Pendahuluan
Edward Coke adalah salah satu tokoh hukum terkemuka yang memperkenalkan konsep penting dalam hukum pidana, yaitu Actus Reus dan Mens Rea. Konsep ini menjadi pilar utama dalam menentukan kesalahan pidana seseorang. Dalam konteks hukum di Indonesia, khususnya pada kasus korupsi, kedua konsep ini sangat relevan untuk memahami bagaimana kejahatan dilakukan, baik oleh individu maupun korporasi.
Tulisan ini akan membahas penerapan konsep Actus Reus dan Mens Rea pada kasus korupsi di Indonesia dengan mengambil contoh kasus yang melibatkan tindak pidana korporasi yang telah diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
What (Apa itu Konsep Actus Reus dan Mens Rea?)
Actus Reus dan Mens Rea adalah dua konsep fundamental dalam hukum pidana yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang layak dihukum atas tindakan kriminal. Kedua elemen ini diperlukan untuk membuktikan kesalahan pidana, memastikan bahwa seseorang tidak dihukum hanya karena akibat dari suatu kejadian, melainkan karena kesalahan yang disengaja atau terjadi akibat kelalaian.
- Actus Reus
Actus Reus merujuk pada perbuatan fisik atau tindakan yang melanggar hukum. Ini adalah elemen pertama dalam menentukan apakah suatu tindakan dapat dianggap sebagai kejahatan. Actus Reus mencakup berbagai bentuk perilaku kriminal, baik itu berupa tindakan aktif seperti mencuri atau membunuh, atau kelalaian seperti gagal memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan, yang menyebabkan kerugian atau bahaya. Dalam hukum pidana, perbuatan yang dilakukan harus cukup jelas untuk menunjukkan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Sebagai contoh, dalam kasus pembunuhan, Actus Reus adalah tindakan fisik berupa serangan atau perbuatan yang mengakibatkan kematian korban.
- Mens Rea
Mens Rea mengacu pada niat atau kesadaran pelaku dalam melakukan tindakan kriminal tersebut. Ini adalah elemen yang mengacu pada mentalitas atau keinginan jahat yang mendasari perbuatan itu. Mens Rea sangat penting karena tidak semua tindakan kriminal dilakukan dengan niat jahat. Beberapa tindakan kriminal, seperti kecelakaan lalu lintas atau kelalaian, bisa terjadi tanpa kesengajaan. Sebagai contoh, dalam kasus pembunuhan, Mens Rea adalah niat sengaja untuk membunuh, sementara dalam kasus kelalaian, Mens Rea mungkin hanya berupa ketidakpedulian terhadap keselamatan orang lain.
Â
Why (Mengapa Kedua Konsep ini Penting Dalam Penegakan Hukum?)
Konsep Actus Reus dan Mens Rea sangat penting dalam penegakan hukum karena keduanya memastikan bahwa seseorang atau entitas yang dihukum benar-benar bersalah dan layak mendapat hukuman sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Tanpa dua elemen ini, sistem hukum tidak akan mampu menilai secara adil apakah seseorang atau korporasi seharusnya dihukum atau tidak.Â
- Actus Reus merujuk pada tindakan nyata atau perbuatan yang melanggar hukum. Dalam penegakan hukum, ini menunjukkan bahwa pelaku benar-benar melakukan tindak pidana, baik itu melalui tindakan fisik, kelalaian, atau pelanggaran lainnya. Tanpa adanya perbuatan yang melanggar hukum, tidak ada dasar untuk menghukum. Sebagai contoh, dalam kasus pembunuhan, Actus Reus adalah tindakan fisik seperti menyerang korban dengan senjata. Dalam kasus korupsi, Actus Reus bisa berupa pemberian suap atau penyalahgunaan wewenang.Â
- Mens Rea, di sisi lain, mengacu pada niat atau kesadaran pelaku dalam melakukan tindakan tersebut. Mens Rea membuktikan bahwa pelaku melakukan tindak pidana dengan kesengajaan, kelalaian, atau niat jahat. Tanpa Mens Rea, tindakan yang dilakukan bisa jadi tidak bersifat kriminal. Misalnya, jika seseorang menyebabkan kecelakaan tanpa niat atau kelalaian, dia tidak bisa dihukum dengan tuntutan yang sama seperti seseorang yang sengaja menyebabkan kecelakaan. Dalam konteks korupsi, Mens Rea memastikan bahwa perusahaan atau individu sengaja terlibat dalam praktik suap atau penggelapan untuk mendapatkan keuntungan ilegal.
Kedua konsep ini bekerja bersama untuk memberikan keadilan dalam penegakan hukum. Tanpa Actus Reus, seseorang tidak dapat dianggap melakukan kejahatan. Tanpa Mens Rea, seseorang bisa dihukum tanpa adanya kesengajaan atau niat jahat. Gabungan keduanya memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar bersalah yang akan dihukum, menjaga keseimbangan antara perlindungan individu dan penegakan hukum.
How (Bagaimana Penerapan Konsep Actus Reus dan Mens Rea Pada Kasus Korupsi di Indonesia?)
Kasus PT Duta Graha Indah (DGI) adalah salah satu contoh korupsi korporasi besar di Indonesia yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perusahaan ini, yang kini dikenal sebagai PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE), terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait pengaturan dan manipulasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah.Â
Kronologi KasusÂ
Kasus bermula ketika PT DGI terbukti menyuap pejabat negara untuk memenangkan sejumlah proyek konstruksi yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Salah satu proyek besar yang terlibat dalam kasus ini adalah pembangunan fasilitas Rumah Sakit Pendidikan Universitas Udayana. Perusahaan menggunakan praktik suap untuk memastikan bahwa mereka terpilih sebagai pemenang tender, meskipun ada pelanggaran prosedur.Â
Modus OperandiÂ
PT DGI memberikan "fee" atau suap kepada pejabat pemerintah sebagai imbalan atas kemudahan dan kemenangan proyek. Tindakan ini dilakukan secara sistematis dan melibatkan pihak-pihak internal perusahaan yang bertugas menjalankan strategi suap.Â
Bagaimana Penerapan Actus Reus dan Mens Rea Dalam Kasus Tersebut?
Dalam kasus PT Duta Graha Indah (DGI), penerapan konsep Actus Reus (perbuatan melawan hukum) dan Mens Rea (niat jahat) menjadi kunci untuk membuktikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh perusahaan. Kedua konsep ini digunakan untuk menunjukkan adanya tindakan nyata yang melanggar hukum dan niat kesengajaan dari korporasi untuk melakukan kejahatan.
- Actus Reus dalam Kasus PT DGI
Actus Reus mengacu pada tindakan fisik atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT DGI. Dalam kasus ini, Actus Reus yang terbukti adalah:
Pemberian suap kepada pejabat negara: PT DGI memberikan sejumlah uang (fee) kepada pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan pejabat terkait lainnya agar mereka memenangkan tender proyek infrastruktur.
Manipulasi proses tender: PT DGI memanfaatkan relasi dengan pihak internal pemerintah untuk memengaruhi proses lelang proyek sehingga perusahaan mereka dipilih, meskipun tidak memenuhi prosedur yang benar.
Kerugian negara: Akibat tindakan ini, beberapa proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh PT DGI dilakukan dengan harga yang digelembungkan (mark-up), sehingga merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah.
Actus Reus dalam kasus ini menunjukkan tindakan nyata yang melanggar hukum pidana, yang menjadi dasar untuk menuntut korporasi.
- Mens Rea dalam Kasus PT DGI
Mens Rea mengacu pada niat atau kesengajaan pelaku dalam melakukan tindak pidana. Dalam kasus PT DGI, Mens Rea terbukti dari:
Kesengajaan untuk menyuap: PT DGI secara sadar dan sengaja memberikan uang suap kepada pejabat pemerintah sebagai strategi untuk memenangkan proyek-proyek besar. Hal ini tidak dilakukan tanpa rencana, tetapi melalui perhitungan matang.Â
Motivasi keuntungan finansial: Manajemen PT DGI memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan besar melalui cara ilegal, meskipun mengetahui bahwa tindakan tersebut melanggar hukum.
Tindakan terstruktur: Pemberian suap tidak dilakukan secara spontan, melainkan dirancang melalui kebijakan internal perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan secara institusi memiliki niat buruk (corporate intent).
Mens Rea memastikan bahwa kejahatan ini bukan hanya pelanggaran prosedural, tetapi juga dilatarbelakangi oleh kesengajaan untuk melanggar hukum.
Dampak dari Kasus Tersebut
Kasus PT Duta Graha Indah (DGI) memiliki dampak yang signifikan, baik terhadap ekonomi, reputasi, maupun sistem hukum di Indonesia. Berikut adalah penjelasan rinci dampak yang ditimbulkan:
1. Dampak terhadap Keuangan Negara
- Kerugian Negara: Tindakan korupsi yang dilakukan PT DGI mengakibatkan kerugian negara hingga Rp85,49 miliar. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur secara efisien disalahgunakan melalui manipulasi dan penggelembungan (mark-up) biaya.
- Efisiensi Proyek Infrastruktur Terganggu: Akibat korupsi, kualitas proyek yang dikerjakan tidak optimal karena dana yang digelembungkan tidak sepenuhnya dialokasikan untuk pengerjaan proyek.
2. Dampak terhadap Dunia Usaha
- Preseden Buruk bagi Korporasi: Kasus ini menunjukkan bahwa korporasi dapat dijerat hukum pidana. Hal ini menjadi peringatan keras bagi perusahaan lain untuk menghindari praktik suap dan korupsi.
