Mohon tunggu...
SASI MILIARTI
SASI MILIARTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA

NIM : 41821110005 Fakultas : Ilmu Komputer Prodi : Sistem Informasi Kampus : Meruya Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Jack Bologna

16 November 2024   17:14 Diperbarui: 16 November 2024   17:14 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Korupsi secara umum didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi mencakup berbagai tindakan seperti penyuapan, penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan anggaran publik. Korupsi merupakan salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi Indonesia, dengan dampak yang merusak berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Praktik korupsi tidak hanya menyebabkan kerugian finansial bagi negara tetapi juga melemahkan sistem demokrasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Fenomena ini sering kali terjadi karena kombinasi faktor individu, kelembagaan, dan budaya sosial yang menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, teori GONE oleh Jack Bologna menjadi alat analisis yang relevan untuk memahami penyebab utama korupsi di Indonesia, termasuk dalam kasus-kasus besar seperti korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 oleh mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara.

Teori GONE menjelaskan bahwa korupsi terjadi akibat adanya empat elemen utama: Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan). Elemen-elemen ini saling berkaitan dalam menciptakan kondisi yang mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi. Keserakahan muncul sebagai dorongan utama bagi individu untuk memanfaatkan kekuasaan atau sumber daya untuk kepentingan pribadi. Kesempatan tercipta dari kelemahan dalam sistem pengawasan, transparansi, atau akuntabilitas yang memungkinkan pelaku bertindak tanpa pengawasan yang memadai. Kebutuhan, baik kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan, dapat memperkuat dorongan untuk melakukan korupsi. Sementara itu, rendahnya risiko pengungkapan atau hukuman, akibat lemahnya penegakan hukum, memperkuat keyakinan pelaku bahwa tindakannya akan lolos dari konsekuensi.

Kasus korupsi bansos COVID-19 yang melibatkan Juliari Batubara menjadi contoh nyata dari penerapan teori GONE dalam praktik. Skandal ini terjadi ketika pemerintah melalui Kementerian Sosial melaksanakan program bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Program tersebut bertujuan untuk mendukung kelompok rentan yang mengalami kesulitan ekonomi akibat krisis. Namun, pelaksanaan program ini tercemar oleh tindakan korupsi yang dilakukan oleh Juliari dan pihak terkait, di mana suap sebesar Rp 10.000 per paket sembako dikumpulkan dari vendor yang ditunjuk. Total suap yang diterima mencapai Rp 32,4 miliar, sebuah angka yang mencerminkan pengkhianatan terhadap tanggung jawab publik dan penderitaan masyarakat.

Kasus ini mencerminkan betapa lemahnya pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam birokrasi Indonesia, terutama dalam situasi darurat seperti pandemi. Selain itu, budaya patronase, gaya hidup mewah pejabat, dan rendahnya risiko pengungkapan turut berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung praktik korupsi. Dalam konteks ini, teori GONE memberikan kerangka yang dapat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan tindakan korupsi dan untuk merancang strategi pencegahan yang efektif.

Melalui artikel ini, pembahasan akan difokuskan pada bagaimana elemen-elemen teori GONE terwujud dalam kasus korupsi Juliari Batubara dan bagaimana langkah-langkah pencegahan dapat diterapkan untuk meminimalkan kemungkinan kasus serupa di masa mendatang. Dengan menganalisis hubungan antara teori dan kasus, artikel ini bertujuan untuk memberikan wawasan mendalam mengenai penyebab utama korupsi di Indonesia serta solusi strategis untuk memberantasnya. Harapannya, langkah-langkah tersebut dapat membantu membangun tata kelola pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi.

Apa itu Teori GONE oleh Jack Bologna?

Teori GONE adalah kerangka analisis yang dikembangkan oleh Jack Bologna untuk menjelaskan penyebab utama di balik tindakan korupsi, penipuan, atau kejahatan lainnya yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan. Teori ini menyatakan bahwa ada empat faktor utama yang mendorong terjadinya tindakan tersebut, yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan). Faktor-faktor ini sering kali saling berkaitan, menciptakan kondisi yang kondusif bagi individu untuk melakukan tindakan korupsi. Berikut penjelasan rinci setiap elemen:

  • Greed (Keserakahan): Keserakahan adalah dorongan individu untuk memperoleh keuntungan pribadi atau materi secara berlebihan. Dalam konteks korupsi, keserakahan sering kali menjadi motivasi utama bagi pejabat publik atau individu untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka. Contoh nyata adalah pejabat yang mengambil suap meskipun mereka sudah memiliki gaji dan fasilitas yang cukup.
  • Opportunity (Kesempatan): Kesempatan mengacu pada celah atau kelemahan dalam sistem yang memungkinkan seseorang melakukan korupsi. Kurangnya pengawasan, akuntabilitas, atau transparansi dalam sistem pemerintahan atau organisasi memberikan peluang bagi pelaku untuk bertindak tanpa risiko besar terdeteksi.
  • Need (Kebutuhan): Kebutuhan adalah alasan mendasar yang mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi. Ini dapat mencakup tekanan ekonomi pribadi, gaya hidup yang melebihi penghasilan, atau kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan atau jaringan sosial.
  • Exposure (Pengungkapan): Pengungkapan adalah risiko yang dirasakan pelaku atas kemungkinan tertangkap atau dihukum. Ketika risiko ini rendah, individu cenderung merasa aman untuk melakukan tindakan korupsi. Lemahnya penegakan hukum atau budaya impunitas memperburuk kondisi ini.

Relevansi Teori GONE terhadap kasus korupsi di Indonesia

Teori GONE, yang dikembangkan oleh Jack Bologne, sangat relevan untuk menganalisis kasus korupsi di Indonesia. Faktor keserakahan (Greed) terlihat jelas dalam banyak kasus korupsi, di mana pejabat atau pengusaha berambisi untuk mengumpulkan lebih banyak kekayaan meskipun mereka sudah memiliki cukup. Faktor kesempatan (Opportunity) juga sangat penting di Indonesia, karena sistem yang sering kali tidak transparan, lemahnya pengawasan, dan celah hukum memberi peluang bagi koruptor untuk melakukan penyalahgunaan wewenang tanpa takut terbongkar. Kebutuhan (Need), baik itu kebutuhan finansial atau sosial, mendorong individu untuk terlibat dalam korupsi, terutama di daerah dengan tingkat kesulitan ekonomi yang tinggi, di mana pejabat atau masyarakat merasa terpaksa berkorupsi untuk memenuhi gaya hidup atau kebutuhan dasar mereka. Faktor terakhir, Pengungkapan (Exposure), berhubungan dengan seberapa besar risiko seseorang untuk terungkap melakukan korupsi. Meski ada lembaga seperti KPK, penegakan hukum yang lemah di tingkat lokal sering kali memberikan rasa aman bagi koruptor, sehingga mereka merasa tidak terancam. Keseluruhan faktor ini saling berinteraksi, menjelaskan mengapa korupsi terus menjadi masalah besar di Indonesia, dan mengapa upaya pencegahannya memerlukan perhatian lebih.

Mengapa Korupsi Bisa Terjadi?

Korupsi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang menciptakan lingkungan kondusif untuk praktik ini. Budaya patronase dan feodalisme membuat korupsi seperti suap dan nepotisme dianggap lumrah, sementara rendahnya kesadaran antikorupsi memperkuat toleransi terhadap tindakan tersebut. Ketimpangan ekonomi dan tekanan finansial sering kali mendorong individu untuk mencari jalan pintas, termasuk melalui korupsi, terutama karena gaji yang rendah dan gaya hidup yang melebihi penghasilan.

Di sisi kelembagaan, lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas publik membuka peluang besar bagi korupsi, sementara penegakan hukum yang lemah membuat pelaku merasa aman dari risiko pengungkapan atau hukuman. Elemen-elemen ini sejalan dengan teori GONE oleh Jack Bologna, yang menjelaskan bahwa korupsi dipicu oleh empat faktor utama: keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (need), dan rendahnya risiko pengungkapan (exposure). Sistem di Indonesia memperbesar peluang korupsi melalui kelemahan pengawasan, birokrasi yang rumit, dan budaya impunitas. Dalam konteks ini, Greed muncul melalui gaya hidup mewah pejabat, Opportunity melalui kelemahan kontrol, Need karena tekanan ekonomi, dan Exposure karena lemahnya hukum. Dengan memahami hubungan ini, strategi antikorupsi dapat difokuskan pada memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum untuk menciptakan sistem yang lebih bersih.

Bagaimana Penerapan Teori Gone Dalam Kasus Korupsi di Indonesia?

Kasus korupsi yang melibatkan Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, menjadi salah satu skandal besar yang mencuat di tengah pandemi COVID-19. Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial meluncurkan program bantuan sosial (bansos) dalam bentuk paket sembako untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi. Program ini menjadi salah satu upaya penting dalam mendukung stabilitas sosial dan ekonomi selama krisis.

Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan adanya praktik korupsi yang melibatkan Juliari Batubara bersama sejumlah pihak lain. Juliari dituduh menerima suap sebesar Rp 32,4 miliar dari vendor atau rekanan yang mengelola pengadaan bansos tersebut. Suap ini diberikan sebagai imbalan atas penunjukan rekanan tertentu dalam proyek pengadaan paket sembako. Setiap paket sembako dikenakan potongan sebesar Rp 10.000, yang kemudian dikumpulkan sebagai dana suap.

Skema korupsi ini terjadi di tengah kondisi kritis di mana masyarakat sangat membutuhkan bantuan. Hal ini memicu kemarahan publik karena menunjukkan pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat dan penyalahgunaan dana yang seharusnya digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Juliari akhirnya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Desember 2020 dan diadili atas perbuatannya.

Pada Agustus 2021, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari Batubara. Ia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti senilai Rp 14,59 miliar. Kasus ini mencerminkan buruknya tata kelola dalam pengelolaan dana publik dan menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan serta transparansi dalam birokrasi. Korupsi yang dilakukan oleh Juliari Batubara tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, terutama di masa pandemi yang membutuhkan solidaritas dan integritas tinggi dari para pemimpin.

Dalam menganalisis kasus korupsi, kita dapat menggunakan Teori GONE yang dikemukakan oleh Jack Bologna tersebut.

Penerapan Teori GONE dalam Kasus Juliari Batubara:

  • Greed (Keserakahan)

Keserakahan adalah pendorong utama tindakan Juliari. Sebagai pejabat publik, ia sudah memiliki gaji dan fasilitas yang mencukupi, tetapi tetap tergoda untuk memperoleh keuntungan tambahan melalui cara ilegal. Dalam kasus ini, Juliari meminta potongan sebesar Rp 10.000 per paket sembako yang disalurkan kepada masyarakat terdampak COVID-19. Tindakan ini menunjukkan bagaimana dorongan keserakahan dapat mengaburkan tanggung jawab moral seorang pejabat untuk melayani masyarakat, terutama dalam situasi krisis seperti pandemi.

  • Opportunity (Kesempatan)

Kesempatan muncul dari kelemahan sistem pengawasan dan pengelolaan dana bansos. Proses pengadaan barang dilakukan secara cepat tanpa transparansi yang memadai, dengan pengawasan internal yang lemah. Dalam kondisi darurat, seperti pandemi, mekanisme kontrol sering kali dilonggarkan untuk mempercepat penyaluran bantuan. Juliari memanfaatkan kelemahan ini untuk menunjuk rekanan tertentu yang bersedia memberikan suap, sehingga mengamankan keuntungannya tanpa risiko besar terdeteksi dalam waktu dekat.

  • Need (Kebutuhan)

Motivasi Juliari dalam hal kebutuhan tidak sepenuhnya terkait dengan tekanan ekonomi langsung. Sebagai pejabat negara, ia memiliki penghasilan yang stabil. Namun, kebutuhan untuk mempertahankan gaya hidup mewah atau membiayai kepentingan politik pribadi sering kali menjadi alasan terselubung bagi pejabat publik untuk melakukan korupsi. Dalam kasus ini, meskipun kebutuhan tersebut tidak disebutkan secara eksplisit, dorongan untuk mendapatkan dana tambahan dapat diasosiasikan dengan tekanan finansial tidak langsung.

  • Exposure (Pengungkapan)

Rendahnya risiko pengungkapan atau hukuman adalah faktor penting dalam mendorong korupsi. Juliari dan timnya mungkin merasa aman melakukan tindakan ini karena lemahnya sistem pelaporan dan pengawasan pada saat itu. Budaya impunitas di Indonesia, di mana pelaku korupsi sering kali lolos dengan hukuman ringan, juga turut memberikan keyakinan bahwa tindakan mereka sulit terungkap. Namun, intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membongkar kasus ini, menunjukkan adanya perbaikan dalam mekanisme pengawasan di Indonesia.

Tindak pidana korupsi, seperti yang terjadi dalam kasus Juliari Batubara, dapat dicegah dengan menerapkan langkah-langkah strategis yang menargetkan kelemahan sistemik dan perilaku yang mendorong tindakan korupsi. Langkah-langkah berikut dapat diterapkan tidak hanya pada kasus bansos COVID-19, tetapi juga pada sistem pemerintahan secara umum untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik dan bebas dari korupsi.

  • Meningkatkan Pengawasan Internal

Pengawasan internal adalah kunci untuk mendeteksi dan mencegah praktik korupsi sebelum terjadi. Dalam kasus Juliari Batubara, kelemahan dalam pengawasan proses pengadaan barang memungkinkan terjadinya manipulasi oleh pejabat publik. Pengawasan internal yang lemah membuka peluang bagi tindakan korupsi karena tidak adanya kontrol yang ketat terhadap alur dana atau penunjukan vendor. 

Untuk mencegah hal serupa, perlu ada penguatan sistem audit internal di lembaga pemerintah. Audit ini harus dilakukan secara berkala dan mencakup semua tahapan pengadaan barang dan jasa, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Selain itu, lembaga audit internal harus diberikan independensi yang cukup untuk melaksanakan tugasnya tanpa campur tangan pihak yang berkepentingan. Mengintegrasikan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblower system) juga dapat membantu mengidentifikasi tindakan korupsi lebih dini, dengan memastikan keamanan pelapor agar tidak ada rasa takut untuk melaporkan pelanggaran.

  • Transparansi dan Akuntabilitas

Transparansi adalah langkah penting untuk memastikan bahwa proses pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terbuka dan sesuai aturan. Dalam kasus bansos COVID-19, kurangnya transparansi dalam penunjukan vendor memberikan peluang bagi Juliari Batubara untuk menerima suap.

Pemerintah perlu menerapkan sistem transparansi dengan mempublikasikan seluruh proses pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat. Ini mencakup pengumuman tender, kriteria penilaian, dan daftar vendor yang terpilih. Dengan keterbukaan ini, publik dapat ikut memantau proses pengadaan dan melaporkan indikasi penyimpangan. Selain itu, akuntabilitas pejabat publik harus diperkuat. Setiap keputusan yang diambil oleh pejabat harus dapat dipertanggungjawabkan melalui mekanisme formal, seperti pelaporan keuangan atau evaluasi kinerja yang ketat. Dengan demikian, pejabat tidak hanya bertindak sesuai aturan, tetapi juga sadar akan konsekuensi jika melakukan pelanggaran.

  • Reformasi Kebijakan Anti-Korupsi

Kebijakan anti-korupsi yang kuat adalah fondasi untuk mencegah tindakan korupsi. Dalam kasus Juliari Batubara, lemahnya sanksi sebelumnya terhadap pelaku korupsi dan kurangnya langkah preventif memberikan kesan bahwa korupsi memiliki risiko yang rendah. 

Reformasi kebijakan diperlukan untuk menciptakan sistem pencegahan yang komprehensif. Hal ini mencakup pemberian hukuman tegas dan proporsional kepada pelaku korupsi untuk memberikan efek jera. Selain itu, kebijakan harus mengedepankan upaya preventif dengan mewajibkan pejabat publik melaporkan kekayaan secara transparan dan berkala. Kebijakan ini juga perlu mencakup pelatihan integritas untuk semua pegawai pemerintah, sehingga mereka memahami konsekuensi etis dan hukum dari tindakan korupsi.

  • Penggunaan Teknologi

Teknologi informasi dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah korupsi dengan meminimalkan interaksi manusia yang rawan penyimpangan. Dalam kasus bansos COVID-19, penggunaan teknologi dapat mencegah manipulasi data atau pengaturan dalam proses pengadaan barang. 

Salah satu langkah konkret adalah penerapan sistem e-procurement, yang memungkinkan seluruh proses pengadaan dilakukan secara digital dan transparan. Dengan sistem ini, data terkait tender, vendor, dan alur pengadaan dapat diakses oleh publik dan diaudit secara real-time. Selain itu, teknologi seperti big data analytics dapat digunakan untuk memantau dan menganalisis pola pengeluaran pemerintah, sehingga potensi penyimpangan dapat dideteksi lebih awal. Sistem blockchain juga dapat diterapkan untuk menciptakan rekam jejak transaksi yang tidak dapat dimanipulasi, memberikan transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi.

Kesimpulan

Korupsi di Indonesia adalah permasalahan yang kompleks dan sistemik, melibatkan banyak faktor sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang saling memengaruhi. Teori GONE oleh Jack Bologna yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan) memberikan kerangka analitis yang relevan untuk memahami penyebab utama korupsi di negara ini. Elemen-elemen tersebut tidak hanya menggambarkan motif individu, tetapi juga mengungkapkan kelemahan dalam sistem yang memungkinkan korupsi terus terjadi.

Kasus korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara adalah contoh nyata dari bagaimana elemen-elemen GONE terwujud dalam praktik korupsi. Greed (keserakahan) tampak jelas dari tindakan Juliari yang menyalahgunakan jabatannya untuk menerima suap dalam pengadaan bansos, meskipun ia telah memiliki gaji yang cukup sebagai pejabat negara. Opportunity (kesempatan) muncul dari kelemahan sistem pengawasan dalam proses pengadaan barang dan jasa, di mana transparansi dan akuntabilitas kurang diterapkan. Need (kebutuhan), meskipun tidak sepenuhnya mendesak secara ekonomi, terlihat dalam upaya memenuhi gaya hidup mewah yang melebihi penghasilannya. Sementara itu, Exposure (pengungkapan) yang rendah, akibat lemahnya sistem pelaporan dan penegakan hukum, memungkinkan tindakan korupsi ini terjadi tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum.

Faktor sosial, seperti budaya patronase dan norma yang permisif terhadap korupsi, turut memperkuat ekosistem korupsi di Indonesia. Budaya ini mendorong praktik suap, nepotisme, dan kolusi yang menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan. Di sisi ekonomi, ketimpangan sosial dan tekanan finansial menciptakan situasi di mana individu merasa terdorong untuk mencari keuntungan pribadi melalui cara-cara yang tidak sah. Sementara itu, kelemahan kelembagaan, seperti sistem pengawasan yang tidak efektif, birokrasi yang rumit, dan lemahnya penegakan hukum, memperbesar peluang terjadinya korupsi.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan strategi antikorupsi yang berfokus pada elemen-elemen yang diidentifikasi oleh teori GONE. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas melalui penguatan sistem pengawasan, penerapan teknologi e-government, dan pengadaan barang yang berbasis digital. Kedua, menanamkan budaya antikorupsi melalui pendidikan dan kampanye publik yang sistematis untuk membangun kesadaran masyarakat. Ketiga, memberikan gaji dan insentif yang memadai kepada pejabat publik untuk mengurangi tekanan finansial yang mendorong korupsi. Keempat, meningkatkan penegakan hukum dengan memberikan hukuman yang tegas kepada pelaku korupsi dan melindungi pelapor (whistleblower) untuk menciptakan efek jera.

Dalam konteks kasus bansos COVID-19, langkah-langkah tersebut dapat diterapkan untuk memperkuat pengelolaan dana bantuan sosial di masa depan. Proses pengadaan harus dilakukan secara transparan dengan pengawasan independen, sementara pejabat publik yang terlibat harus tunduk pada mekanisme audit yang ketat. Di sisi lain, masyarakat harus didorong untuk ikut berpartisipasi dalam pengawasan melalui sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses.

Dengan memahami hubungan antara teori GONE dan sistem di Indonesia, strategi antikorupsi dapat dirancang secara lebih efektif dan komprehensif. Reformasi yang menyeluruh, baik pada tingkat individu maupun kelembagaan, diperlukan untuk memutus rantai korupsi yang telah lama mengakar. Hanya dengan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Indonesia dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas, sekaligus membangun masa depan yang lebih adil dan bebas dari korupsi.

Daftar Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun