Mohon tunggu...
Saroh Jarmin
Saroh Jarmin Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Tinggal di Kab. Lebak, Banten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Duka Kerudung Baru

21 Maret 2018   12:48 Diperbarui: 21 Maret 2018   13:02 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: dream.co.id)

Berjuta tetes mutiara langit baru saja usai. Senja tak lagi muram. Gemuruh air yang nyaris tak tertampung sungai di belakang rumahku jelas terdengar. Pelangi memendar elok, melengkung penuh senyum. Aku bernapas lega, setelah hampir lima jam tadi berada dalam suasana cemas karena hujan dan petir yang mengguyur dan membahana di kampung kami. Aku membuka kembali jendela. Kali ini lebih lebar. Berharap angin senja masuk ke rumah panggung kami dan memberikan kesejukan ke dalam hati kami yang sedari tadi tegang karena didera ketakutan selama hujan turun. Terdengar suara derit kecil dari jendela rumah kami yang disapa angin.

Aku masih berdiri di depan jendela sambil mendekap kerudung baruku yang tadi siang diberikan oleh Bu Nurlela, wali kelasku di SMP, sambil mengingatkanku bahwa kerudung itu harus dibayar paling lambat lusa. Sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih, aku langsung mengiyakan. Rupanya Bu Nurlela berbaik hati mengambilkannya dari koperasi karena di kelasku hanya aku yang belum memakai kerudung itu.

Aku menoleh kepada Ibu yang masih terbaring bersama adikku yang paling kecil dengan beralaskan tikar. Sejak hujan tadi kami berkumpul di ruang tengah rumah mungil kami ini yang juga berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang makan. Melihat mata Ibu yang tampak memaksakan terpejam, aku tahu ada gelisah dan cemas yang memburu di dadanya. Lagi-lagi aku menarik napas. Semoga saja tidak ada yang perlu kami khawatirkan kali ini, harapku.

Adikku yang pertama, yang kini duduk di kelas III SD masih saja sIbuk dengan mobil-mobilan dari bambunya. Selama hujan tadi, ia asyik menyelesaikan mainannya itu. Pisau, sampah bekas serutan bambu, potongan-potongan kecil kayu, dan tali rafia berserakan. Barangkali besok ia harus bisa memamerkan hasil karyanya itu kepada teman-temannya di sekolah. Aku kembali menatap kerudung baruku. Kerudung beregoh putih polos dengan motif pita biru di seluruh sisi bagian bawahnya ini sangat kudambakan.

Dari sebulan yang lalu teman-teman sudah memakainya. Sementara aku belum mampu membelinya karena Bapak belum juga pulang. Meskipun tidak diwajibkan oleh sekolah, tapi karena kerudung itu tersedia di koperasi, aku sangat ingin memakainya. Hampir tiap hari aku menyampaikan keinginan itu kepada Ibu. Ibu selalu membesarkan hatiku bahwa aku pasti bisa memiliki dan memakainya. Tapi aku harus bersabar menunggu sampai Bapak pulang.

Biasanya Bapak akan pulang dengan sejumlah uang di saku celananya yang berlepotan lumpur. Disambut Ibu yang tampak senang, Bapak akan segera memberikan semua uang itu kepada Ibu. Besoknya, Ibu akan sibuk membelanjakan uang itu dengan kebutuhan makan kami. Beras, minyak sayur, gula, garam, kecap, aneka bumbu dapur, dan sebagainya yang menjadi kebutuhan wajib dibeli Ibu sebagai stok kebutuhan selama Bapak tidak ada.

Ibu juga akan membayar utang-utangnya kepada tetangga dan warung tempat kami jajan dan belanja Ibu ketika persediaan uang dari Bapak sudah menipis. Dan yang pasti, jika uang yang dibawa Bapak berlebih, Ibu akan mengajakku dan kedua adikku pergi ke pasar untuk membeli keperluan sekolah kami. Tak hanya itu, kami juga akan makan enak selama Bapak ada di rumah dua atau tiga hari. Dan hari ini adalah hari yang menjadi rencana kepulangan Bapak.

