Mohon tunggu...
Saroh Jarmin
Saroh Jarmin Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Tinggal di Kab. Lebak, Banten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Bawah Langit Malam Kota Bandung

22 Maret 2018   13:49 Diperbarui: 23 Maret 2018   00:07 2595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sophie Martin-ku menunjukkan pukul 22.40 ketika aku turun dari Vios hitam metaliknya. Setengah berlari aku menduluinya menuju salah satu kafe di Jalan Setiabudi. Mataku liar mencari tempat duduk yang kuanggap nyaman. 

Ruangan berukuran tak lebih dari enam kali lima meter tempat 'nongkrong' remaja Bandung ini tampak tak seramai biasanya. Barangkali karena waktu yang menjelang tengah malam dan hujan yang mengguyur sejak siang tadi membuat tempat ini sepi pengunjung. Alunan lagu-lagu lawas berbahasa Inggris menambah suasana kafe kian hening.

Di sebuah sudut, aku menunggu Rizal yang masih merapikan diri di mobilnya dan melepas beberapa asesoris dari bajunya. Seorang pelayan laki-laki menghampiri dan memberikan daftar menu kepadaku. Setelah aku mengucapkan terima kasih, pelayan itu pun berlalu. Tak lama Rizal datang. Tanpa bicara ia lalu duduk di sampingku, sambil meletakkan handphone-nya dan kunci mobilnya.

Aku memandanginya. Ia tampak merogoh saku bajunya. Keluarlah sebungkus rokok yang sudah tak lengkap isinya dan lighter perak bergambar Menara Petronas. Di bawah temaram lampu kafe, aroma parfumnya semakin tercium syahdu. Rupanya ia tak berubah. Tetaplah seorang penggemar parfum bermerek. Bahkan sepertinya ia semakin menggila dengan parfum-parfumnya. Tapi justru itulah salah satu alasan mengapa ia begitu membiusku.

"Tidak menyangka ya, kita bisa bertemu lagi. Kamu baik-baik saja kan, Win?" tanyanya berbasa-basi sambil mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.

"Iya." Singkat saja sambil kuanggukkan kepala. Jujur, aku tak terlalu berselera untuk banyak bicara dengannya. Aku hanya ingin menuntaskan kerinduanku dengan memandanginya. 

Sembilan tahun tak bertemu telah membuat rinduku membatu. Bahkan mungkin  turut membuat air mataku mengering. Bagaimana tidak, menyimpan rindu yang teramat lama membuat dadaku sesak. Rindu benar-benar telah memenjarakanku. Tak bisa berbuat apapun, selain membiarkan air mataku menggelegak. Buatku, air mata itulah bahasa paling universal dalam menerjemahkan kepiluan hati.

"Kamu tidak berubah, Win." lanjut Rizal. Kali ini sambil melambaikan tangan kepada seorang pelayan. Aku hanya tersenyum. Mungkin benar Wina yang ia lihat malam ini tidak berubah. Aku pun merasa begitu, tetap menjadi Wina yang seperti ia kenal, kecuali usiaku yang bertambah dewasa. Badanku masih kecil, kulitku tidak pernah bisa putih, dan wajahku selalu dihiasi dengan satu dua jerawat.

"Pesan apa?" liriknya padaku, setelah pelayan berdiri di depan meja kami.

"Cappuccino panas saja." jawabku.

"Ok. Cappuccino panas dua, A." katanya kepada pelayan yang diikuti oleh anggukan pelayan dan dihiasi senyuman manis.

"Berapa lama kita tidak bertemu? Delapan atau sembilan tahun ya?" aku mengangguk.

"Lama juga ya?" tanyanya lagi retoris. Dan kamu pasti tahu bahwa sembilan tahun itu sangat menyiksaku bahkan nyaris membuatku gila, batinku.

"Keluarga sehat?" tanyaku berbalik.

"Sehat. Alhamdulillah." jawabnya dengan logat Garut-nya yang kental.

"Syukurlah." ucapku.

Hening. Sesaat kami pun terdiam. Langkah kaki sang pelayan yang mengantar pesanan kami dan sayup-sayup lagu Tears in Heaven-nya Eric Clapton yang terdengar lewat pengeras suara di kafe ini menyempurnakan keheningan kami.

