Charles F. Andrain
Legitimate Teory
Traditional Legitimate, Ideologis Legitimate, Personal Legitimate, Prosedural Legitimate, Instruental Legitimate
dalam konteks persoalan agrarian memang menempatkan rakyat sebagai objek yang tuna-kuasa. Dalam ruang politik yang diktator-feodalistik, misalnya, raja sebagai pihak yang berkuasa seringkali mengendalikan rakyat yang dikuasainya lewat kekerasan fisik. Namun begitu, pelanggengan kekuasaan juga dilakukan dengan modal simbolik. Jurgen Habermas salah seorang tokoh teori kritis mengatakan bahwa bahasa merupakan medium dominasi dan kekuasaan. Artinya, kekuasaan beroperasi efektif lewat kegiataan berbahasa, yakni lewat proses komunikasi simbolik. Idiom-idiom simbolik seperti ”manunggaling kawula gusti” merupakan contoh penaklukan rakyat oleh raja. Dalam bahasa lain, Michel Foucault menyebutkan bahwa arena kuasa tidak berakhir pada represi dari struktur politis, pemerintah, kelas sosial yang dominan, melainkan menaruh perhatian pada mekanisme dan strategi kuasa, bagaimana kekuasaan dipraktekkan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran, bahkan menjadi ritual kebenaran yang terus direproduksi.
Konsepsi kekuasaan itu pula yang dapat menjelaskan mengapa “reproduksi” penderitaan rakyat begitu mudah dipindahkan dari tangan raja-raja ke pemerintah kolonial Belanda saat VOC berhasil merebut kedaulatan agrarian dari tangan raja-raja di seantero Nusantara. Tampaknya, pemerintah kolonial Belanda sangat paham psikologi rakyat Indonesia dalam konteks penguasaan tanah. Mitologi ”manunggaling kawula gusti”, “raja tak pernah salah”, dan idiom-idiom simbolik-mitologis kuasa Jawa lainnya yang lebih memposisikan rakyat sebagai abdi telah mendorong langgengnya cengkeraman pemerintah kolonial Belanda hingga ratusan tahun lamanya. Konsolidasi kekuasaan kolonial bahkan dikuatkan lagi dengan dibuatnya ragam aturan (staatsblad) agraria yang ‘komprehensif’. Pada masa kolonial Belanda itulah kita menyaksikan ragam peraturan agraria yang komplit, namun tentu saja semuanya menguntungkan pemerintah kolonial Belanda sebagai pembuat kebijakan tunggal.
Fenomena itu seolah menjustifikasi “model strukturasi” sebagaimana diungkapkan Anthony Giddens. Menurut Giddens, hubungan antara pelaku dan struktur berupa relasi dualitas terjadi pada praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu yang mengarahkan kontinuitas dan transmutasi dari struktur untuk mereproduksi sistem sosial. Dalam konteks ini,Giddens melihat tiga gugus besar struktur, yaitu:
- Signifikansi menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana.
- Struktur dominasi yang menyangkut skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi).
- Struktur legitimasi menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata aturan hukum positif.
Eksposisi konsep strukturasi akan tampak dalam dimensi struktur sosial yang mempertalikan struktur dengan domain teoretik dan implementasinya dalam tata aturan yang terinstitusionalisasi. Secara sederhana, hal ini dapat disimak pada tabel berikut:
Struktur
Domain Teoretik
Aturan Institusi
Signifikansi
Teori interpretasi nilai
Peraturan simbolik
Dominasi