kepentingan peserta didik di atas kepentingannya sendiri. Istilah ini dikenal dengan sistem Tri Mong, yaitu Momong, Among, dan Ngemong. Momong berarti merawat dengan penuh kasih sayang, Among berarti mengajarkan untuk mendekatkan pada kebaikan dan menjauhkan dari kejahatan, dan Ngemong berarti mengembangkan potensi siswa sesuai minat dan bakatnya.Â
Apabila sistem ini diterapkan dengan baik dalam proses pembelajaran, maka siswa memiliki ruang eksplorasi yang luas secara kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Dampaknya, pembelajaran pun mengandung aspek kognitif yang lebih tinggi, baik dalam berkeilmuan maupun dalam menentukan sikap mental, nilai, kepercayaan, dan tujuan dari perilaku moral yang searah dengan norma masyarakat yang beradab (Prasetyo, 2019: 226).
Untuk menciptakan perilaku moral yang baik, Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa guru harus memahami dasar pendidikan dengan kandungan konstruksi nilai humanis yang baik. Pendidikan yang paling sesuai diterapkan pada bangsa Timur, tak terkecuali Indonesia, ialah yang berbasis humanis, kebangsaan, dan kerakyatan (Wiryopranoto, 2017: 14). Ki Hajar Dewantara selanjutnya menerapkan semboyan Tri Loka sebagai manifestasi resistensi kultural pada pendidikan sebagai wadah yang mengayomi siswa dalam mengembangkan potensinya.Â
Awalnya, Tri Loka diterapkan pada semua jenjang Taman Siswa sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap sikap guru pada era kolonialisme. Namun, sejak saat itu, Taman Siswa pun berkembang pesat sebagai representasi sekolah swasta yang memberikan "pelayanan terbaik" pada siswa. Tidak heran bila Tri Loka ini kemudian diadaptasi dan diterapkan sebagai dasar pendidikan di Indonesia yang dikenal dengan istilah Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi contoh), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun cita-cita), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) (Musyafa, 2015: 30).
Seperti yang kita ketahui, guru tidak hanya dianggap sebagai sebuah profesi pengajar belaka. Pemahaman siswa terhadap kebaikan dan keburukan lebih ditentukan melalui sikap keseharian yang ditujukkan oleh guru. Melalui Ing Ngarso Sung Tulodho, guru diharapkan dapat mencontohkan teladan yang baik pada siswa (Apriliyanti et al. dalam Setiyadi & Rahmalia, 2022: 275). Istilah selanjutnya, yakni Ing Madyo Mangun Karso berorientasi pada guru yang harus memosisikan diri secara fisik maupun fungsional dengan siswa.Â
Melalui hubungan yang erat, guru lebih leluasa untuk menginternalisasikan semangatnya supaya siswa juga ikut bersemangat dalam mengembangkan potensinya sebaik mungkin. Sementara itu, Tut Wuri Handayani merupakan istilah yang merujuk pada tugas guru sebagai pendorong kinerja (motivator) yang berperan dalam memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar sesuai minat dan bakatnya.
Konsep Program Merdeka Belajar
Program Merdeka Belajar adalah program yang mengusung adanya upaya penerapan kebebasan otonomi dan berpikir pada penyelenggara pendidikan. Program ini merupakan salah satu inovasi kebijakan pendidikan dari Nadhim Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bertujuan untuk memaksimalkan minat dan bakat pada peserta didik (Hendri, 2020: 2). Merdeka Belajar berfokus pada peran guru sebagai penggerak pembelajaran di kelas.
Melalui program ini, guru diharapkan untuk lebih berinovasi dalam menjalankan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran bisa dicapai dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, Merdeka Belajar diupayakan sebagai Grand Design pendidikan nasional untuk menciptakan perubahan fundamental dalam mencetak generasi Indonesia yang berkualifikasi unggul, cerdas, dan berkarakter (Nasution, 2020: 9).
