5
24
1
-
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya merupakan negeri agraris yang penting. Namun justru karena itulah Indonesia menjadi menarik untuk dikuasai dan diperebutkan. Kekayaan Indonesia dari hasil pertanian seperti yang termuat dalam tabel tersebut tidak menjadi sumber kekayaan rakyat, karena politik pertanahan dipegang oleh kaum penjajah. Rakyat hanya menjadi alat untuk menghasilkan dari tanah itu. Rakyat terus menderita di atas tanahnya yang subur dan kaya. Rakyat kelaparan di atas timbunan hasil bumi. Rakyat miskin di atas kekayaan alam yang melimpah ruah.
Kehadiran Jepang di Indonesia juga telah menambah malapetaka dan penderitaan rakyat. Obsesi Jepang menjadikan Indonesia sebagai benteng pertahanan menghadapi sekutu memaksa rakyat Indonesia untuk melipatgandakan hasil bumi agar Indonesia–terutama Jawa– menjadi gudang dan sumber perbekalan perang. Untuk itu penanaman bahan makanan digiatkan dengan mengerahkan rakyat secara massif. Rakyat bukan hanya dipaksa menjadi romusha, tapi juga diwajibkan menyerahkan bakti berupa hasil bumi dengan pungutan yang besar.
Riwayat kekejaman culturstelsel terulang kembali saat masa Jepang. Bahkan, tanah-tanah partikelir oleh pemerintah Jepang dimasukkan dalam urusan pemerintah dengan mengadakan Syiichi Kanri Kosha (Kantor Urusan Tanah Partikelir). Uang kumpenian saat itu memang dihapuskan. Seolah-olah tanah partikelir itu semuanya dikuasai oleh pemerintah dan tuan tanah seolah tak berkuasa lagi. Namun ternyata semua itu hanya siasat untuk mengambil hati rakyat. Upaya ini ternyata hanya akal bulus Jepang untuk memudahkan pengumpulan padi bagi keperluan cadangan perang menghadapi sekutu. Kungkungan penjajahan fasis Jepang sebagai pengganti penjajahan Belanda meninggalkan bekas-bekas kehancuran dan kelaparan serta malapetaka yang tiada tara. Namun, di satu sisi, kehadiran Jepang telah memberi inspirasi tersendiri bagi bangsa Indonesia. Belanda yang pada mulanya dianggap rakyat tidak dapat diganggu kedaulatannya, ternyata bisa dikalahkan dengan mudah oleh Jepang. Hal ini telah membuka pikiran dan menimbulkan perasaan harga diri bahwa Belanda bisa dikalahkan dan begitu juga Jepang hingga bangsa Indonesia mampu melucuti Jepang beberapa tahun kemudian.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak serta-merta terselesaikan secara menggembirakan. Kemerdekaan politik itu tidak membawa dampak riil bagi masyarakat dalam mengakses tanah secara adil. Dalam salah satu klausul perjanjian Konferensi Meja Mundar (KMB) Belanda bahkan meminta jaminan atas tanah-tanah perkebunan (onderneming) yang masih dikuasainya sebagai salah satu ”kompensasi” penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Tanah-tanah onderneming itu sebagian telah dinasionalisasi dan diberikan hak penguasaannya kepada perusahaan-perusahaan besar. Sebagian lagi ada yang masih terlantar dan tidak jelas penguasaannya meski telah dikapling-kapling oleh negara, kapital, maupun masyarakat. Karena itulah pasca kemerdekaan Indonesia, tanah-tanah onderneming ini banyak melahirkan persoalan sengketa tanah yang hingga kini belum kunjung jua penyelesaiannya.
Dalam buku ini, Tauchid menilai bahwa urusan tanah merupakan salah satu persoalan urgen yang harus segera diselesaikan pemerintah nasional. Politik agraria warisan kolonial harus segera diubah sehingga kita bisa menyelesaikan berbagai konflik agraria yang ada secara lebih bijaksana. Tauchid menyayangkan bahwa pemerintah hingga kini belum memulai melakukan langkah-langkah yang prinsipil seputar persoalan agraria. Persoalan agraria bahkan masih dilihat sebelah mata. Masalah agraria seringkali hanya dilihat semata-mata hanya persoalan golongan tani yang tidak berarti. Padahal, menurutnya, persoalan agraria harus dilihat sebagai sebuah persoalan bangsa yang fundamental. ”Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan. Siapa menguasai sumber makanan, ia menguasai sumber kehidupan. Soal tanah adalah tiang dan sumber bagi penghidupan,” ujarnya.
Persoalan Agraria dan Epistemologi Kekuasaan
dan Abraham Kaplan (1963) merumuskan kekuasaan sebagai ”kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkat laku pelaku terakhir sesuai dengan keinginan pelaku yang mempunyai kekuasaan”. Sementara Van Doorn (1957) melihat kekuasaan sebagai “kemampuan pelaku untuk menetapkansecara mutlak alternatif-alternatif bertindak atau alternatif-alternatif memilih pelaku lain”.Hal ini menunjukkan bahwa konsepsi kekuasaan memperlihatkan suatu hubungan yang bersifat tidak seimbang, dalam arti bahwa satu pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari pelaku lain.
Dalam konteks masalah agraria, epistemologi kekuasaan tampak nyata bahwa rakyat merupakan objek yang tuna-kuasa, baik di hadapan raja maupun di hadapan pemerintah kolonial Belanda. Potret inilah yang antara lain dilukiskan Tauchid dalam bagian pertama buku ini. Awalnya, semua tanah dikuasai raja, sementara rakyat yang mengerjakan tanah mempunyai kewajiban untuk menyerahkan sebagian besar hasilnya. Rakyat dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan dan kehormatan raja karena segala peraturan dan hukum-hukum juga dikendalikan seluruhnya oleh raja sebagai pemegang kuasa. Proses ’penaklukan’ rakyat oleh raja bisa dijelaskan dari ragam epistemologi kekuasaan.
Max Weber, misalnya melihat otoritas kuasa bersumber dari tiga hal, yaitu: tradisional, kharismatik, danlegal rasional. Sementara Gramsci menitikberatkan pada legitimasi dan dominasi. Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan memang sudah sepatutnya. Secara timbal balik, legitimasi juga merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan mengutip beberapa ahli politik, Haryanto (2005) membuat kategori teoretik kekuasaan sebagai berikut:
Tokoh
Teori
Keterangan
Max Weber
Legitimate Domination
Traditional, Charismatik, dan Legal Rational