78
5
Kapasitas kontrol anggota partai dan akuntabilitas partai kepada konstituennya
16
70
6
Kemampuan partai untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan
19
75
Sumber: Demos (2005)
Dari enam aspek keterwakilan yang menjadi parameter kualitas H/I demokrasi itu, hanya pada aspek pertama saja yang kualitasnya baik. Sementara kelima aspek keterwakilan lainnya menunjukkan kualitas yang amat buruk. Demikian pula perkembangannya setelah tahun 1999 secara umum menunjukkan bahwa kualitas keterwakilan cenderung memburuk atau sama saja dari perkembangan sebelumnya. Karena itu, masalah keterwakilan bukan hanya tidak memadai tetapi juga benar-benar terterlantarkan.
Berangkat dari keprihatinan akan rendahnya kualitas representasi itu, Demos melakukan beberapa penelitian tematis yang secara spesifik mengkaji kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan kualitas representasi demokratik. Salah satu dari riset topikal yang punya relevansi kuat dengan persoalan representasi dan reformasi kepartaian, yaitu riset Legal Reform. Riset ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah dan peluang yang terdapat dalam Paket UU Politik yang dianggap masih menghalangi proses demokrasi dari bawah (democracy from below) dan/atau mengurangi/membatasi peran dan kapasitas aktor demokrasi untuk melakukan gerakan politik. Di samping itu juga berusaha untuk memfasilitasi upaya advokasi perubahan UU bidang politik yang lebih akomodatif dan mendukung gerakan demokrasi yang bermakna di Indonesia.
Temuan awal studi Legal Reform menunjukkan bahwa masih kuatnya ”sentralisme” dalam organisasi partai. Kultur dan karakter sentralisme ternyata tak hanya ditemukan dalam struktur pemerintahan, namun juga merasuk dalam kultur berorganisasi partai politik. Selama ini, tak dapat dipungkiri peran jajaran pimpinan pusat partai sangat berpengaruh terhadap hitam-putihnya partai, bahkan di tingkat lokal sekalipun. Sentralisme partai ini tercermin dalam keputusan-keputusan partai berkaitan dengan persoalan-persoalan di tingkat daerah, misalnya pencalonan dan pengangkatan pimpinan partai di tingkat daerah. Selain itu, sentralisme ditujukan dengan kuatnya mekanisme untuk menunggu kata akhir dari DPP. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan partai harus keluar dari jajaran pimpinan pusat. Akibatnya, partai dirasakan lamban merespon realitas di tingkat lokal.
Karena itu, meskipun menurut UU Partai Politik No 31/2002, partai politik adalah “organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara RI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkn kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui pemilihan umum”, namun dalam kenyataannya, partai politik yang ada adalah ‘gerombolan manusia yang dikendalikan oleh pusat dalam bentuk relasi patron-klien’. Sudah menjadi gambaran publik bahwa partai politik hanya menjadi alat bagi elit untuk merebut kekuasaan tanpa mempedulikan representasi kepentingan konstituen mereka. Kondisi ini masih terus berlangsung sekalipun telah ada beberapa perubahan pemerintahan.
Yang tampak dari studi ini adalah kuatnya hegemoni partai nasional yang didukung dengan ‘ideologi’ negara kesatuan–integralistik dalam UU kepartaian. Hal ini mempengaruhi batasan pendirian partai politik yang tidak memungkinkan adanya partai politik lokal. Di samping itu UU yang ada cenderung menekankan pengaturan syarat-syarat administratif dibanding substansi. Akibatnya sulit kita dapati partai politik nasional yang secara substansial representatif dan tidak sentralistik. Salah satu contoh persoalan administratif yang menghambat adalah ketentuan mengenai ‘anggota partai’. Ketentuan mengenai Kartu Tanda Anggota (KTA) yang masih dicantumkan dalam draft RUU pemilu legislatif untuk pemilu 2009 dinilai banyak pihak akan mempersulit partai, terutama partai baru, untuk mengikuti pemilu. Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay berpendapat bahwa pencantuman syarat keanggotaan tak tepat. Ia menilai verifikasi pemilu lalu menunjukkan mubazirnya aturan itu. Menurutnya, jumlah KTA tak mencerminkan kualitas sebuah partai. "Warga yang memiliki KTA juga belum teruji apakah betul-betul loyal kepada partainya atau tidak. Dalam bilik suara, siapa yang tahu," katanya.
Persoalan tersebut menjadi kendala tersendiri, terutama bagi kalangan aktor pro-demokrasi yang mencoba masuk ke ranah praksis politik. Kendala legal-formal untuk menjadikan aktor pro-demokrasi semakin politis bermula dari semangat penyederhanaan partai politikdi kalangan legislator yang praktis dikuasai oleh partai-partai besar. Usulan penyederhanaan partai politik memakan porsi terbesar dalam pembahasan undang-undang. Demikian pula dalam pembahasan RUU Partai Politik terbaru pada Maret 2007 yang masih menyiratkan semangat kepentingan partikular dan terkesan sangat prosedural. Karena itu, studi Legal Reform yang dilakukan Demos antara lain merekomendasikan agar pembahasan RUU Partai Politik paling mutakhir ini dapat menyentuh pada persoalan-persoalan yang lebih substantif. Salah satu contoh, misalnya, ‘pengarusutamaan’ (mainstreaming) persoalan perempuan dalam pengembangan partai disamping mendorong perempuan berpartisipasi secara aktif dalam politik formal. Demikian pula pentingnya agenda yang memberi peluang bagi wacana alternatif seperti calon independen, dan spesifikasi pada kebutuhan demokratisasi di tingkat lokal dengan mengakomodasi lahirnya partai alternatif yang lebih menjamin dikendalikannya pengambilan keputusan atas macam-macam urusan publik di tangan rakyat. Dengan begitu, reformasi kepartaian akan menunjukkan elan-vitalnya bagi perbaikan representasi demokratik secara signifikan.***
[1] Simak Laporan Riset Demos,Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia (2003-2005).