"Atas apa?" tanyaku.
"Atas ketidakmampuanku memilikimu." ucapnya lirih.
"Tidak ada yang salah, Kang. Tuhan lebih dari tahu apa yang sepantasnya terjadi pada kita. Aku hanya menyesal telah mencintaimu. Ternyata benar apa kata orang, tidak ada kepedihan yang lebih pilu daripada cinta yang tak dapat memiliki." kataku, menuntaskan segala resah dengan seulas senyum yang kupaksakan.
"Tapi, satu hal, Kang. Tidak ada yang lebih indah selain menyimpan cinta ini." lanjutku sambil meletakkan telapak tangan kananku di dada. Aku mencoba tersenyum. Mungkin pahit. Tapi hanya itulah ungkapan yang ingin kubagi dengannya. Rizal masih terdiam. Barangkali ia tengah menginsyafi kata-kataku atau terkejut karena tak pernah sebelumnya aku bicara selugas ini.
"Terima kasih, Win. Semoga ada cinta lain yang lebih layak untuk bisa kau simpan. Aku terlalu pengecut untuk mendapatkan itu."
"Sudahlah. Kita pulang, yuk! Tolong antarkan aku kembali ke penginapan."
"Iya."
Setelah Rizal membayar billing pesanan kami di kasir, kami pun meninggalkan kafe. Suara merdu Whitney Houston dalam alunan I Will Always Love You menjadi musik penutup kisah kami malam ini. Berharap ada malam-malam lain yang akan kami ukir menjadi kisah yang lebih indah. Di luar, gerimis masih turun. Vios yang kami tumpangi melaju dalam bisu di sepanjang jalan Setiabudi yang tampak lengang. Langit malam Kota Bandung semakin pekat.
Saroh Jarmin 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H