Kerja keras Bapak sebagai kuli di penambangan emas merupakan bukti cintanya yang tulus kepada kami. Bapak lah segalanya bagi kehidupan kami. Bahkan sampai menjelang akhir hayatnya, Bapak hanya memikirkan kami. Orang-orang kantor PT Tambang Emas Cisoka yang turut mengantar jenazah Bapak menyerahkan bungkusan plastik kecil yang berisi uang. Plastik itu, kata mereka, berada di genggaman tangan Bapak. Meskipun aku tahu itu uang Bapak, tapi aku tak mau menyentuhnya. Aku hanya ingin melihat uang itu diberikan Bapak kepada Ibu seperti pada kepulangan Bapak sebelum-sebelumnya.
Malam ini, beberapa saudara dari Bapak dan Ibu menginap di rumahku. Ada yang terus mendampingi Ibu yang masih shock. Ada yang membantu mengurus dan menemani adik-adikku. Ada juga yang terus mengaji. Mereka mencoba menghangatkan rumah panggung kami yang tengah berduka dan memberikan ketenangan untuk jiwa kami yang terluka karena telah kehilangan Bapak. Mereka juga mengingatkan kami agar bersabar dan tabah dengan kehendak Tuhan yang sudah digariskan kepada kami.
Hari ini waktu seperti berlari. Segalanya begitu cepat terjadi. Dari balik pintu rumahku, aku menatap langit kelam malam ini di antara suara tahlilan yang terdengar sangat menyayat di hatiku. Seperti tangisku, barangkali tangis Ibu juga tidak akan pernah usai. Sementara kedua adikku sudah lebih dulu terlelap. Aku kembali mendekap kerudung baruku yang basah. Besok, aku akan mengembalikannya kepada Bu Nurlela karena kali ini Bapak pulang tidak membawa uang.
 ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H