Biasanya Bapak akan sampai di rumah menjelang magrib. Bapak akan pulang setelah selesai bekerja pada jam empat. Dengan menempuh waktu perjalanan sekitar dua jam, seperti teman-temannya, Bapak juga akan menyarter ojek motor trial sampai rumah karena hanya kendaraan itu yang bisa melewati medan tempat kerja Bapak yang berbatu dan curam.  Ah, rasanya sangat menyenangkan.

Sambil meletakkan kerudung baruku di dada, aku tersenyum membayangkan semuanya. Kepulangan Bapak selalu membawa kebahagiaan dan membangunkan harapanku dari sekadar mimpi. Persis seperti pelangi di senja ini yang bercahaya indah di langit nan terang. Tidak perlu menunggu lusa. Besok aku akan membayar kerudung ini kepada Bu Nurlela, batinku. Lagi-lagi aku tersenyum.

Menjelang magrib, tiba-tiba kampungku seakan gempar. Hilir mudik motor membuat kampungku ramai dengan suara kendaraan itu. Suara-suara samar yang menginformasikan bencana longsor semakin membuat suasana kampung menjadi hingar bingar. Ibu bangkit dari tikar dan menyelimuti adikku dengan kain sarung. Ia menghampiriku yang masih berdiri di jendela. Ibu tampak terkejut melihat hilir mudik motor trial yang kotor dengan lumpur.

Adikku yang sudah selesai dengan mobil-mobilan bambunya pun terusik dan kemudian menghampiri kami. Kami saling pandang. Benak kami dipenuhi pertanyaan melihat keadaan ini. Tak lama kemudian, Mang Hasan, teman bekerja Bapak, datang tergopoh-gopoh menuju rumah kami.

"Marni, Sumarni!" Mang Hasan memanggil-manggil nama Ibuku. Bajunya basah dan penuh lumpur. Matanya pun sayu.

"Sumarni!" sekali lagi ia memanggil Ibuku.

"Sumarni! Cepat keluar!" teriak Mang Hasan.

"Iya, Mang. Ada apa?" Ibu segera keluar dari rumah dan menghampiri Mang Hasan yang tersengal-sengal.

"Sodik, Mar!" jawab Mang Hasan dengan napas yang turun naik.

"Kenapa Kang Sodik, Mang?" tanya Ibu.

"Sodik, Mar. Mati." jawaban yang sepertinya tidak direncanakan oleh Mang Hasan. Ia tampak terkejut dengan apa yang baru saja dikatakannya kepada Ibu. Aku dan adikku yang masih berdiri di depan jendela sontak kaget mendengar kabar itu. Kami pun keluar mendekati Ibu yang terduduk lemas di amben depan rumah kami.

"Siapa yang mati, Mang?" tanya Ibu dengan suara lemas disertai butiran bening yang mulai jatuh di pipinya.

"Maaf, Mar. Maksudku Sodik, suamimu, meninggal." jawab Mang Hasan sambil menunduk. Ibu terdiam. Air matanya tampak menderas. Aku dan adikku memeluk Ibu dari belakang. Kami pun menangis.

"Apa kabar itu tidak salah, Mang?" tanya Ibu bermaksud meyakinkan sambil terisak.

"Tidak, Mar. Aku minta maaf tidak bisa menyelamatkannya." Suara Mang Hasan penuh penyesalan.

"Bagaimana bisa, Mang? Kalian kan selalu bersama-sama."

"Aku tidak tahu kalau Sodik nekad kembali masuk ke lubang karena katanya uang yang ia simpan di plastik tertinggal, padahal kami sudah bersiap-siap untuk pulang karena kantor memberi kami libur selama seminggu."

"Tapi mengapa Kang Sodik sampai meninggal?" tanya Ibu dengan suara tersendat-sendat.

"Tiba-tiba hujan deras sekali, Mar. Hanya dalam beberapa menit saja tanah di gunung itu longsor. Lubang tempat penggalian emas kami pun tertimpa longsoran itu. Aku sudah berusaha memanggil-manggil suamimu agar segera keluar, tapi ia tak menyahut."

"Jadi?" suara Ibu semakin gemetar.

"Suamimu seorang diri di dalam lubang itu dan tertimpa longsor. Mayatnya sudah ditemukan. Tadi kami sudah mencoba menggalinya dan alhamdulillah berhasil. Rupanya ia sudah hampir sampai ke pintu masuk ketika longsor itu datang. Aku benar-benar minta maaf, Mar."

Penjelasan Mang Hasan sudah cukup membuatku berkesimpulan bahwa sebagai seorang gurandil Bapak sudah sampai pada titik akhir. Itulah risiko dari pekerjaannya selama ini. Mang Hasan menatap kami bergantian. Dari matanya aku tahu ia sangat iba kepada kami. Ibu masih menangis ketika azan magrib terdengar dari mushola yang berada di seberang rumahku. Sanak famili dari Bapak dan Ibu yang telah mendengar kabar tentang Bapak mulai berdatangan ke rumah.

"Ya Allah, mengapa cobaan ini Kau berikan kepadaku?" suara Ibu mendesis dan penuh sesak. Tangis kami semakin keras. Orang-orang yang datang ke rumah mengerumuni kami. Mereka tampak ikut bersedih dan meneteskan air mata. Tatapan iba mereka terasa seperti sembilu yang menusuk di ulu hatiku.

"Mar, aku pamit dulu. Orang-orang kantor telah menyiapkan kepulangan jenazah suamimu. Kurang dari dua jam jenazah suamimu akan tiba. Aku akan membersihkan badanku dan membantu mengurus kedatangan jenazah suamimu. Sabar ya, Mar." Mang Hasan berpamitan sambil menepuk bahu Ibu. Aku dan adikku masih menangis ketika tiba-tiba Ibu jatuh pingsan.

Akhirnya, Bapak memang pulang hari ini. Benar-benar pulang ke rumah kami. Aku menatap Bapak untuk terakhir kalinya sekejap saja setelah jenazah Bapak dibersihkan dan dimandikan. Malam ini juga Bapak dikebumikan. Para saudara, tetangga, teman-teman Bapak, dan orang-orang kantor dengan sigap membantu mengurus jenazah Bapak.

Ustadz Hamdan, imam dan guru mengaji di mushola, memimpin pengurusan jenazah Bapak, mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan. Air mataku terus saja mengalir. Para tetangga dan saudara banyak yang berusaha membesarkan dan menghibur kami. Tapi apapun itu, mereka tidak pernah tahu bahwa Bapak adalah kebahagiaan di rumah kami yang tidak akan tergantikan. Kasih sayang Bapak sangat kami rasakan meskipun Bapak tidak memanjakan kami dengan limpahan uang dan harta. 

Kerja keras Bapak sebagai kuli di penambangan emas merupakan bukti cintanya yang tulus kepada kami. Bapak lah segalanya bagi kehidupan kami. Bahkan sampai menjelang akhir hayatnya, Bapak hanya memikirkan kami. Orang-orang kantor PT Tambang Emas Cisoka yang turut mengantar jenazah Bapak menyerahkan bungkusan plastik kecil yang berisi uang. Plastik itu, kata mereka, berada di genggaman tangan Bapak. Meskipun aku tahu itu uang Bapak, tapi aku tak mau menyentuhnya. Aku hanya ingin melihat uang itu diberikan Bapak kepada Ibu seperti pada kepulangan Bapak sebelum-sebelumnya.

Malam ini, beberapa saudara dari Bapak dan Ibu menginap di rumahku. Ada yang terus mendampingi Ibu yang masih shock. Ada yang membantu mengurus dan menemani adik-adikku. Ada juga yang terus mengaji. Mereka mencoba menghangatkan rumah panggung kami yang tengah berduka dan memberikan ketenangan untuk jiwa kami yang terluka karena telah kehilangan Bapak. Mereka juga mengingatkan kami agar bersabar dan tabah dengan kehendak Tuhan yang sudah digariskan kepada kami.

Hari ini waktu seperti berlari. Segalanya begitu cepat terjadi. Dari balik pintu rumahku, aku menatap langit kelam malam ini di antara suara tahlilan yang terdengar sangat menyayat di hatiku. Seperti tangisku, barangkali tangis Ibu juga tidak akan pernah usai. Sementara kedua adikku sudah lebih dulu terlelap. Aku kembali mendekap kerudung baruku yang basah. Besok, aku akan mengembalikannya kepada Bu Nurlela karena kali ini Bapak pulang tidak membawa uang.

 ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun