Kakinya yang kecil melangkah ragu-ragu di antara dedaunan kering. Dia melihat sekeliling, memandang ke atas, dimana burung Cabak mulai bergerombol di atas pepohonan. Suaranya yang khas menjadi pertanda malam akan segera datang menggantikan siang.
Tangannya menyibak ranting-ranting pohon dan perdu yang menutupi pandangannya. Pelan, dia berjalan menyusuri jejak kaki di atas tanah basah.
"Tolong ....!!" suaranya merambat di antara pepohonan.
Gadis yang malang. Sepertinya dia tertinggal dari rombongan.
Kakinya terus melangkah menyusuri rerumputan yang rebah. Jejak kaki raksasa tercetak di tanah berair di sekitarnya.
"Tolong ....! Siapapun, tolong aku ...!" Teriakannya terdengar memilukan.
Kakinya mulai berlari menyusuri lebatnya pepohonan. Di persimpangan dia terhenti, tetapi gerakan kakinya mengundang makhluk lain mendekat. Dengan sekali gerakan, makhluk melata itu menunjukkan diri di depannya, berhasil meninggalkan luka di kakinya.
Aku dengan segera mendekat di antara kedua makhluk berbeda jenis itu. Aku mendesis tepat di depan makhluk serupa denganku itu. Dia kemudian berbalik mundur. Sedangkan gadis itu terbelalak dan bergerak mundur dengan kedua kakinya.
Sepertinya dia takut. Aku tertawa tetapi melihat dia semakin menjauh dan berusaha berdiri meskipun tidak membuahkan hasil membuat sebagian diriku iba. Aku berbalik arah sebelum memunculkan kaki di kedua tungkai bawah. Bagian ekorku mulai menyusut begitupun dengan kepingan sisik emas bercorak hitam yang hanya tersisa di beberapa bagian.
"Jangan takut, Gadis Manis," kataku dengan suara lembut.
"Kamu siapa? Kamu ... Kamu ... Ular?" Dia berusaha menjauh. Aku menyeringai, tanganku meraih sebelah kakinya yang terluka.