Sejenak kulirik ia yang duduk di sebelah kiriku. Ada perih yang tertahan. Betapa waktu telah mengubah semuanya. Menenggelamkan harap dan berjuta mimpi yang pernah kureka. Pada akhirnya, harus kusadari, Rizal memang tak ditakdirkan Tuhan untuk dapat utuh kumiliki. Jarak dan terbatasnya sarana komunikasi menjadi alasan klise terputusnya jalinan kebersamaan kami. Tapi mungkin seperti itulah jalan Tuhan. Aku yang lebih dulu meninggalkan kampus dipaksa juga untuk kehilangannya. 

Rizal yang aktif berorganisasi membuatnya lebih lama 'hidup' di kampus. Empat tahun setelah aku lulus, barulah Rizal benar-benar meninggalkan kampus. Ia memperoleh tiga gelar sekaligus: S.Pd, M.A. Sarjana Pendidikan dan Mahasiswa Abadi. Meskipun begitu, justru gelar M.A-nya lah yang membuatnya seperti sekarang. 

Pengalamannya dalam berorganisasi di kampus membawa Rizal pada karier politik, yang sampai hari ini bisa dikatakan cemerlang. Di usianya yang baru menginjak 34 tahun, ia telah dikenal sebagai pengusaha muda dan seorang pejabat karena pekerjaannya sebagai wiraswasta sukses dan salah satu anggota legislatif di provinsi ini. 

Malam ini pun kulihat Rizal yang jauh lebih dewasa. Badannya tampak lebih gemuk dan berisi. Lebih tepatnya, ia tampak lebih mapan. Tapi semoga bukan alasan itu yang membuatku tak bisa menghapus segala kenangan tentangnya dari benakku.

"Diminum atuh! Nanti keburu dingin." seloroh Rizal. Sejenak membuat mataku berkedip. Kuambil gelas Cappuccino di depanku dan segera menyeruputnya. Lumayan juga ternyata. Cappuccino panas yang mulai hangat ini sedikit melepaskan hawa dingin Bandung yang kurasakan.

"Sudah puas?" tanyanya tak kumengerti.

"Apanya?" kukerutkan dahi dan memicingkan mata. Sengaja kutunjukkan ketidakmengertianku.

"Memandangiku." jawabnya sambil tersenyum narsis. Tapi harus kuakui, kali ini aku dibuatnya malu. Inilah yang tak bisa disembunyikan. Bagaimana pun ia masih sebagai malaikat hati yang menghuni ruang nuraniku yang terdalam.

"Hmmm..." desahnya, tak kupahami. Sedikit kumajukan badanku ke meja dan membiarkan tanganku menopang dagu. Lekat kutatap lagi Rizal yang sedang menghirup Cappuccino dan kemudian menghisap rokoknya yang sudah terbakar sepotong.

"Kalau ditanya apa keinginanku saat ini," ia terhenti sesaat. Setengah berbalik ke arahku dan menyimpan rokoknya di asbak, ia menatapku. Tajam sekali. Aku balas menatapnya. Kudengar ia menghela napas, dan setengah berbisik ia melanjutkan kalimatnya.

"Aku ingin mengulang untuk melamarmu kembali seperti sembilan tahun silam." katanya. Ia masih menatapku. Aku hanya terdiam, lekat dan tajam membalas tatapannya. 

Tiba-tiba buliran bening menderas di pipiku. Kata-kata Rizal membuatku tak mampu berkata apa-apa. Andai ia tahu. Itulah juga yang ingin kulakukan sekarang. Memutar waktu, mengembalikannya pada sembilan tahun yang lalu. Saat kata-kata lamaran tidak resmi Rizal terdengar lebih indah daripada alunan musik Beethoven.

Ada penyesalan yang membuatku merasakan nyeri di ulu hati. Mengapa waktu itu aku tak kembali lagi ke Bandung? Mengapa aku mengingkari janjiku pada Rizal? Sebuah pilihan sulit harus kuhadapi saat itu. Sangat dilematis. Satu sisi aku sangat ingin menepati janjiku kepada Rizal untuk kembali ke kota impian ini. Tapi kepulanganku ke rumah setelah selesai kuliah, yang kuniatkan hanya akan tinggal beberapa hari, telah memaksaku menghapus mimpi-mimpiku tentang Bandung dan Rizal.

Orang tuaku tak mengizinkan aku kembali ke Bandung. Sampai akhirnya, sambil terus berharap Rizal selalu menempatkanku di ruang terindah di hatinya, aku tak kembali ke Bandung. Aku menjalani hari-hariku bersama gemuruh semangat dan langkah-langkah kecil pengabdianku di dunia pendidikan. Minggu berlalu, bulan berganti. 

Keterbatasan waktu dan sarana komunikasi di kampungku waktu itu membuatku perlahan menepikan Rizal. Bukan karena tak lagi mencintainya, tapi jarak Bandung dan tempat tinggalku serta guliran waktu membuatku fesimis untuk bisa kembali bersamanya. Meski tak henti membawanya dalam setiap doaku, getar yang kurasakan pun kian berjarak. Terlalu banyak cemburu yang tak terungkapkan. Terlalu banyak rindu yang tak terkatakan. Rizal pun kubiarkan terus menepi dan kupaksa diriku untuk belajar memahami realita.

Dan di sinilah kami kini. Di bawah langit malam Kota Bandung, kami bertemu kembali setelah segalanya berubah. Yang kuhadapi kini adalah sebuah kemustahilan untuk bisa mereguk kemesraan jiwa bersama Rizal. Lima tahun yang lalu, ia menikah dengan seorang perempuan yang biasa kusebut teteh. Mereka bahagia. Dan semakin bahagia dengan kehadiran Rafly, putranya yang kini berusia empat tahun. Pada batas ini, sungguh aku tak beda dengan seekor pungguk yang merindukan bulan.

"Jangan menangis. Suka ikut sedih." katanya sambil memberiku selembar tisu. Aku hanya diam. Tak ada lagi kata yang bisa kuungkapkan. Kubiarkan ia memahami semuanya lewat airmataku.

"Kapan ke Bandung lagi?' tanyanya memecah kebisuan kami.

"Belum tahu." jawabku.

"Tesismu hampir selesai ya?"

"Tidak juga. Masih banyak yang harus diperbaiki. Mohon doanya saja agar aku bisa cepat menyelesaikannya."

"Iya. Mudah-mudahan." tipis senyumnya.

Satu jam berlalu. Minumanku masih lebih dari setengah. Tiba-tiba aku tidak berselera untuk menghabiskannya. Aku hanya ingin berlama-lama dengan Rizal. Bagiku, Rizal dan Bandung bagaikan magnet yang terus-menerus menarikku. Rizal dan Bandung selalu membuatku berada di dua bayangan. 

Mimpi dan keajaiban. Itulah juga yang menjadi alasan mengapa aku lebih memilih Bandung dan kampus lamaku sebagai tempatku melanjutkan studi. Rizal dan Bandung terlalu sempurna untuk kulukis hanya dengan pensil jiwaku. Rizal adalah mimpi yang tertunda. Sedangkan Bandung kuharapkan menjadi cara Tuhan untuk menuntunku pada keajaiban agar bisa mengembalikan segala kenangan indahku dengan Rizal.

"Win," sapanya.

"Iya."

"Aku minta maaf atas segalanya."

"Atas apa?" tanyaku.

"Atas ketidakmampuanku memilikimu." ucapnya lirih.

"Tidak ada yang salah, Kang. Tuhan lebih dari tahu apa yang sepantasnya terjadi pada kita. Aku hanya menyesal telah mencintaimu. Ternyata benar apa kata orang, tidak ada kepedihan yang lebih pilu daripada cinta yang tak dapat memiliki." kataku, menuntaskan segala resah dengan seulas senyum yang kupaksakan.

"Tapi, satu hal, Kang. Tidak ada yang lebih indah selain menyimpan cinta ini." lanjutku sambil meletakkan telapak tangan kananku di dada. Aku mencoba tersenyum. Mungkin pahit. Tapi hanya itulah ungkapan yang ingin kubagi dengannya. Rizal masih terdiam. Barangkali ia tengah menginsyafi kata-kataku atau terkejut karena tak pernah sebelumnya aku bicara selugas ini.

"Terima kasih, Win. Semoga ada cinta lain yang lebih layak untuk bisa kau simpan. Aku terlalu pengecut untuk mendapatkan itu."

"Sudahlah. Kita pulang, yuk! Tolong antarkan aku kembali ke penginapan."

"Iya."

Setelah Rizal membayar billing pesanan kami di kasir, kami pun meninggalkan kafe. Suara merdu Whitney Houston dalam alunan I Will Always Love You menjadi musik penutup kisah kami malam ini. Berharap ada malam-malam lain yang akan kami ukir menjadi kisah yang lebih indah. Di luar, gerimis masih turun. Vios yang kami tumpangi melaju dalam bisu di sepanjang jalan Setiabudi yang tampak lengang. Langit malam Kota Bandung semakin pekat.

Saroh Jarmin 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun