Mohon tunggu...
Saskia zahraini
Saskia zahraini Mohon Tunggu... Guru - Pribadi

Berjalan sekalipun diatas duri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Motif Politik dan Ekonomi di Balik Ngototnya Jokowi Mengadakan Pilkada di Tengah Pandemi

4 November 2020   07:10 Diperbarui: 4 November 2020   07:19 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Saskia Zahraini

Mahasiswi Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan -- Universitas Pamulang.

Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetap bersikeras menyelenggarakan pemilihan kepada daerah (pilkada) pada Desember 2020 meski angka kasus COVID-19 terus meningkat.

PekanPekan lalu, angka kasus di Indonesia telah lampaui 300.000 dan sejauh ini belum ada tanda melambatnya penyebaran.

Ahli kesehatan telah menyarankan penundaan pilkada guna mencegah penyebaran virus, tapi tidak digubris.

Jokowi dikenal dengan julukan "Presiden Rakyat", tapi tampaknya dia kurang peduli pada suara publik yang juga menyarankan penundaan pilkada. Hasil survei di masyarakat menunjukan 63% memilih untuktunda pesta demokrasi ini. 

Saya berpendapat, bahwa keputusan pemerintah tidak menunda pilkada sebagian besar disebabkan oleh alasan ekonomi, meski faktor politik juga turut menentukan.

Alasan ekonomi

Pada September, enam bulan sesudah virus COVID-19 masuk di Indonesia, Jokowi mengubah fokus kebijakan dari ekonomi ke sektor kesehatan.

Akan tetapi, keputusan Jokowi untuk tetap menjalankan pilkada menunjukkan bahwa pemerintah masih menjadikan ekonomi prioritasnya.

Pilkada selalu terlihat menguntungkan dari sisi ekonomi, seperti menyuntikkan anggaran di masyarakat, baik secara legal  melalui persiapan logistik pemilu, atau bahkan ilegal melalui praktik jual-beli suara, apalagi ketika ekonomi bangsa sedang sulit bahkan mengalami resesi.

Pemilihan kepala daerah bisa memberikan suntikan dana lebih cepat dan bisa meningkatkan daya beli dan stimulus ekonomi masyarakat.

Jika pilkada dibatalkan, pemerintah harus mengeluarkan uang lebih banyak. Ini bisa merugikan keuangan negara yang sudah membengkak karena COVID-19.

Alasan politik

Semakin lama pandemi berlangsung, semakin parah dampaknya pada kredibilitas pemerintahan Jokowi. Hal ini tentu juga akan berdampak pada ambisi rekan politik serta keluarganya yang mencalonkan dalam pilkada.

Menjamin kesejahteraan ekonomi penting bagi presiden yang menjabat. Salah satu alasan terpenting mengapa Presiden pertama Sukarno pada 1960-an dan penggantinya Soeharto pada 1998 kehilangan posisinya adalah karena kondisi ekonomi yang buruk, yang mendorong adanya protes besar yang akhirnya meruntuhkan rezim mereka.

Kekurangan dari argumen pemerintah

Pemerintah sendiri menyatakan alasan tetap mengadakan pilkada adalah karena penundaan pilkada melanggar hak konstitusi rakyat untuk memilih dan akan berakibat pada kosongnya pemimpin di tingkat daerah.

Tapi tidak satu pun dari alasan itu yang valid. Menunda pemilu bukan berarti melanggar hak konstitusional rakyat untuk memilih selama pilkada akan tetap dilaksanakan setelah wabah terkendali. Tidak ada dalam konstitusi yang mencegah penundaan pemilihan kepala daerah.

Ini juga tidak menyebabkan krisis kosongnya kepemimpinan selama pemerintahan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pemerintah sendiri juga telah menunda pilkada satu kali pada September lalu.

Pemerintah juga bisa memilih pejabat daerah atau memperpanjang masa jabatan kepala daerah saat ini  untuk memecahkan masalah ini.

Belum lagi fakta bahwa penundaan pemilihan Presiden Amerika Serikat harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Dengan polarisasi politik yang tajam di Amerika Serikat saat ini, butuh waktu yang lama untuk mendapatkan persetujuan tersebut.

Kesimpulannya, meski pemerintahan Jokowi telah memberi argumen untuk tidak menunda pilkada, pada akhirnya pertimbangan ekonomi dan politik yang paling berpengaruh.

Banyak orang takut dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah Pandemi Covid-19

Boleh jadi ketakutan tersebut tidak didasarkan pada landasan yang kuat .

 khususnya 105 juta pemilih di 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tentu bertanya apa sih pentingnya pilkada di saat mereka harus berjuang melawan wabah corona ini? Bukankah sekarang lebih penting bagaimana virus corona segera hilang dari muka bumi?

Antara melindungi kesehatan vs menjaga demokrasi

Urusan menunda atau tetap menggelar pemilu di tengah pandemi di berbagai negara pun beragam. Sebanyak 30 negara tetap menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal di tahun 2020, misalnya Jerman, Perancis, Korea Selatan.

Ada yang menunda di tahun depan antara lain Paraguay, Inggris, Kanada. Ada yang menggeser jadwal pelaksanaan tapi tetap di tahun 2020 oleh sebagian besar negara yang menyelenggarakan pemilu di tahun ini, misalnya Afrika Selatan, Austria, Polandia.

Maknanya, keputusan Indonesia untuk menggeser pelaksanaan pilkada tetap di tahun ini memiliki rujukan. Tetapi tentu bukan hanya itu argumentasi utamanya.

Argumentasi utama tentu saja soal menjaga kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal, secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip telah ditetapkan masa jabatannya.

Menggelar pilkada di tengah pandemi juga dapat menjadi pengalaman baru bagi penyelenggara pemilu di Indonesia.

Publik tidak perlu ragu, penyelenggara pemilu di Indonesia sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilu yang seringkali sistem dan aturan mainnya berubah.

Masyarakat atau pemilih di Indonesia karakteristiknya mudah menerima perubahan sistem dan cenderung manut. Lihat saja perilaku pemilih pada pemilu Orde Baru maupun di era reformasi yang berubah-ubah aturan mainnya.

Dari 294 daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, tidak semua daerah rawan Covid-19. Hanya 15 persen yang menerapkan PSBB dan 16 kabupaten/kota yang memiliki kasus Covid-19 lebih dari 100 kasus.

Cukup realistis menggelar pilkada di tengah pandemi ini, saat pemerintah sedang berupaya membuka kembali aktivitas sosial ekonomi masyarakat secara bertahap.

Efektivitas pemerintahan di era new normal

Era new normal, suka tidak suka, mau tidak mau "terpaksa" kita pilih karena tidak ada satu pun ilmuwan, peneliti, maupun lembaga yang memastikan kapan pandemi Covid-19 berakhir.

Untuk mengindari ketidakpastian yang tiada ujungnya, pilkada bisa terus ditunda di tahun 2021, 2022 dan seterusnya. Jika Pilkada ditunda terus maka tidak akan ada kepastian penyelenggaraan pemilu.

Bila Pilkada harus ditunda, pemerintah harus mengangkat 270 penjabat kepala daerah yang tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi pemerintah yang konsentrasi semua SDM dialokasikan untuk perang total melawan pandemi Covid-19.

Banyak pengamat yang menilai pilkada di tengah pandemi akan menguntungkan petahana?Tidak juga, Pilkada di tengah pandemi ini bisa jadi soal ujian akhir kompetensi kepemimpinan kepala daerah.

Bagi pemimpin yang sukses menangani krisis pandemi Covid-19 ini baik mengelola bansos, membuat sistem managemen kesehatan dan kerja keras turun ke lapangan, memastikan kesehatan publik dan keseimbangan ekonomi terjaga, bisa menjadi poin plus.

Sebaliknya, jika gagal, misalnya pengelolaan bansos yang amburadul, kasus corona yang tidak terkendali hingga isu korupsi bansos bisa jadi pemilih akan menghukum petahana dengan tidak memilihnya kembali.

Tahun depan pemerintah termasuk pemda fokus pada tahun recovery ekonomi, bila tahun depan masih berfokus pada tahun politik dengan menggelar pilkada, maka recovery ekonomi tidak akan maksimal.

Begitu pula dengan anggaran penyelenggaraan pilkada jika ditunda tahun depan akan menjadi beban berat bagi ruang fiskal pemda yang sedang bekerja keras memulihkan ekonomi.

Mau-tidak mau, suka-tidak suka, enak-tidak enak, kita harus legawa untuk berikhtiar menggelar pilkada di tengah pandemi.

Bergandengan tangan

Saat ini, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan kepemiluan baik penyelenggara pemilu, masyarakat sipil, pemerintah, partai politik, dan peserta pilkada bergandengan tangan, bersama-sama melindungi kesehatan publik sekaligus menjaga demokrasi.

Keyakinan bahwa pemilu adalah instrumen penting untuk memperkuat demokrasi sekaligus menegakkan kepastian hukum perlu digaungkan.

Bila antarpemangku kepentingan masih saling "ngotot" menunda atau melanjutkan pilkada, akan memicu keraguan bagi pemilih dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu.

Problem kesehatan publik dan menjaga demokrasi, dua-duanya tidak akan terpecahkan, yang ada hanya saling adu kuat argumentasi mendukung atau menolak pilkada.

Penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik dan kandidat peserta pilkada, maupun masyarakat sipil, secara kolektif sudah harus selangkah lebih maju membahas mengantisipasi potensi permasalahan yang akan terjadi.

Pilkada yang demokratis, aman dan sehat harus kita wujudkan bersama-sama. Kesetaraan kompetisi antarkandidat, pemenuhan hak pilih dan penyelenggara pemilu dengan protokol kesehatan yang ketat harus kita jaga.

Jangan sampai, habis pilkada terbitlah wabah corona cluster pilkada jika protokol kesehatan diabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun