Perkembangan teknologi informasi lintas jarak, ruang dan waktu, membuat siapa saja dapat melihat dunia dan apa yang terjadi, siapa, kapan dan di mana saja. Begitu bangun tidur kita sudah dapat mengetahui informasi di penjuru dunia hanya dengan memegang benda kecil bernama handphone.
Kehidupan kita saat ini juga terkoneksi dalam dua peradaban, yaitu peradaban nyata dan peradaban maya, di mana kedua peradaban tersebut saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan terkadang absurd, sedang membentuk equilibriumnya.
Equilibrium atau keseimbangan antara peradaban fisik/nyata dengan peradaban maya juga merupakan tantangan kita semua, termasuk dunia pendidikan . Karena kita sekarang memasuki era industry 4.0. Tetapi bagaimana kita tetap dapat maju pesat di industri khususnya teknologi informasi tanpa meninggalkan nilai-nilai humanisme ?
Tetap menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan norma keagungan dari kultur bangsa kita, serta tanpa menghilangkan kebanggaan terhadap budaya kearifan local kita ?
Karena tentu dengan adanya teknologi informasi yang merupakan media kita dapat melihat budaya dari manapun, termasuk dari sisi positif dan negatifnya. Sehingga apabila kita tidak mempunyai filter yang kuat maka kita akan adopsi kultur/budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agung bangsa kita.
Teori humanistik adalah teori belajar yang memanusiakan manusia. Pembelajaran dipusatkan pada pribadi seseorang. Teori ini tidak lepas dari pendidikan yang berfokus pada bagaimana menghasilkan sesuatu yang efektif, bagaimana belajar yang bisa meningkatkan kreativitas dan memanfaatkan potensi yang ada pada seseorang.
Konvergensi media yang merupakan penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan kedalam satu titik tujuan, terkadang menimbulkan efek negative di kalangan remaja yang mana mereka adalah pelajar /siswa. Konvergensi jaringan yang merupakan koneksistensi efisien telepon, video dan komunikasi data dalam satu jaringan juga terdapat plus minusnya.
Video yang tidak berisi edukasi dan bahkan cenderung vulgar juga dapat mudah dijumpai di media. Teknologi Informasi memang seperti dua sisi mata uang, mau digunakan yang baik maka dapat memperluas wawasan dan informasi, tetapi apabila kita tidak punya filter yang baik, maka potensi efek negative juga tak terbendung.
Lalu bagaimana menyerap teknologi yang memaksimalkan aspek kemanusiaan secara keseluruhan? Dari buku Menjemput Masa Depan Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global karangan Dimitri Mahayana, aspek kemanusiaan dengan memasukkan unsur empati, emosi, etika, estetika, religi dalam variabel utility dalam teknologi, atau memperhitungkan seluruh implikasi suatu teknologi baru yang akan dikembangkan untuk manusia.
Pemanfaatan teknologi jauh lebih penting dari perkembangan teknologi itu sendiri. Cara pandang yang diikuti sikap kritis, rendah hati, mengambil waktu jeda dalam hidup kita untuk refleksi, dan wawas diri, adalah praktik yang selalu bisa kita kembangkan dalam menghadapi potensi-potensi disruptive di masa sekarang dan di masa depan. Teknologi dan kemanusiaan akan menjadi keberkahan jika kita dapat menstimulasinya menjadi peradaban manusia yang berbudaya.
Klaus Schwab dalam teorinya (2017) yang diungkap dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution atau Revolusi Industri 4.0, akan tampak jelas konvergensi budaya ini.
Dan sekarang kita sudah memasuki era industri 4.0 yang lebih dikenal dengan industri cyber physical system. Tidak ada lagi batas fisikal, digital, dan biologi, dan ini dapat kita lihat pada produk teknologi robotika, penggunaan kecerdasan buatan, nanoteknologi, komputasi kuantum, bioteknologi, kendaraan tanpa awak, 3-D Printing, Internet of Things (IoT) atau bahasa awamnya internet untuk segala. Segala sesuatu menjadi mudah dan praktis dengan teknologi.
Nah, terkait peran Teknologi Informasi sangat menentukan untuk saat ini apalagi di dunia pendidikan. Di mana kebijakan pemerintah yang masih menerapkan pembelajaran daring ( dalam jaringan ) membuat guru/pendidik harus menguasai konten-konten/ aplikasi yang akan digunakan dalam penyampaian materi yang menarik dan inovatif, tentunya.
Kenyataan yang terjadi di lapangan tidak selalu linier antara tuntutan melek teknologi informasi dengan kompetensi teknologi dari para guru kita. Sering kita jumpai dalam proses pembelajaran masih ada kendala-kendala dalam penguasaan teknologi infomasi yang akan dipakai dalam proses pembelajaran dalam pendidikan kita.
Dan kita harus dapatkan akselerasi solusi agar pembelajaran daring berjalan dengan baik di masa pandemic covid-19 ini, sebelum akhirnya kita memasukin New Normal dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar.
Keputusan dari empat menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Dan Menteri Dalam Negeri yang telah mengaluarkan Surat Keputusan Bersama ( SKB ) Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 Di masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ) dijelaskan bahwa terkait dengan perkembangan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), untuk zona merah, oranye dan kuning masih diberlakukan Belajar Dari Rumah ( BDR ) dengan sisitem daring, membuat sekolah harus berfikir keras agar dapat menciptakan pembelajaran yang inovatif berbasis teknologi digital.
Bagaimana agar guru-guru kita dapat mengajar dengan menggunakan aplikasi pembelajaran daring dengan baik ? Penulis merangkumnya menjadi beberapa diantara solusi tersebut adalah : 1). Penyediaan fasilitas internet yang memadahi, 2). Adanya pelatihan, webinar, atau sosialisasi terkait pembelajaran dalam jaringan, 3). Adanya tutorial sejawat, 4).
Dibuat regulasi internal sekolah dan program pendukung KBM virtual, 5). Pemaksimalan koordinator Teknologi dan Informasi di sekolah, 6). Sosialisasi dan kesepakatan warga sekolah terkait pembelajaran daring ( pihak sekolah dan wali murid/murid), sehingga sesuai kebutuhan materi pembelajaran.
Selanjutnya, apabila dalam pembelajaran daring / berbasis teknologi digital sudah bagus, , bagaimana agar dapat tetap dilaksanakan tanpa meninggalkan sisi-sisi humanis dalam pendidikan. Apakah semua siswa kita berasal dari keluarga berkecukupan ? Apakah semua siswa kita tidak terdampak wabah covid-19 ? Apakah mereka mempunyai laptop atau HP yang berfasilitas internet ? Apakah mereka mempunyai alokasi dana khusus untuk pulsa dan prioritas dalam pembelajaran ? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan senada. Karena pasti tidak semua kondisi siswa kita sama. Nah di sinilah kita mulai berfikir.
Jangan sampai ketika persoalan penguasaan aplikasi pembelajaran daring berbasis teknologi digital terselesaikan, malah dalam penerapannya mengabaikan sisi humanisme dalam pendidikannya.
Maka yang perlu kita lakukan adalah mencari solusi yang terbaik untuk semua permasalahan. Contoh : apabila siswa yatim/yatim piatu dan tidak mampu, maka harus ada dukungan yang cukup dari sekolah agar tetap dapat melaksanakan pembelajaran tersebut, misalnya dengan mengirimkan tugas ke rumah, home visit dengan protokol yang ketat, dan setiap aplikasi yang dipakai dalam pembelajaran sebaiknya juga menjadi kesepakatan antara pihak sekolah dan wali murid.
Apabila memang ada penerapan home visit dipadukan daring menjadi alternative pembelajaran gabungan atau dengan Konsep Blended Learning dapat menjadi solusi.
Semler (2005) mengatakan bahwa : "blended learning mengombinasikan aspek terbaik dari pembelajaran online, aktivitas tatap muka terstruktur , dan praktik dunia nyata. Sistem pembelejaran online, latihan di kelas, dan pengalaman on-the-job akan memberikan pengalaman berharga bagi diri mereka. Blended learning menggunakan pendekatan yang memberdayakan berbagai sumber informasi yang lain".
Ini lebih memungkinkan mungkin untuk anak-anak yang mempunyai kendala tidak bisa sepenuhnya pembelajaran daring. Jadi tetap menghadirkan pembelajaran berbasis teknologi atau daring tetapi sisi humanisnya tetap menjadi penekanan.
Terkait Pendidikan yang humanis , menurut Shodiq A. Kuntoro ( 2008 : 8 ).Anak didik perlu diperlakukan sebagai subyek yang memiliki peran sendiri, dapat mengatur kegiatannya sendiri, bukan sebagai obyek yang segala sesuatunya ditentukan oleh pendidik.
Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada dua hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan).
Pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Dan cara pandang ini juga sangat sesuai dengan Konsep Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kita.
Terakhir penulis ingin menyampaikan, keseimbangan dalam pembelajaran berbasis teknologi harus diimbangi dengan aplikasi nilai-nilai kemanusiaan yang agung, sehingga dalam pendidikan akan menjadi ideal yang sesungguhnya, cerdas intelektual, emosional dan spriritual dimana terlihat pada penerapan pembelajaran berbasis teknologi yang humanis.
https://wordpress.com/read/feeds/107830145/posts/3269624182
Penulis :
Dr. Sarmini, S.Pd.,MM.Pd, Direktur Pendidikan Sekolah Islam Nabilah, Batam,
Dosen Universitas Batam, Dosen Universitas Ibnu Sina Batam, Dosen Pasca Sarjana Universitas Terbuka.
Oleh : Dr. Sarmini, S.Pd.,MM.Pd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H