Mohon tunggu...
Saroh Jarmin
Saroh Jarmin Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Tinggal di Kab. Lebak, Banten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Duka Kerudung Baru

21 Maret 2018   12:48 Diperbarui: 21 Maret 2018   13:02 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana bisa, Mang? Kalian kan selalu bersama-sama."

"Aku tidak tahu kalau Sodik nekad kembali masuk ke lubang karena katanya uang yang ia simpan di plastik tertinggal, padahal kami sudah bersiap-siap untuk pulang karena kantor memberi kami libur selama seminggu."

"Tapi mengapa Kang Sodik sampai meninggal?" tanya Ibu dengan suara tersendat-sendat.

"Tiba-tiba hujan deras sekali, Mar. Hanya dalam beberapa menit saja tanah di gunung itu longsor. Lubang tempat penggalian emas kami pun tertimpa longsoran itu. Aku sudah berusaha memanggil-manggil suamimu agar segera keluar, tapi ia tak menyahut."

"Jadi?" suara Ibu semakin gemetar.

"Suamimu seorang diri di dalam lubang itu dan tertimpa longsor. Mayatnya sudah ditemukan. Tadi kami sudah mencoba menggalinya dan alhamdulillah berhasil. Rupanya ia sudah hampir sampai ke pintu masuk ketika longsor itu datang. Aku benar-benar minta maaf, Mar."

Penjelasan Mang Hasan sudah cukup membuatku berkesimpulan bahwa sebagai seorang gurandil Bapak sudah sampai pada titik akhir. Itulah risiko dari pekerjaannya selama ini. Mang Hasan menatap kami bergantian. Dari matanya aku tahu ia sangat iba kepada kami. Ibu masih menangis ketika azan magrib terdengar dari mushola yang berada di seberang rumahku. Sanak famili dari Bapak dan Ibu yang telah mendengar kabar tentang Bapak mulai berdatangan ke rumah.

"Ya Allah, mengapa cobaan ini Kau berikan kepadaku?" suara Ibu mendesis dan penuh sesak. Tangis kami semakin keras. Orang-orang yang datang ke rumah mengerumuni kami. Mereka tampak ikut bersedih dan meneteskan air mata. Tatapan iba mereka terasa seperti sembilu yang menusuk di ulu hatiku.

"Mar, aku pamit dulu. Orang-orang kantor telah menyiapkan kepulangan jenazah suamimu. Kurang dari dua jam jenazah suamimu akan tiba. Aku akan membersihkan badanku dan membantu mengurus kedatangan jenazah suamimu. Sabar ya, Mar." Mang Hasan berpamitan sambil menepuk bahu Ibu. Aku dan adikku masih menangis ketika tiba-tiba Ibu jatuh pingsan.

Akhirnya, Bapak memang pulang hari ini. Benar-benar pulang ke rumah kami. Aku menatap Bapak untuk terakhir kalinya sekejap saja setelah jenazah Bapak dibersihkan dan dimandikan. Malam ini juga Bapak dikebumikan. Para saudara, tetangga, teman-teman Bapak, dan orang-orang kantor dengan sigap membantu mengurus jenazah Bapak.

Ustadz Hamdan, imam dan guru mengaji di mushola, memimpin pengurusan jenazah Bapak, mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan. Air mataku terus saja mengalir. Para tetangga dan saudara banyak yang berusaha membesarkan dan menghibur kami. Tapi apapun itu, mereka tidak pernah tahu bahwa Bapak adalah kebahagiaan di rumah kami yang tidak akan tergantikan. Kasih sayang Bapak sangat kami rasakan meskipun Bapak tidak memanjakan kami dengan limpahan uang dan harta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun