Ani duduk di salah satu kursi auditorium kampus, wajahnya penuh konsentrasi mendengarkan seminar yang diadakan oleh organisasi kemahasiswaan. Saat itulah Yudi melihatnya pertama kali. Meski hanya sekilas, tatapan mereka beradu dan menciptakan sesuatu yang tidak biasa. Yudi, dengan kepribadiannya yang tegas dan penuh percaya diri, menghampirinya ketika seminar berakhir.
"Hai, aku Yudi," katanya sambil tersenyum. Senyumnya lebar, khas Batak yang penuh energi.
Ani, dengan lembut menyambutnya, "Ani. Senang berkenalan denganmu, Yudi"
Dari pertemuan itu, mereka mulai sering bertukar cerita. Ani bercerita tentang kehidupan keluarganya yang penuh nilai tradisi Jawa, sementara Yudi membagikan pandangan hidupnya yang tegas, berprinsip, dan berani mengambil keputusan. Bulan demi bulan berlalu, perbedaan mereka justru menjadi jembatan yang mempererat hubungan. Ani kagum dengan ketegasan Yudi, sementara Yudi merasa terpesona dengan kelembutan Ani yang mampu membuatnya tenang.
"Menurutmu, apakah kita cocok?" tanya Ani suatu hari, saat mereka berbincang di taman kampus.
"Kenapa tidak? Aku merasa kamu adalah sosok yang selama ini aku cari, Ni. Kamu membuatku lebih tenang, dan entah bagaimana, aku merasa seperti bisa menjadi diriku sendiri saat bersamamu," jawab Yudi, sambil menggenggam tangan Ani.
Kedekatan mereka akhirnya membawa mereka pada pembicaraan yang lebih serius. Ani mulai berpikir untuk mengenalkan Yudi kepada keluarganya, berharap mereka bisa menerima sosok yang telah membuatnya begitu bahagia. Beberapa minggu kemudian, Ani membawa Yudi ke rumahnya untuk bertemu kedua orang tuanya. Mereka duduk di ruang tamu, suasananya sedikit tegang. Ayah Ani, dengan wajah serius, menatap Yudi
"Kamu serius dengan hubungan ini, Yudi?" tanya ayah Ani
Yudi, meskipun merasa canggung, menjawab dengan tenang, "Saya sangat serius, Pak. Saya ingin menjaga dan membahagiakan Ani."Ayah Ani menghela napas, menatap putrinya dengan tatapan penuh makna. "Ani, apa kamu yakin? Ini bukan sekadar tentang cinta, Nak. Yudi ini dari suku yang berbeda, dengan adat yang berbeda pula. Kamu mungkin akan sulit beradaptasi dengan kebiasaan dan budaya mereka."
Ani merasa terluka mendengar ucapan ayahnya, namun ia mencoba berbicara dengan lembut, "Pak, Yudi menghormati segala kepercayaan dan tradisi kita. Kami saling mencintai. Bukankah cinta itu yang paling penting?"
Ayahnya hanya menggeleng. "Nak, cinta itu penting, tapi hidupmu nanti akan lebih sulit daripada yang kamu bayangkan jika kamu tidak siap. Perbedaan ini bisa membuatmu menderita."
Kata-kata itu terus terngiang di pikiran Ani. Ia tak pernah menyangka akan mendengar keraguan seperti itu dari ayahnya, sosok yang selama ini begitu pengertian. Di sisi lain, Yudi pun mengalami pergulatan batin. Ia pulang dengan rasa gamang, dan memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya mengenai hubungannya dengan Ani. Beberapa hari kemudian, di rumahnya, Yudi akhirnya menyampaikan niatnya kepada ayah dan ibunya. Namun respon yang ia terima sangat mengejutkan.
"Yudi, kamu anak laki-laki Batak," kata ayahnya dengan nada tegas. "Kamu harus menikah dengan perempuan yang memahami adat kita, yang bisa menjalankan tradisi keluarga kita."
Yudi menunduk, mencoba menahan kekecewaan. "Tapi, Pak, saya mencintai Ani. Dia adalah orang yang bisa membuat saya merasa damai."
"Cinta itu tidak cukup, Ani. Bayangkan bagaimana nanti keluarga besar kita akan memandangmu. Jika kamu menikahi gadis yang tidak memahami adat kita, kamu akan membuat malu keluarga kita," ucap ayahnya tegas. Yudi terdiam, hatinya terbelah. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan cintanya pada Ani, tapi di sisi lain, ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Setelah percakapan itu, ia merasa dunia seakan runtuh.
Hari-hari berlalu dengan penuh pergulatan batin bagi Ani dan Yudi  Mereka bertemu kembali di taman kampus, tempat yang selama ini menjadi saksi cinta mereka.
"Ani," Yudi memulai, menatap dalam mata Ani "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku sudah mencoba bicara dengan keluargaku, tapi... mereka tetap menentang."
Ani tersenyum pahit. "Aku juga, Di. Aku tidak menyangka ini akan jadi begitu rumit. Aku mencintaimu, tapi aku tidak ingin membuat keluargaku terluka."
Yudi  menggenggam tangan Ani erat. "Apa yang harus kita lakukan, Ni Aku tidak ingin kehilanganmu."
"Kadang, cinta saja memang tidak cukup," bisik Ani matanya mulai berkaca-kaca. "Mungkin ini adalah ujian untuk kita, atau mungkin... kita memang tidak ditakdirkan bersama."
Yudi terdiam. Kata-kata Ani menghantamnya keras, menyadarkannya bahwa mungkin inilah akhirnya. Mereka saling mencintai, namun restu keluarga adalah hal yang tak bisa mereka abaikan.
Dengan berat hati, mereka akhirnya sepakat untuk berpisah. Keduanya tahu bahwa memaksakan hubungan ini hanya akan menambah luka di hati mereka dan keluarga masing-masing. Mereka memilih untuk mengorbankan cinta demi kebahagiaan dan kehormatan keluarga. Di hari terakhir mereka bertemu, Ani memeluk Ardi erat-erat, mencoba mengukir kenangan terakhir bersama orang yang ia cintai. "Mungkin kita memang tidak ditakdirkan bersama, Di. Tapi aku tidak akan pernah menyesal telah mencintaimu."
Yudi merasakan air matanya mengalir, sesuatu yang jarang ia alami. Ia membalas pelukan Ani, seolah tak ingin melepaskannya. "Kamu akan selalu menjadi bagian dari hati dan kenangan terbaikku, Ani. Terima kasih untuk semua yang sudah kamu berikan."
Setelah melepas pelukan itu, mereka melangkah ke arah yang berbeda. Keduanya tahu, meski cinta mereka begitu kuat, ada hal yang tidak bisa mereka lawan. Mereka percaya bahwa perbedaan yang ada mengajarkan mereka tentang arti cinta yang sejati, meskipun cinta itu harus berakhir. Di dalam hati mereka, Ani dan Yudi menyimpan kenangan ini sebagai pelajaran hidup. Meski harus terpisah, cinta mereka tetap hidup dalam kenangan indah. Keduanya percaya, suatu hari nanti, mereka akan menemukan kebahagiaan yang tak terhalang oleh perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H