- Turunnya Kepercayaan pada Proses Tender Pemerintah: Praktik manipulasi dalam tender proyek memunculkan ketidakpercayaan terhadap transparansi proses lelang proyek pemerintah. Investor asing dan domestik mungkin lebih berhati-hati dalam bekerja sama dengan pemerintah.
3. Dampak terhadap PT Duta Graha Indah (DGI)
- Sanksi Hukum: PT DGI dihukum dengan denda Rp700 juta dan diwajibkan membayar kerugian negara sebesar Rp85,49 miliar.
- Reputasi yang Rusak: Kasus ini menghancurkan reputasi PT DGI sebagai perusahaan konstruksi. Perusahaan tersebut harus mengganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) dalam upaya membangun kembali citra positif.
- Kesulitan Operasional: Setelah kasus ini, perusahaan mengalami kesulitan dalam mendapatkan proyek baru karena stigma korupsi yang melekat.
4. Dampak terhadap Penegakan Hukum
- Penguatan Peran KPK: Keberhasilan KPK dalam menangani kasus ini memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi.
- Penerapan Konsep Tanggung Jawab Korporasi: Kasus ini menjadi salah satu contoh penting penerapan hukum terhadap korporasi di Indonesia, menegaskan bahwa entitas hukum (perusahaan) juga dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana.
5. Dampak Sosial
- Kehilangan Kepercayaan Publik: Kasus ini semakin memperburuk citra sektor publik dan swasta di mata masyarakat. Praktik korupsi dalam pembangunan infrastruktur yang seharusnya bermanfaat bagi rakyat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kepentingan publik.
- Pemicu Reformasi Sistem Tender: Kasus ini memunculkan desakan agar pemerintah lebih transparan dan akuntabel dalam pelaksanaan tender proyek infrastruktur.
Pentingnya Penegakan Hukum Pada Korupsi Korporasi
Penegakan hukum terhadap korupsi korporasi sangat penting untuk melindungi keuangan negara dan menjamin keadilan. Korupsi korporasi seringkali melibatkan proyek-proyek besar dengan nilai kerugian yang signifikan, seperti manipulasi tender atau penyuapan. Tanpa penindakan yang tegas, tindakan ini dapat merugikan masyarakat luas, menghambat pembangunan, dan menciptakan ketidakadilan dalam persaingan bisnis. Penegakan hukum memastikan korporasi bertanggung jawab atas perbuatannya, baik melalui denda, ganti rugi, maupun hukuman lainnya, seperti yang terlihat dalam kasus PT Duta Graha Indah (DGI), di mana perusahaan dikenai denda miliaran rupiah.
Selain itu, penegakan hukum memberikan efek jera dan mendorong transparansi dalam dunia usaha. Hal ini meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan menciptakan lingkungan bisnis yang sehat serta bebas dari praktik ilegal. Dengan menegakkan hukum terhadap korupsi korporasi, pemerintah menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang kebal hukum, termasuk entitas besar. Langkah ini juga membantu mencegah dampak sistemik dari korupsi, seperti kerugian jangka panjang terhadap ekonomi dan infrastruktur, sekaligus membangun fondasi untuk pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Konsep Actus Reus dan Mens Rea merupakan dua elemen esensial dalam hukum pidana yang membantu memastikan keadilan dalam penegakan hukum. Actus Reus mengacu pada tindakan fisik atau perbuatan yang melanggar hukum, sedangkan Mens Rea merujuk pada niat atau kesengajaan pelaku dalam melakukan tindakan tersebut. Kedua konsep ini saling melengkapi, di mana Actus Reus memastikan bahwa pelaku melakukan tindakan yang dapat dikenakan hukuman, sementara Mens Rea memastikan bahwa pelaku memiliki niat jahat atau kesalahan mental dalam melakukan tindakannya.
Kombinasi dari keduanya sangat penting untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil, tidak hanya berdasarkan akibat yang ditimbulkan, tetapi juga berdasarkan niat dan kesengajaan pelaku. Dengan demikian, hanya mereka yang benar-benar bersalah baik dalam tindakan maupun niat yang akan dihukum. Konsep ini juga mendasari pentingnya pembuktian dalam kasus pidana, di mana penyidik dan pengadilan harus membuktikan kedua elemen tersebut untuk memastikan bahwa seseorang layak dihukum.
Daftar Pustaka
- Coke, Edward. 2003. The Institutes of the Laws of England: A Commentary on Littleton. 4th ed. London: The Lawbook Exchange.
- Rogers, P.J. 2007. Edward Coke and the Rise of Parliamentary Sovereignty. London: Hart Publishing.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2013. Laporan Tahunan KPK 2013. Jakarta: KPK.
- Sagala, R. M. 2017. "Korupsi di Sektor Konstruksi: Studi Kasus PT Duta Graha Indah". Jurnal Hukum dan Pembangunan, 45(2): 154-171.
- Firmanzah, Firman. 2014. "Korupsi dan Dampaknya terhadap Infrastruktur di Indonesia". Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 29(1): 45-60.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H