Kemerdekaan dalam belajar sesungguhnya telah dipelopori oleh beberapa tokoh sebelumnya, seperti Paulo Freire dan Ivan Illich. Freire (dalam Sesfao, 2020: 1) menyatakan bahwa Merdeka Belajar merupakan sebuah konsep yang memberikan kebebasan pada siswa dalam menentukan proses pembelajaran yang relevan dengan kondisinya. Dengan kata lain, hal ini sama halnya dengan banking system atau sistem menabung yang menggagas adanya upaya pembentukan minat dan bakat yang disesuaikan dengan kondisi siswa tersebut.Â
Dimana siswa menjadi "tempat menabung atau bank" dan guru menjadi "nasabah". Selanjutnya, Illich (Illich, 2008: 1) juga berpendapat bahwa pembelajaran seharusnya tidak terlalu berpaku pada aturan kehadiran dan kurikulum. Baginya, pembelajaran dengan mengutamakan sistem empirisme yang mampu meningkatkan pengalaman siswa. Melalui prosesnya, pembelajaran harus memaparkan realitas sehingga siswa dapat belajar implementasi keilmuan yang diperlukan dalam masyarakat. Konsep "merdeka" dari Illich menunjukkan adanya kebebasan siswa dalam memperoleh ragam pengetahuan.
Ditinjau dari kacamata humanistik, program Merdeka Belajar memiliki karakteristik khas dalam penyelenggaraannya, antara lain: (1) Bersifat bebas, yang merujuk pada kemerdekaan dari beragam formalistik yang kerap mencetak generasi yang tidak kritis dan kreatif. (2) Mencakup semangat keberpihakan, yang menganggap pendidikan sebagai hak yang bisa diperoleh oleh seluruh kalangan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan harus dipersiapkan sebaik mungkin.Â
(3) Memiliki prinsip partisipatif, yang mewajibkan adanya kerja sama yang baik dari berbagai pihak, seperti sekolah, orang tua, dan lingkungan sekitar. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengawasan terhadap perkembangan siswa. (4) Kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pendidikan, yang merujuk pada penguatan sistem pendidikan secara internal dan eksternal.
(5) Menjunjung tinggi upaya kerja sama dalam menciptakan suasana pembelajaran yang efisien, efektif, kondusif, dan menyenangkan. (6) Kontinuitas evaluasi perkembangan peserta didik selaku subjek pembelajaran. (7) Berupaya untuk meningkatkan self-esteem atau kepercayaan diri siswa dalam mengembangkan minat dan bakatnya (Arifin, 2000: 133).
Berdasarkan pemaparan di atas, program Merdeka Belajar ini berorientasi pada aliran humanisme dalam sistem pendidikan. Pendidikan humanisme merupakan proses pendidikan yang menjadikan manusia sebagai objek utama atau pelaku dalam pendidikan (Djatman, 2005). Selain berperan penting sebagai penggerak pembelajaran, manusia juga memerlukan kebebasan diri dalam memperoleh potensi-potensi yang terkandung dalam pendidikan.Â
Paulo Freire mendefinisikan konsep pendidikan humanis sebagai penegas arah pendidikan yang memberikan pemberdayaan individu menuju perubahan yang kritis dan transformatif (Yamin dalam Fadli, 2020: 99). Selain itu, humanisme juga memandang manusia sebagai ciptaan tuhan yang memiliki kekuatan konstruktif-deduktif. Kaitannya dengan program Merdeka Belajar ialah terdapatnya persamaan konsep yang melihat manusia sebagai mahluk yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, baik secara spritual, intelektual, maupun psikis.Â
Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai ajang persaingan, melainkan sebagai tempat yang bisa memanusiakan fitrah manusia. Maksudnya, pendidikan lebih dititikberatkan pada proses ketimbang hasil yang diperoleh. Keseimbangan antara potensi dan lingkungan yang mendukung menjadi kunci keberhasilan program ini. Untuk mencapai hal tersebut, program Merdeka Belajar pun menerapkan empat pokok kebijakan dalam sistem pendidikan. Berikut penjabaran kebijakan tersebut (Kemendikbud, 2019) :
- Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan oleh sekolah. Ujian tersebut dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau tes lainnya yang lebih relevan, misalnya penugasan dan portofolio. Kebijakan ini diterapkan untuk meningkatkan kemerdekaan pihak guru dalam menilai hasil belajar siswa.
- Ujian Nasional (UN) diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang mengandung aspek literasi (penalaran dalam berbahasa), numerasi (penalaran dalam berhitung), dan karakter (penalaran dalam bersikap), yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang mengacu pada praktik internasional seperti PISA dan TIMSS.
- Terdapat penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai administrasi pembelajaran. Dari segi format, guru memiliki kebebasan dalam menciptakan, mengembangkan, dan menggunakan RPP. Dari segi komponen, hanya terdapat tiga komponen inti yang wajib digunakan dalam RPP, yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Komponen lainnya berperan sebagai pelengkap dan dapat dipilih sesuai kebutuhan pembelajaran. Dari segi durasi penulisan, RPP pun dapat dilakukan secara lebih efisien dan efektif. Hal ini dilakukan supaya guru dapat lebih berfokus dalam meningkatkan kualitas pembelajaran ketimbang administrasinya.
- Diterapkannya zonasi sebagai bagian dari Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Zonasi dilakukan sebagai bentuk perwujudan Tri Pusat Pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) dalam mengatasi ketimpangan akses terhadap pendidikan yang bermutu. Ada pun persentase zonasi dalam PPDB sebesar minimal 50% Â dari total jumlah siswa yang diterima. Sisanya diberikan pada jalur afirmasi (minimal 15%) dan jalur perpindahan (maksimal 5%), dan jalur prestasi (maksimal 30% atau disesuaikan dengan situasi). Dalam kebijakan ini, daerah berhak untuk mengatur proporsi final dan menentukan wilayah zonasi sehingga diharapkan adanya pemerataan implementasi pendidikan dan jumlah guru pada daerah tersebut.
Â
Relevansi Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan Kebijakan Penghapusan UN dan USBN
Selama ini pendidikan kerap dipahami sebagai ajang persaingan siswa untuk mendapatkan nilai atau rangking tertinggi. Hal ini menyebabkan semakin menurunnya aspek kognitif dan tingkat eksplorasi dari segi keterampilan. Padahal, berkaca dengan industri global saat ini, individu lebih dituntut untuk memberikan kreativitas dan inovasi diri dengan sebaik mungkin.
Oleh karena itu, paradigma yang sedemikian rupa diadaptasi oleh Nadhim Makarim dalam menciptakan program Merdeka Belajar. Program ini bertujuan untuk memberikan kesempatan pada siswa dalam mengembangkan potensi sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan demikian, pendidikan mampu memerdekakan siswa dari belengu-belenggu kelemahan secara potensial dan intelektual.
Selanjutnya, Merdeka Belajar berupaya untuk meningkatkan kesadaran berbagai untuk menjadikan proses belajar menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan dengan cermat. Ditinjau dari penyelenggaran pendidikan di Indonesia, lembaga pendidikan kerap dijadikan sebagai tempat ajang persaingan untuk mendapat nilai atau rangking tertinggi.Â
Padahal, setiap siswa memiliki potensi yang tidak seragam, sehingga hasil yang diperoleh pun demikian. Perbedaan minat dan bakat serta latar belakang membuat setiap siswa memiliki "warna tersendiri" dalam mencerna materi pembelajaran. Apabila hasil belajar dianggap sebagai tolak ukur keberhasilan, maka terdapat indikasi bahwa pendidikan tidak menunjukkan penghargaan pada proses belajar yang dilalui siswa (Yusuf, 2014: 5).
Misalnya, penyelenggaraan UN dan USBN dijadikan bahan evaluasi tertinggi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Nilai yang diperoleh dari dua ujian tersebut dipergunakan untuk masuk ke jenjang berikutnya. Tanpa mempertimbangkan proses belajar selama 3 tahun atau 6 tahun sebelumnya, hal ini menunjukkan adanya praktik dehumanisasi atau praktik yang mengabaikan nilai humanisme dalam pendidikan. Dehumanisasi juga menciderai kodrat manusia sebagai mahluk yang merdeka.
Kordi (2015: 8) berpendapat bahwa UN akan menciptakan penghianatan pada potensi siswa. Hal ini dikarenakan pendidikan terlalu memaksa pembelajaran yang dogmatis dengan mengedepankan hafalan ketimbang kemampuan berpikir. Hal inilah yang menjadi paradigma dari Merdeka Belajar dalam menerapkan salah satu kebijakannya, yaitu penghapusan UN dan USBN.
Bentuk ujian pada UN dan USBN sebetulnya tidak benar-benar dihapus secara menyeluruh. Penyelenggaraannya tetap dilaksanakan dengan menggunakan tipe ujian yang lebih relevan dengan kebutuhan pendidikan. Pertama, USBN diganti dengan asesmen yang dibuat oleh masing-masing sekolah, misalnya berbentuk portofolio atau penugasan. Kebijakan ini diterapkan untuk meningkatkan kemerdekaan pihak guru dalam menilai hasil belajar siswa. Hal ini selaras dengan UU Sisdiknas yang memberikan ruang yang lebih luas kepada sekolah untuk menentukan kelulusan siswa.
Selain itu, asesmen dianggap lebih akurat dalam menilai kompetensi siswa. Kedua, UN diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang mengandung aspek literasi (penalaran dalam berbahasa), numerasi (penalaran dalam berhitung), dan karakter (penalaran dalam bersikap), yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang mengacu pada praktik internasional seperti PISA dan TIMSS. Seperti yang kita ketahui, UN sebelumnya cenderung hanya menguji kemampuan kognitif siswa dalam penguasaan konten.Â
Selain itu, ujian ini juga diterapkan sebagai indikator kelulusan siswa sehingga menjadi beban tersendiri bagi berbagai pihak, yakni siswa, orang tua, maupun guru. Oleh karena itu, perubahan ini diharapkan mampu meningkatkan pemetaan mutu pendidikan sekaligus sebagai acuan penilaian siswa secara menyeluruh (Kemendikbud, 2019).
Jika dicermati lebih lanjut, konsep pendidikan merdeka ini sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran pada pandangan ini menganggap bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari manusia itu sendiri. Selaras dengan teori perkembangan dari Jean Pigaet (1954), yang menyatakan bahwa pengetahuan anak dibangun melalui pengalamannya bertemu dengan objek-objek di lingkungan sekitarnya.Â
Oleh karena itu, pandangan konstruktivisme bisa merujuk pada upaya dalam memerdekakan manusia secara seutuhnya. Hal menempatkan posisi guru sebagai pengasuh siwa untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi secara kognitif, afeksi, psikomotorik, konatif, sosial, dan spiritual. Oleh karenanya, guru dibolehkan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran, namun tidak menggunakan metode paksaan. Keterlibatan ini diperlukan dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa setiap siswa memiliki hak dan kodrat yang harus dihormati (Muzakki, 2021: 14).
Adapun tiga output yang diupayakan sebagai hasil dari praksis pendidikan merdeka antara lain: (1) Manusia yang berbudi pekerti ialah yang memiliki kekuatan batin yang baik serta berkarakter luhur. Dengan kata lain, pendidikan menciptakan generasi yang berpihak pada kebenaran, agama, dan adat istiadat, serta tidak menentang hukum kemanusiaan. (2) Manusia yang memiliki kecerdasan secara kognitif dan berani dalam menentang segala bentuk kebodohan. (3) Manusia yang tidak hanya sehat jasmani rohani, namun juga memahami dengan bentar teentang fungsi-fungsi tubuhnya untuk beroposisi dengan tindakan kejahatan (Sindhunata, 1999: 19).
Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, ditemukan relevansi pemikiran Ki Hajar Dewantara  dengan kebijakan penghapusan UN dan USBN dalam program Merdeka Belajar, baik secara esensi maupun muatan. Keduanya sama-sama menganut pendidikan kemerdekaan dan pendidikan humanisme (Muthoifin dalam Susilo, 2018: 36). Secara lebih rinci, benang merah dalam keterkaitan Merdeka Belajar dan Ki Hajar Dewantara antara lain: (1) diantara salah satu dari lima dasar pendidikan menjunjung tinggi kemerdekaan.
(2) kemerdekaan diri harus diartikan swadisiplin atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik sebagai individu maupun masyarakat, dan (3) implementasinya pada pendidikan dan pengajaran, bahwa pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin terdapat dari pendidikan (Nasution, 2020: 7). Sejak awal, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan sejatinya memberikan kebebasan kepada siswa untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya.Â
Kebebasan ini dapat diperoleh dan dijalani melalui sebuah proses belajar untuk mencapai humanisme dalam pendidikan (Istiq'faroh, 2020: 8). Hal ini dibuktikan dalam keteguhannya dalam menerapkan prinsip pendidikan yang memerdekakan di Taman Siswa , yaitu berdiri sendiri (zelfstandig), tidak bergantung pada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheld, zelf beschikking) (Muzakki, 2021: 9).
Daftar Pustaka
Arifin, M. (2000). Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara.
Berkamsyah, E. P. (2020). Relevansi Pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan Konsep Merdeka Belajar Nadhim Makarim. In Prodi Pendidikan Agama Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Bodgan. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Airlangga.
Dewantara. (20011). Pendidikan. Majelis Luhur Taman Siswa.
Djatman, D. (2005). Psikologi Terbuka. Limpad.
Fadli, R. V. (2020). Tinjauan Filsafat Humanisme: Studi Pemikiran Paulo Freire dalam Pendidikan. Reforma: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 9(2).
Guza, A. (2009). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Guru Dan Dosen. Asa Mandiri.
Hedratmoko, T., Kuswandi, D., & Setyosari, P. (2017). Tujuan Pembelajaran Berlandaskan Konsep Pendidikan Jiwa Merdeka Ki Hajar Dewantara. JINOTEP, 3(2).
Hendri, N. (2020). Merdeka Belajar: Antara Retorika Dan Aplikasi. E-Tech Jurnal, 8(1), 2.
Hidayati, U. (2017). Hayati Trihayu Ki Hajar Dewantara dalam Peringatan HUT Ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbmaluku/hayati-trihayu-ki-hajar-dewantara-dalam-peringatan-hut-ke-72-kemerdekaan-republik-indonesia/
Illich, I. (2008). Deschooling Society.
Istiq'faroh, N. (2020). Relevansi Filosofi Ki Hajar Dewantara Sebagai Dasar Kebijakan Pendidikan Nasional Merdeka Belajar Di Indonesia. Jurnal Pendidikan, 3(2).
Jamaluddin, A. (2014). Filsafat Pendidikan. Istiqra, 1(2).
Kemendikbud. (2019). Merdeka Belajar: Pokok-Pokok Kebijakan Merdeka Belajar. In Makalah Rapat Koordinasi Kepala Dinas Pendidikan Seluruh Indonesia.
Kordi, G. (2015). Manusia Sekolah Dan Sekolah Manusia. Pustaka Baru Press.
Mardalis. (1998). Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara.
Maulana, I. G. A. M. (2019). Membangun Karakter dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Jurnal Filsafat Indonesia, 2(2).
Musyafa, H. (2015). Ki Hajar Dewanta, Kehidupan, Pemikiran, Perjuangan Pendirian Taman Siswa. M. Kahfi.
Muzakki, H. (2021). Teori Belajar Konstruktivisme Ki Hajar Dewantara serta Relevansinya dalam Kurikulum 2013. Southeast Asian Journal of Islamic Education Management, 2(2).
Nasution, A. G. J. (2020). Diskursus Merdeka Belajar Perspektif Pendidikan Humanisme. Ihya Al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Arab, 6(1).
Nazir, M. (2014). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.
Nurkholis. (2013). Pendidikan dalam Upaya Memajukan Teknologi. Jurnal Kependidikan, 1(1).
Prasetyo, W. (2019). Akuntansi 4.0: Belajar Transdisipliner Momong, Among, Ngemong. Journal of Research and Applications: Accounting and Management, 3(3), 217--228. https://doi.org/10.18382/jraam.v3i3.217
Saat, S. (2015). faktor-Faktor Determinan dalam Pendidikan. Jurnal Al-Ta'dib, 8(2).
Sesfao, M. (2020). Perbandingan Pemikiran Pendidikan Paulo Freire Dengan Ajaran Taman Siswa Dalam Implementasi Merdeka Belajar.
Setiyadi, B., & Rahmalia. (2022). Implementasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Mengelola Lembaga Pendidikan. SAP (Susunan Artikel Pendidikan), 6(3).
Sindhunata, L. (1999). Menjadi Generasi Pasca-Indonesia. Kanisius.
Susilo, S. V. (2018). Refleksi Nilai-Nilai Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Upaya-Upaya Mengembalikan Jati Diri Pendidikan Indonesia. Jurnal Cakrawala Pendas, 4(1).
Tilaar, H. A. . (2011). Pedagogik Kritis: Perkembangan Substansi dan Perkembangannya di Indonesia. Rineka Cipta.
Wahid, A. (1984). Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan? In Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Gramedia.
Widodo, B. (2017). Biografi: Dari Suwardi Suryaningrat Sampai Ki Hadjar Dewantara. Makalah Seminar "Perjuangan Ki Hadjar Dewantara Dari Politik Ke Pendidikan.
Wiryopranoto, S. (2017). Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangan. Museum Kebangkitan Nasional.
Wiryopranoto, S., M. S. Herlina, N., Marihandono, D., Tangkilisan B, Y., & Nasional, T. P. K. (2017). Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari Politik Ke Pendidikan.
Yusuf, M. (2014). Membangun Pendidikan yang Bermutu Menuju Masyarakat Madani. JRR Tahun 23, 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H