3 %
Selain ketiga issu ini sejatinya ada issu penting yang seringkali luput dari perhatian, yaitu mengenai perbaikan kualitas partai dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi dasarnya sebagai agregator dan representator kepentingan publik. Persoalan pokoknya terutama bermuara pada masih rendahnya representasi (lack of representation). Ini bisa dilihat dari rendahnya representasi sektoral kelompok-kelompok marjinal, seperti kelompok petani, buruh, nelayan, maupun kelompok kepentingan lainnya seperti representasi kelompok perempuan. Sementara itu, buruknya representasi juga dapat dilihat dari minimnya wacana kepartaian alternatif seperti diskursus mengenai partai lokal dan calon independen yang masih dilihat sebelah mata. Karena itu, reformasi kepartaian ke depan perlu dilakukan secara signifikan sehingga benar-benar mendukung terciptanya kehidupan demokrasi yang bermakna bagi perbaikan representasi secara substantif.
Perspektif Demos: Dari Elitis Menuju Representasi Popular
Jika demokrasi diandaikan sebagai proses dan alat kontrol masyarakat yang mengikat melalui keputusan kolektif dalam segenap persoalan publik, maka keterwakilan harus menjadi salah satu prasyaratnya. Sejauh mana institusi publik yang ada mampu mengakomodasi harapan dan kepentingan warga secara nyata ? Pemilu merupakan salah satu contoh mekanisme demokrasi yang diyakini dan diharapkan banyak pihak akan menjadi alat untuk mengagregasikan kepentingan warganegara secara damai. Partai politik (Parpol) sebagai institusi demokrasi karenanya menjadi penting sebagai lembaga representatif yang mewakili kepentingan konstituennya. Namun demikian, iklim politik masa Orde Baru menunjukkan kepada kita bahwa peran Parpol telah dikebiri sehingga kehilangan elan vitalnya sebagai lembaga perwakilan yang mengakomodasi kepentingan rakyat.
Situasi itu ternyata masih berlanjut hingga kini. Meskipun iklim reformasi telah melahirkan kebebasan warga untuk membentuk partai baru —dengan penyelenggaraan dan mekanisme Pemilu yang relatif lebih baik dan transparan— tidak serta merta meningkatkan kualitas keterwakilan Parpol secara signifikan. Pemilu 2004 yang diharapkan akan melahirkan legislatif yang lebih baik dan berkualitas ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Elit politik malah sibuk dengan kepentingan pribadi dan kepentingan partainya masing-masing. Pada kenyataannya, Parpol masih melihat rakyat sebagai “supporter” bukan sebagai “voters” yang sesungguhnya. Celakanya lagi, orientasi partai untuk merebut voters tidak dengan memperjuangkan kepentingan-kepentingan vital mereka, tetapi lebih dengan memanipulasi sentimen-sentimen primordial seperti etnisitas dan agama serta penggunaan politik uang.
Dalam praktek kepartaian seperti itu, sulit dijumpai adanya representasi politik dari bawah secara genuin. Dalam istilah Olle Tornquist (2004) hal ini disebut sebagai oligarki elitis dimana masyarakat umum sebagai konstituen politik sejati diposisikan menjadi sebatas kelompok “massa mengambang”.Menurutnya,gagalnya representasi kepentingan rakyat dan ide-ide pokok malalui Parpol merupakan masalah yang urgen. Kalau model keterwakilan genuin seperti itu belum ditemukan, maka yang terjadi bukanlah demokrasi representatif, tetapi delegatif.
Buruknya kualitas keterwakilan (lack of representative) merupakan salah satu temuan penting Riset Nasional Demos mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia (2003-2004). Dalam hubungannya dengan Parpol dan lembaga legislatif, kualitas keterwakilan itu dapat disimak pada tebel berikut:
No
Hak dan Institusi (H/I) Demokrasi
Kualitas H/I Demokrasi (%)
Baik
Buruk
1
Kebebasan membentuk partai, merekrut anggota dan mengkampanyekan calon-calon untuk menduduki kekuasaan pemerintah
74
33