Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sebelum Menjadi Guru Galak, Sudahkah Memiliki Kompetensi Ini?

15 Januari 2020   15:38 Diperbarui: 15 Januari 2020   19:23 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru galak| Sumber: istockphotos via kompas.com

Seorang teman mengatakan kepada saya, "kalau kamu jadi guru, pasti tidak bisa galak." Ya, saya akui saya memang tidak bisa galak kepada siapapun.

Teman dekatku yang lain pun pernah curhat bahwa ia dimarahi kepala sekolah karena tidak bisa galak pada siswa. 

Gara-gara dimarahi itu teman dekatku yang memang orangnya pemalu sempat khawatir jika selama ini dia tidak bisa menjadi guru tegas. Tapi saya tahu bahwa teman saya ini pandai mengambil hati anak kecil, karena dia suka sekali dengan anak kecil.

Apakah menjadi guru itu harus galak?

Menjadi guru galak memang lebih mudah dikenal, bukan hanya oleh siswa, tetapi juga oleh orangtua siswa. Tapi tentu saja, seorang guru bersikap galak bukan agar menjadi terkenal, tapi demi kebaikan siswa itu sendiri. 

Terkait guru galak, saya memiliki pengalaman yang masih melekat di benak saya.

Ketika saya kelas 4 SD, kepala sekolah saya merangkap mengajar matematika. Kakak sepupu saya yang duduk di kelas 6 pernah dimarahi beliau gara-gara tidak hafal perkalian. 

Lalu dia disuruh bertanya ke anak-anak kelas 4 SD, 7x8 itu berapa. Sontak kami sekelas tertawa karena dia yang kelas 6 disuruh tanya kelas 4. 

Sesampai di rumah, ternyata kakak sepupu saya ini menangis karena dipermalukan Pak Kepsek di depan adik-adik kelas. 

Ia merasa menjadi siswa yang paling bodoh. Apalagi Pak Kepsek hobi sekali mengangkat kursi ke atas meja kalau ada anak yang tidak hafal perkalian. Selain merasa bodoh, ia juga merasa telah membuat gurunya marah besar.

Label Pak Kepsek sebagai guru galak itu pun diketahui oleh para orangtua, termasuk ayah saya. Karena tidak mau menanggung malu juga, setiap pulang sekolah ayah menyuruh saya belajar matematika agar tidak kena marah Pak Kepsek. 

Betapa khawatirnya ayah jika anaknya tidak pandai, mau ditaruh dimana muka ayah, begitu pikir ayah saya.

Guru-guruku di SMP dan SMA tidak segalak Pak Kepsek SD. Tapi di Perguruan Tinggi, saya menemukan dosen galak. Namanya Pak Muja (bukan nama sebenarnya). 

Pak Muja hobi sekali memberi tugas membuat artikel tentang terorisme, islamofobia, kristenisasi, dan lain-lain terkait problematika Islam di Indonesia, bahkan kadang menyuruh kita membuat tulisan yang intinya mengkritik pemerintah. 

Jika artikel yang kami buat tidak sesuai dengan kemauan beliau, ia membuangnya di tempat sampah dan marah-marah, mengatakan bahwa kami ini bodoh. Kami yang baru belajar menulis pun sangat takut bila masuk di mata kuliah beliau.

Teman saya ada yang sakit hati gara-gara Pak Muja ini. Dia sampai nangis di kamar mandi gara-gara artikel yang sudah susah payah ia buat di buang ke tempat sampah. Ia sangat trauma jika bertemu Pak Muja. 

Teman-teman saya pun memilih untuk ganti pembimbing skripsi, jika tahu bahwa pembimbingnya Pak Muja. Mereka terpaksa memilih ambil lagi di semester selanjutnya, daripada dimarah-marahi dan dibilang bodoh.

Guru galak pun dirasakan adik saya. Waktu kelas 4 SD, adik saya pernah tidak mau masuk sekolah karena takut dengan wali kelasnya yang galak. 

