"Jangan menangis. Suka ikut sedih." katanya sambil memberiku selembar tisu. Aku hanya diam. Tak ada lagi kata yang bisa kuungkapkan. Kubiarkan ia memahami semuanya lewat airmataku.
"Kapan ke Bandung lagi?' tanyanya memecah kebisuan kami.
"Belum tahu." jawabku.
"Tesismu hampir selesai ya?"
"Tidak juga. Masih banyak yang harus diperbaiki. Mohon doanya saja agar aku bisa cepat menyelesaikannya."
"Iya. Mudah-mudahan." tipis senyumnya.
Satu jam berlalu. Minumanku masih lebih dari setengah. Tiba-tiba aku tidak berselera untuk menghabiskannya. Aku hanya ingin berlama-lama dengan Rizal. Bagiku, Rizal dan Bandung bagaikan magnet yang terus-menerus menarikku. Rizal dan Bandung selalu membuatku berada di dua bayangan.Â
Mimpi dan keajaiban. Itulah juga yang menjadi alasan mengapa aku lebih memilih Bandung dan kampus lamaku sebagai tempatku melanjutkan studi. Rizal dan Bandung terlalu sempurna untuk kulukis hanya dengan pensil jiwaku. Rizal adalah mimpi yang tertunda. Sedangkan Bandung kuharapkan menjadi cara Tuhan untuk menuntunku pada keajaiban agar bisa mengembalikan segala kenangan indahku dengan Rizal.
"Win," sapanya.
"Iya."
"Aku minta maaf atas segalanya."