Kenaikan kelas kemarin Pakde saya mencabut sekolah anaknya karena sudah kelas 5 tapi masih juga belum bisa membaca. Guru pun tak tahu apa penyebabnya.Â
Mereka memberikan pilihan apakah mau tinggal kelas lagi atau pindah sekolah. Pakde saya memilih mencabut sekolah anaknya dan tidak memindahkannya juga.
Menyuruh anaknya tidak sekolah. Ia merasa percuma anaknya disekolahkan, buang-buang uang. Pakde saya menganggap anaknya bodoh, ia kemudian menyuruh anaknya untuk kerja saja ikut budhenya mengurus bakso.Â
Para tetangga, dan kerabatnya pun tidak tahu apa penyebab sepupu saya itu, mereka ikut melabelinya bodoh. Bahkan budhe saya dengan teganya mengatakan bahwa ia tak memiliki masa depan.
Sepupu saya hanya diam saja dengan label bodoh dan tidak memiliki masa depan itu. Tetapi saya yakin hatinya pasti memberontak. Siapa yang mau dikatakan bodoh? Tidak ada. Semua orang ingin mendapatkan penghargaan dan apresiasi, bukan hinaan.
Singkat cerita, beberapa hari yang lalu saat saya mengerjakan Tes Potensi Akademik saya, saya menemukan sebuah bacaan yang berhasil membuat saya memikirkannya hingga saat ini. Disleksia.
Disadur dari sebuah artikel di www.sinarharapan.co.id yang ditulis di buku tersebut, dikatakan bahwa disleksia berasal dari bahasa Yunani, "dys" berarti "sulit dalam", dan lex (berasal dari legein, yang artinya "berbicara"). Disleksia berarti menderita kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis.
Film ini mendapatkan penghargaan sebagai Filmfare Best Movie Award 2007 dan menceritakan tentang kisah seorang anak SD bernama Ishaan Awasthi yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung, padahal sudah duduk di kelas 3. Orangtuanya menganggap ia bodoh, berbeda dengan kakaknya yang selalu jadi juara kelas.
Guru-gurunya tak mau lagi menerima Ihsaan karena mereka juga menganggap ia bodoh. Ayahnya pun memindahkan Ihsaan ke sekolah berasrama.Â
Bagi ayahnya, selain bodoh, Ihsaan juga nakal karena tidak mau diatur. Ia pikir jika Ihsaan ditempatkan di asrama itu akan membantunya untuk berubah. Tetapi Ihsaan kecil merasa ia disisihkan dari keluarganya. Ia frustasi. Guru-gurunya di asrama pun sama, mengatakan ia bodoh.
Dunia luar yang penuh persaingan, semua harus mampu berkompetisi agar disebut hebat. Merasa tidak berguna, Ihsaan tidak mau melukis lagi, ia menyembunyikan bakatnya. Hingga akhirnya, guru baru di sekolahnya, Ram Shankar Nikumbh mengetahui permasalahan Ihsaan.Â
Pengidap disleksia memiliki ciri-ciri di antaranya yaitu pertama kesulitan untuk mengenal huruf, seperti bingung membedakan huruf yang mirip antara b dan d, antara s dan r, tulisan h dan t menjadi terbalik, sulit dengan kata yang mirip seperti t-o-p dan p-o-t.
Bagi orang biasa, ketika kita membaca buah apel, maka dibayangan kita langsung terfikir buah apel. Tapi bagi pengidap disleksia tidak, karena ia tidak bisa membaca apel.
Kedua, kesulitan mengikuti banyak instruksi. Ketika seorang guru memberikan instruksi untuk membuka halaman 65, bagian 9, paragraf 4, baris 2, pengidap disleksia kesulitan memahami dan mengikuti arahan tersebut.
Bagi guru yang tidak paham, mereka akan menganggap anak tersebut tidak mau diatur. Padahal bukan sikap permasalahannya, tetapi ini karena faktor saraf otak yang menolaknya.
Ketiga, pengidap disleksia kesulitan dalam menghubungkan antara ukuran, jarak, dan kecepatan. Seperti misal memasangkan kancing baju dan dasi sekolah, mereka kesulitan dan tidak mampu.
Atau ketika melempar bola ke arah lawan mainnya, mereka malah salah sasaran ke kaca rumah tetangga. Ini bukan karena disengaja, tetapi karena ia kesulitan.
Tetapi orang-orang yang tidak memahami ini hanya akan memandang mereka bodoh. Padahal penderita disleksia memiliki kecerdasan melebihi orang-orang biasa.Â
Banyak tokoh-tokoh jenius pengidap disleksia, mereka adalah Albert Einstein (penemu teori relativitas), Leonardo Da Vinci (penemu helikopter), Thomas Alva Edison (penemu lampu), Abhishek Bachchan (aktor India), Walt Disney (pembuat Mickey Mouse), Pablo Picasso (pelukis yang sangat terkenal), Neil Diamond (penyanyi terkenal), Agatha Christie (penulis novel misteri), Bill Gates (pendiri microsoft) dan lain-lain. Mereka unik, dan tidak semua orang bisa memahami itu.
Di Indonesia siapalah yang tidak mengenal Deddy Corbuzier. Deddy Corbuzier juga seorang penderita disleksia. Ia menceritakan di akun YouTubenya bahwa waktu sekolah, dua kali dia tidak naik kelas. Tetapi sekarang lihat apa yang terjadi! Ia adalah satu dari sekian orang sukses di dunia, khususnya di Indonesia.
Anaknya, Azkanio Nikola Corbuzier berusia 13 tahun juga seorang penderita disleksia, tetapi siapa sangka ia menjadi siswa terbaik di sekolahnya.
Apakah penderita disleksia tidak bisa sembuh? Masih menurut www.sinarharapan.co.id, pengidap disleksia tidak akan selamanya menderita gangguan membaca dan menulis. Ketika pertumbuhan otak dan sel otaknya sudah sempurna, ia akan dapat mengatasinya.
Tentu perlu ada cara yang tepat untuk membantu penderita disleksia dalam belajarnya. Melihat film Taare Zameen Par, Ram Shankar Nikumb mengajari Ishaan Awasthi dengan metode berikut.
Demikian pula Deddy Corbuzier, dia memiliki kesulitan dalam membaca dan mudah lupa untuk hal-hal yang tidak terlalu penting dalam hidupnya, seperti mengenal nama bintang tamunya. Tapi ia seorang public speaking yang handal. Kemampuan public speakingnya mampu menutupi kelemahannya.
Demikian pula Azka. Ia sulit dalam membaca dan menulis, tetapi ia menyukai dunia olahraga. Orangtuanya selalu mendukung apapun yang ia suka, termasuk menjadi YouYuber hingga ia mampu meraih Silver Award Play Button dari YouTube.
Deddy Corbuzier mengatakan bahwa ia tidak bisa membaca secara runtut, tetapi biasanya ketika membaca ia akan melihat sekilas kalimat tersebut. Ketika dalam bacaan terdapat kata asing, seperti rem blong.
Di dalam memori otaknya tidak ada kata blong, tetapi yang ada adalah bolong. Bisa saja dia kemudian membacanya rem bolong. Tetapi untuk kata yang sering ia jumpai, akan mudah ia pahami maksudnya karena sudah terekam dalam memorinya. Bahkan ia sulit membaca nama orang seperti Tiara. Karena kata Tiara tidak ada di dalam memorinya.
Azka mengatakan, ketika ayahnya mengajarkan kata look, maka sang ayah tidak langsung menuliskan look. Tetapi memberi penjelasan terlebih dahulu, L diibaratkan seperti kursi, karena kursi berbentuk seperti huruf L. OO diibaratkan seperti mata. Dan K adalah ibunya, Kalina. Maka Azka bisa menangkap "melihat Kalina", itu berarti Look.
Keempat, agar tidak lupa, maka guru merekamkan kembali pelajaran yang mereka kerjakan. Karena seperti kata Deddy Corbuzier, disleksia mudah lupa tetapi ia memiliki pendengar yang tajam.
Keenam, dikutip dari laman halodoc.com, metode yang lain yaitu membiasakan mengajak anak untuk berdiskusi tentang bacaan. Karena melalui membaca dan berdiskusi, otak anak terasah untuk mengetahui berbagai hal.
Siapa orang yang mau menderita disleksia? Tentu tidak ada. Tetapi menderita disleksia bukanlah suatu hal yang harus ditakuti. Setiap orang mampu mengatasinya. Bahkan banyak tokoh membuktikan mereka memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang biasa.
Jadi, setiap guru dan orangtua yang memiliki siswa atau anak yang disleksia, atau kelemahan apapun, difabel mungkin, dan lain-lain, mengertilah,
Setiap anak itu unik, memiliki kemampuan dan impiannya sendiri.
Bantu dan doronglah mereka untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H