Ketika ibu saya bertanya kenapa tidak mau sekolah, katanya gurunya galak. Adik saya dikeluarkan dari kelas gara-gara tidak bisa matematika. 

Ibu saya sedih, bahkan sepertinya menangis karena anaknya yang ingin sekolah malah dikeluarkan dari kelas hanya gara-gara belum bisa. Adik saya pun dimarahi ayah saya karena tidak mau masuk sekolah hanya gara-gara gurunya galak. Akhirnya adik saya sekolah dengan terpaksa. Kasihan sekali.

Guru galak ternyata berpengaruh terhadap psikologis siswa. Haruskah guru berperilaku galak hanya gara-gara siswanya belum bisa?

Menurut Undang-undang nomer 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi. 

Jadi, jika siswanya belum bisa dalam mata pelajaran tertentu, tugas guru adalah membimbingnya, mengarahkannya, dan melatihnya agar bisa, bukan memarahinya, apalagi sampai hati mempermalukan dan mengeluarkannya, bahkan melabelinya bodoh.

Ilmu mudah diserap oleh siswa jika siswa mencintai apa yang diajarkan gurunya. Maka, buatlah siswa untuk mencintai ilmu yang engkau berikan, bukan malah menghukumnya jika ia tidak bisa. 

Jika siswa dihukum karena tidak bisa, mungkin siswa akan bertekad kuat untuk bisa tetapi apa itu berarti ia mencintai ilmu yang diberikan guru? Apa itu berarti ia pun akan mencintai gurunya pula? Saya rasa siswa bertekad kuat karena ia takut kepada gurunya, bukan karena cinta!

Sewaktu SD saya tidak suka dengan matematika, karena Pak Kepsek saya yang galak tadi. Tetapi waktu SMP, guru matematika saya menyenangkan sekali mengajarnya, sayapun jadi suka matematika, dan bertahan menyukai matematika sampai kelas 2 SMA. 

Karena gurunya menyenangkan dan saya pun juga sudah menjadi mencintai matematika. Tetapi waktu kelas 3 SMA guru saya cepat sekali menerangkan, saya pun bingung, kelas 3 SMA saya malah pusing dengan matematika. 

Bagi saya guru berpengaruh besar dalam membuat siswanya mencintai ilmu.

Maka sebelum menjadi guru yang galak, seharusnya guru mengingat kembali kompetensi yang harus ia miliki sebagai pendidik profesional. 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 74 tahun 2008, seorang guru dikatakan pendidik profesional jika ia memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Sedangkan untuk guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti menurut Kementerian Agama nomor 211 tahun 2011 ditambah dengan kompetensi spiritual dan kompetensi leadership.

Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran (materi, metode, evaluasi). Kompetensi kepribadian yaitu kemampuan guru dalam mengelola emosinya, seperti bersikap arif dan bijaksana, berwibawa, dewasa, dan mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat. 

Kompetensi sosial yaitu kemampuan guru dalam bergaul dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik. Kompetensi profesional yaitu kemampuan guru dalam mengembangkan ilmunya.

Kompetensi spiritual yaitu kemampuannya dalam menjaga amanah dan panggilan jiwa untuk mendidik. Dan kompetensi leadership yaitu kemampuannya untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif dan efisien. 

Maka jika empat kompetensi guru menurut Peraturan Pemerintah dan tambahan dua kompetensi guru menurut Kementerian Agama tersebut diterapkan maka tentulah guru baru disebut sebagai pendidik profesional.

Menjadi guru galak tentu sah-sah saja asal galak dalam kebaikan, seperti ketika siswa berbuat nakal terhadap temannya, guru berhak menghukumnya dengan hukuman yang membuat siswa tersebut jera. 

Tetapi jika siswa tidak paham pelajaran apa pantas guru marah-marah? Sebelum marah-marah sebaiknya guru instropeksi diri terlebih dahulu. 

Jangan-jangan siswa tidak bisa bukan karena bodoh, tetapi karena guru tidak jelas dalam menerangkan. Jika demikian yang terjadi maka ada baiknya guru harus belajar lagi tentang cara mengajar.

Demikian, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun