Kasus korupsi yang melibatkan Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, menjadi salah satu skandal besar yang mencuat di tengah pandemi COVID-19. Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial meluncurkan program bantuan sosial (bansos) dalam bentuk paket sembako untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi. Program ini menjadi salah satu upaya penting dalam mendukung stabilitas sosial dan ekonomi selama krisis.
Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan adanya praktik korupsi yang melibatkan Juliari Batubara bersama sejumlah pihak lain. Juliari dituduh menerima suap sebesar Rp 32,4 miliar dari vendor atau rekanan yang mengelola pengadaan bansos tersebut. Suap ini diberikan sebagai imbalan atas penunjukan rekanan tertentu dalam proyek pengadaan paket sembako. Setiap paket sembako dikenakan potongan sebesar Rp 10.000, yang kemudian dikumpulkan sebagai dana suap.
Skema korupsi ini terjadi di tengah kondisi kritis di mana masyarakat sangat membutuhkan bantuan. Hal ini memicu kemarahan publik karena menunjukkan pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat dan penyalahgunaan dana yang seharusnya digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Juliari akhirnya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Desember 2020 dan diadili atas perbuatannya.
Pada Agustus 2021, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari Batubara. Ia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti senilai Rp 14,59 miliar. Kasus ini mencerminkan buruknya tata kelola dalam pengelolaan dana publik dan menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan serta transparansi dalam birokrasi. Korupsi yang dilakukan oleh Juliari Batubara tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, terutama di masa pandemi yang membutuhkan solidaritas dan integritas tinggi dari para pemimpin.
Dalam menganalisis kasus korupsi, kita dapat menggunakan Teori GONE yang dikemukakan oleh Jack Bologna tersebut.
Penerapan Teori GONE dalam Kasus Juliari Batubara:
- Greed (Keserakahan)
Keserakahan adalah pendorong utama tindakan Juliari. Sebagai pejabat publik, ia sudah memiliki gaji dan fasilitas yang mencukupi, tetapi tetap tergoda untuk memperoleh keuntungan tambahan melalui cara ilegal. Dalam kasus ini, Juliari meminta potongan sebesar Rp 10.000 per paket sembako yang disalurkan kepada masyarakat terdampak COVID-19. Tindakan ini menunjukkan bagaimana dorongan keserakahan dapat mengaburkan tanggung jawab moral seorang pejabat untuk melayani masyarakat, terutama dalam situasi krisis seperti pandemi.
- Opportunity (Kesempatan)
Kesempatan muncul dari kelemahan sistem pengawasan dan pengelolaan dana bansos. Proses pengadaan barang dilakukan secara cepat tanpa transparansi yang memadai, dengan pengawasan internal yang lemah. Dalam kondisi darurat, seperti pandemi, mekanisme kontrol sering kali dilonggarkan untuk mempercepat penyaluran bantuan. Juliari memanfaatkan kelemahan ini untuk menunjuk rekanan tertentu yang bersedia memberikan suap, sehingga mengamankan keuntungannya tanpa risiko besar terdeteksi dalam waktu dekat.
- Need (Kebutuhan)
Motivasi Juliari dalam hal kebutuhan tidak sepenuhnya terkait dengan tekanan ekonomi langsung. Sebagai pejabat negara, ia memiliki penghasilan yang stabil. Namun, kebutuhan untuk mempertahankan gaya hidup mewah atau membiayai kepentingan politik pribadi sering kali menjadi alasan terselubung bagi pejabat publik untuk melakukan korupsi. Dalam kasus ini, meskipun kebutuhan tersebut tidak disebutkan secara eksplisit, dorongan untuk mendapatkan dana tambahan dapat diasosiasikan dengan tekanan finansial tidak langsung.
- Exposure (Pengungkapan)
Rendahnya risiko pengungkapan atau hukuman adalah faktor penting dalam mendorong korupsi. Juliari dan timnya mungkin merasa aman melakukan tindakan ini karena lemahnya sistem pelaporan dan pengawasan pada saat itu. Budaya impunitas di Indonesia, di mana pelaku korupsi sering kali lolos dengan hukuman ringan, juga turut memberikan keyakinan bahwa tindakan mereka sulit terungkap. Namun, intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membongkar kasus ini, menunjukkan adanya perbaikan dalam mekanisme pengawasan di Indonesia.
Tindak pidana korupsi, seperti yang terjadi dalam kasus Juliari Batubara, dapat dicegah dengan menerapkan langkah-langkah strategis yang menargetkan kelemahan sistemik dan perilaku yang mendorong tindakan korupsi. Langkah-langkah berikut dapat diterapkan tidak hanya pada kasus bansos COVID-19, tetapi juga pada sistem pemerintahan secara umum untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik dan bebas dari korupsi.
- Meningkatkan Pengawasan Internal