Kenapa sih perempuan harus selalu disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan posisi perempuan seolah-olah tak berdaya. Karena setiap perempuan itu multiperan. Saya bisa menjadi ibu, menjadi istri, menjadi tetangga, menjadi jurnalis. Perempuan itu multiperan. Kalau laki-laki, tidak pernah ditanya mau jadi pelawak atau jadi ayah.
Film Kim Ji-Young, Born 1982 mengangkat isu tentang feminisme, budaya patriarki, diskriminasi terhadap perempuan, dan ketidaksetaraan gender di Korea Selatan. Film ini diangkat dari novel yang berjudul sama, "82nyeonsaeng Kimjiyoung" karya Cho Nam-Ju (terbit Oktober 2016), dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia.Â
Film ini mulai diputar di bioskop Korea Selatan pada 23 Oktober 2019 dan di Indonesia pada 20 November 2019. Film tersebut dibintangi dengan apik oleh Jung Yu-Mi sebagai Kim Ji Young (istri), dan Gong Yoo sebagai Jung Dae Hyeon (suami), yang sebelumnya keduanya juga telah sukses membintangi 'Silenced'(2011) dan 'Train to Busan' (2016).
Sinopsis Singkat Film Kim Ji Young, Born 1982
Seorang istri hidup bersama seorang anak dan suaminya. Rumah tangga mereka tampak hangat dan membahagiakan. Tapi ternyata kehangatan dan kebahagiaan itu tidak sepenuhnya sempurna.
Istri (berusia sekitar 30an tahun) adalah seorang yang cerdas, seorang pembelajar, dan memiliki karier yang bagus dulunya, sebelum memiliki anak. Namun, setelah memiliki anak ia menjadi ibu rumah tangga yang kegiatan sehari-harinya ia habiskan hanya bersama sang anak.
Seiring berjalannya waktu hidupnya terasa membosankan dan ingin kembali berkarier. Namun, hal itu tidak semudah yang dibayangkan.
Konflik yang ia hadapi tersebut, tanpa ia sadari kemudian menyebabkan dirinya menderita depresi postpartum, yaitu depresi yang dialami pasca melahirkan, depresi ini terjadi sekitar 10-20% ibu muda. Gejala yang dialami istri tersebut yaitu tiba-tiba menjadi orang lain yang dekat dengan dia, seperti temannya yang meninggal pasca melahirkan, ibu, dan neneknya, tanpa ia sadari. Seperti orang kesurupan. Istri hanya menyadari bahwa ia kadang tidak bersemangat menjalani kehidupannya.
Suamilah yang menyadari perubahan pada diri istrinya, yaitu istri menjadi orang lain. Suami pun menemui psikiater, ia merasa cemas dan takut kehilangan istri yang sangat disayanginya. Ia pun meminta istrinya menemui psikiater, tanpa memberitahu bahwa istrinya mengalami depresi. Istrinya pun ke psikiater, tapi karena biaya yang mahal, akhirnya ia tidak mengikuti tes.
Sampai pada akhirnya di tahap penyelesaian konflik, suami mengatakan bahwa istrinya tanpa disadari kadang menjadi orang lain. Lalu istri tersrbut berkonsultasi pada psikiater. Ending dari cerita ini adalah, setelah tiga bulan, istri akhirnya menjadi seorang pengarang sebagaimana cita-citanya dimana waktu kuliah ia mengambil jurusan sastra. Dan suami bergantian menjaga anak perempuan mereka.
Tentang Problematika Perempuan dalam Film Kim Ji-Young, Born 1982
1) Perempuan antara Menjadi Ibu Rumah Tangga atau Berkarir
Sebagaimana cuplikan pembuka tulisan ini, Najwa Shihab dalam acara Opera Van Java di Trans 7 pernah ditanya oleh Denny Cagur, "Jika disuruh memilih, jurnalis atau ibu rumah tangga?" Maka Najwa atau yang lebih sering dipanggil Mbak Nana mengatakan sebagaimana quote di atas.
"Kenapa sih perempuan harus selalu disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan posisi perempuan seolah-olah tak berdaya. Karena setiap perempuan itu multiperan. Saya bisa menjadi ibu, menjadi istri, menjadi tetangga, menjadi jurnalis. Perempuan itu multiperan. Kalau laki-laki tidak pernah ditanya mau jadi pelawak atau jadi ayah."
Jawaban Mbak Nana menunjukkan isi hati setiap perempuan yang selalu disuruh memilih. Di lingkungan saya, baik itu lingkungan masyarakat desa maupun lingkungan teman-teman kuliah, perempuan berkarir di anggap sesuatu yang tidak sesuai dengan kodratnya. Rata-rata usia 18-20an tahun mereka telah menikah, lalu menjadi ibu rumah tangga. Ketika biaya rumah tangga dianggap kurang, mereka lalu baru berkarir. Namun karir tersebut bukan untuk meningkatkan kompetensi atau keahliannya, tapi semata-mata untuk menambah biaya hidup rumah tangga mereka. Anak biasanya dititipkan nenek atau kakeknya.
Bahkan di lingkungan kita, perempuan yang memilih untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi hingga tingkat magister atau doktor dianggap tabu. Jika seorang perempuan telah diwisuda menjadi sarjana, perempuan tersebut, termasuk orang tua, Â mulai sibuk membahas pernikahan. Sanak kerabat dekat dan tetangga-tetangga pun mulai sibuk menanyakan tentang pernikahan. Jarang sekali yang membahas tentang melanjutkan pendidikan, atau peningkatan karir. Paling hanya mendoakan semoga segera dapat kerjaan, atau kalau sudah bekerja, hanya disambut dengan ucapan alhamdulillah, tidak peduli entah menyenangkan atau membosankan pekerjaan tersebut.
Fenomena ini digambarkan dalam kehidupan Kim Ji-Young dimana setelah ia menikah dengan suaminya, orang tua mereka mulai membicarakan keinginan punya bayi. Seperti yang diucapkan Kim Ji-Young kepada suaminya,
 "Ketika kita belum menikah, orang tua menuntut kita untuk segera menikah, setelah menikah mereka menuntut kita untuk memiliki bayi, ketika memiliki bayi perempuan, mereka menuntut kita memiliki bayi laki-laki, ketika kita punya bayi laki-laki, mereka menuntut kita memiliki bayi perempuan."
Lalu sanak kerabat dekat pun ikut mempermasalahkan, seperti ketika kakak perempuan Kim Ji-Young belum menikah, bibinya sibuk sekali bertanya kapan ia akan menikah, hingga kakak perempuan Kim Ji-Young pun sebal karena ditanya hal-hal semacam itu terus-terusan.
Seakan-akan hidup kita adalah untuk menjalani tuntutan-tuntutan dari orang lain, sehingga kita mengorbankan kebahagiaan kita sendiri demi menyenangkan orang lain tersebut.
Setelah Kim Ji-Young memiliki anak, ia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, fokus dengan anaknya. Namun sebenarnya bukan itu yang ia inginkan. Ia ingin berkarir seperti Kim Eun-Sil, atasannya ketika bekerja di perusahaan agensi. Tentang Kim Eun-Sil, bisa dibaca tulisan kompasianer Corry LauraJuanita dengan judul Kim Eun-Sil: Sisi Lain dari Film "Kim Ji-Young, Born 1982".
Tentang memilih menjadi ibu rumah tangga atau karir ini juga dialami oleh ibu Kim Ji-Young. Dimana ibu Kim Ji-Young harus rela tidak meneruskan ke perguruan tinggi demi membiayai adik-adiknya sekolah. Ia pun memutuskan bekerja di pabrik dan mengubur cita-citanya menjadi guru.
Hal demikian pun terjadi di kehidupan kita, dimana ketika kita bersekolah dulu, ketika ditanya tentang cita-cita kita selalu menjawab cita-cita dengan pekerjaan yang umum dikenal banyak orang, seperti ingin menjadi dokter, guru, polisi, pramugari, pilot, dan lain-lain. Tetapi ternyata terkadang kehidupan tidak seperti yang diinginkan. Setelah dewasa sebagian dari kita bekerja dengan bentuk pekerjaan yang tidak umum dikenal banyak orang, dan sulit dimengerti oleh orang lain, terlebih para tetangga di desa.
Pada akhirnya dengan seiring pengalaman-pengalaman yang kita memiliki, kita paham bahwa cita-cita itu bukan sekedar profesi. Cita-cita itu lebih besar, lebih dalam, lebih dari sekedar profesi. Profesi hanyalah alat untuk mencapai cita-cita.Â
Seiring berjalannya waktu, kita pun akan paham bahwa kita tidak perlu menjelaskan cita-cita kita kepada orang lain, karena tidak semua orang akan mengerti dan paham dengan cita-cita yang dimaksud. Untuk apa sibuk menjelaskan kepada orang lain? Lebih baik sibukkan diri untuk mewujudkan perjalanan menuju cita-cita itu.
Lalu apa difikir seorang ibu rumah tangga tidak punya cita-cita? Tentu punya, semua orang berhak memiliki cita-cita. Maka entah berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, setiap orang layak, bahkan harus memiliki cita-cita.
2) Tuntutan dari Ibu Mertua
Di dalam kehidupan berumah tangga, konflik terkadang muncul bukan dari pihak suami dan istri, tetapi dari pihak istri dan ibu mertua, atau suami dan ibu mertua. Banyak kasus terjadi rumah tangga hancur karena pihak ke tiga yaitu ibu mertua.
Ibu Mertua Kim JI-Young digambarkan sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya, ingin sekali dikunjungi anaknya ketika libur, tidak bisa memahami kebahagiaan anaknya, sangat mengkhawatirkan anaknya, dan ingin melihat anaknya berkarir dan berprestasi tanpa ada penghalang. Secara singkat menurut saya ibu Jung Dae Hyeon adalah orang yang egois. Demi mengkhawatirkan anaknya, ia pun tidak bisa menjaga rahasia penyakit yang diderita Kim Ji-Young.
Mertua yang semacam itu banyak di lingkungan kita. Terlalu menuntut, dan tidak mau jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada anaknya. Maka, istri akan menjadi pihak yang dipersalahkan jika terjadi sesuatu pada anaknya. Meskipun seorang mertua juga perempuan, dan juga seorang istri dari seorang suami, seorang menantu dari mertuanya, tapi mereka juga tidak bisa memahami posisi menantunya sendiri. Lebih mengutamakan perasaan dibandingkan logika. Jadi meski ada persamaan status pun, ia sulit untuk mengerti sebuah posisi.
Ketika Kim Ji-Young mengatakan ia akan bekerja lagi, dan Jung Dae Hyeon akan mengambil cuti melahirkan selama satu tahun, ibu Jung Dae Hyeon langsung tidak setuju, ia menganggap gaji Kim Ji-Young tidak akan cukup menghidupi keluarga kecil mereka, karir anaknya akan terganggu, dan akhirnya membuka rahasia bahwa Kim Ji-Young memiliki penyakit.
Maka ketika sudah menikah, hubungan antara menantu dan mertua penting sekali untuk di jaga. Ketika kita menikah dengan pasangan kita, maka kitapun harus menerima keluarga besar pasangan kita, menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada padanya. Demikian pula pada mertua. Ia juga harus menganggap menantunya seperti anaknya sendiri.
3) Pelecehan Seksual pada Perempuan
Pelecehan pada perempuan digambarkan semenjak Kim Ji-Young masih sekolah. Ada seorang siswa di dalam bus yang hendak melecehkannya. Tetapi akhirnya ia ditolong oleh seorang ibu-ibu.Â
Pelecehan seksual itu pun berkembang, sekarang menggunakan spy cam crime. Tentang spy cam crime pernah ditulis oleh kompasianer Ronny Rachman Noor dengan judul "Wabah Spy Cam Crime yang Mematikan".
Dalam film Kim Ji-Young, spy cam crime tersebut diletakkan di kantor Kim Eun-Sil, toilet perempuan lantai 3. Â Video tersebut kemudian disebar di dunia maya sehingga korban bisa mengalami depresi, bahkan bunuh diri. Teman Kim Ji-Young menceritakan hal tersebut pada Kim Ji-Young. Maka ketika Kim Ji-Young berada di toilet umum untuk buang air kecil, ia teringat dengan cerita temannya, sehingga terpaksa harus menahan buang air kecilnya hingga sampai rumah ibunya.
Demikianlah tiga problematika perempuan yang dekat dengan kehidupan, yang dapat diambil pelajarannya dari film Kim Ji-Young, Born 1982. Tentu masih banyak pelajaran-pelajaran lain yang dapat diambil jika kita menonton langsung film tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H