Pengawasan internal adalah kunci untuk mendeteksi dan mencegah praktik korupsi sebelum terjadi. Dalam kasus Juliari Batubara, kelemahan dalam pengawasan proses pengadaan barang memungkinkan terjadinya manipulasi oleh pejabat publik. Pengawasan internal yang lemah membuka peluang bagi tindakan korupsi karena tidak adanya kontrol yang ketat terhadap alur dana atau penunjukan vendor.Â
Untuk mencegah hal serupa, perlu ada penguatan sistem audit internal di lembaga pemerintah. Audit ini harus dilakukan secara berkala dan mencakup semua tahapan pengadaan barang dan jasa, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Selain itu, lembaga audit internal harus diberikan independensi yang cukup untuk melaksanakan tugasnya tanpa campur tangan pihak yang berkepentingan. Mengintegrasikan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblower system) juga dapat membantu mengidentifikasi tindakan korupsi lebih dini, dengan memastikan keamanan pelapor agar tidak ada rasa takut untuk melaporkan pelanggaran.
- Transparansi dan Akuntabilitas
Transparansi adalah langkah penting untuk memastikan bahwa proses pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terbuka dan sesuai aturan. Dalam kasus bansos COVID-19, kurangnya transparansi dalam penunjukan vendor memberikan peluang bagi Juliari Batubara untuk menerima suap.
Pemerintah perlu menerapkan sistem transparansi dengan mempublikasikan seluruh proses pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat. Ini mencakup pengumuman tender, kriteria penilaian, dan daftar vendor yang terpilih. Dengan keterbukaan ini, publik dapat ikut memantau proses pengadaan dan melaporkan indikasi penyimpangan. Selain itu, akuntabilitas pejabat publik harus diperkuat. Setiap keputusan yang diambil oleh pejabat harus dapat dipertanggungjawabkan melalui mekanisme formal, seperti pelaporan keuangan atau evaluasi kinerja yang ketat. Dengan demikian, pejabat tidak hanya bertindak sesuai aturan, tetapi juga sadar akan konsekuensi jika melakukan pelanggaran.
- Reformasi Kebijakan Anti-Korupsi
Kebijakan anti-korupsi yang kuat adalah fondasi untuk mencegah tindakan korupsi. Dalam kasus Juliari Batubara, lemahnya sanksi sebelumnya terhadap pelaku korupsi dan kurangnya langkah preventif memberikan kesan bahwa korupsi memiliki risiko yang rendah.Â
Reformasi kebijakan diperlukan untuk menciptakan sistem pencegahan yang komprehensif. Hal ini mencakup pemberian hukuman tegas dan proporsional kepada pelaku korupsi untuk memberikan efek jera. Selain itu, kebijakan harus mengedepankan upaya preventif dengan mewajibkan pejabat publik melaporkan kekayaan secara transparan dan berkala. Kebijakan ini juga perlu mencakup pelatihan integritas untuk semua pegawai pemerintah, sehingga mereka memahami konsekuensi etis dan hukum dari tindakan korupsi.
- Penggunaan Teknologi
Teknologi informasi dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah korupsi dengan meminimalkan interaksi manusia yang rawan penyimpangan. Dalam kasus bansos COVID-19, penggunaan teknologi dapat mencegah manipulasi data atau pengaturan dalam proses pengadaan barang.Â
Salah satu langkah konkret adalah penerapan sistem e-procurement, yang memungkinkan seluruh proses pengadaan dilakukan secara digital dan transparan. Dengan sistem ini, data terkait tender, vendor, dan alur pengadaan dapat diakses oleh publik dan diaudit secara real-time. Selain itu, teknologi seperti big data analytics dapat digunakan untuk memantau dan menganalisis pola pengeluaran pemerintah, sehingga potensi penyimpangan dapat dideteksi lebih awal. Sistem blockchain juga dapat diterapkan untuk menciptakan rekam jejak transaksi yang tidak dapat dimanipulasi, memberikan transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Korupsi di Indonesia adalah permasalahan yang kompleks dan sistemik, melibatkan banyak faktor sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang saling memengaruhi. Teori GONE oleh Jack Bologna yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan) memberikan kerangka analitis yang relevan untuk memahami penyebab utama korupsi di negara ini. Elemen-elemen tersebut tidak hanya menggambarkan motif individu, tetapi juga mengungkapkan kelemahan dalam sistem yang memungkinkan korupsi terus terjadi.
Kasus korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara adalah contoh nyata dari bagaimana elemen-elemen GONE terwujud dalam praktik korupsi. Greed (keserakahan) tampak jelas dari tindakan Juliari yang menyalahgunakan jabatannya untuk menerima suap dalam pengadaan bansos, meskipun ia telah memiliki gaji yang cukup sebagai pejabat negara. Opportunity (kesempatan) muncul dari kelemahan sistem pengawasan dalam proses pengadaan barang dan jasa, di mana transparansi dan akuntabilitas kurang diterapkan. Need (kebutuhan), meskipun tidak sepenuhnya mendesak secara ekonomi, terlihat dalam upaya memenuhi gaya hidup mewah yang melebihi penghasilannya. Sementara itu, Exposure (pengungkapan) yang rendah, akibat lemahnya sistem pelaporan dan penegakan hukum, memungkinkan tindakan korupsi ini terjadi tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum.
Faktor sosial, seperti budaya patronase dan norma yang permisif terhadap korupsi, turut memperkuat ekosistem korupsi di Indonesia. Budaya ini mendorong praktik suap, nepotisme, dan kolusi yang menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan. Di sisi ekonomi, ketimpangan sosial dan tekanan finansial menciptakan situasi di mana individu merasa terdorong untuk mencari keuntungan pribadi melalui cara-cara yang tidak sah. Sementara itu, kelemahan kelembagaan, seperti sistem pengawasan yang tidak efektif, birokrasi yang rumit, dan lemahnya penegakan hukum, memperbesar peluang terjadinya korupsi.