Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Mau Disebut Miskin

17 November 2019   13:10 Diperbarui: 17 November 2019   13:15 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://inilahbanten.co.id/

Kamis, 14 November 2019, Viktor Laiskodat, Gubernur Nusa Tenggara Timur, berulah. Pernyataannya membuat beberapa rakyat NTT tersinggung, bahkan tidak hanya rakyat NTT, rakyat provinsi lain pun ikut tersinggung. Pernyataannya yang menghebohkan itu adalah,

Saya sampaikan ke Presiden bahwa kalau wisatawan miskin datang, kami di NTT itu banyak sekali yang miskin. Kami bosan lihat yang miskin-miskin

Sumber.

Kompasianer Tjiptadinata Effendi, melalui laman kompasiana menanggapi pernyataan ini dengan menulis judul "Kalau Tidak Kaya Raya, Jangan Berkunjung ke NTT". Dalam tulisannya ia bersyukur sudah sering berkunjung ke NTT, masih terkenang di memorinya kehangatan dan rasa kekeluargaan orang-orang NTT. Dia pun kini bersedih, karena banyak sahabat-sahabatnya di NTT yang ingin ia kunjungi, tetapi tiba-tiba saja orang nomer satu di NTT melarang jika tidak kaya raya jangan datang ke NTT.

Kompasianer Reba Lomeh selaku rakyat NTT, melalui tulisannya yang berjudul "Pak Viktor, Cukup Berulah, Kami Lelah!" merasa harus meluruskan pernyataan Gubernurnya tersebut, dan turun tangan untuk mohon maaf kepada masyarakat Indonesia atas ketidaknyamanan yang terjadi akibat pernyataan gubernurnya tersebut.

***

Siapa sebenarnya yang dimaksud rakyat miskin ini? Saya sendiri pun tak paham maksudnya.

Terkait tentang rakyat miskin, saya memiliki sebuah kisah yang masih melekat dalam ingatan saya karena baru terjadi beberapa bulan yang lalu.

Ketika saya sedang menunggu antrian periksa di Puskesmas Kartasura karena gigi saya sakit, saya duduk di sebelah bapak-bapak yang usianya sekitar 50-70an. Dua orang bapak-bapak itu sedang bercakap-cakap, anggap saja bernama Bapak A dan Bapak B.

Bapak A: Bapak periksa gigi menggunakan BPJS atau bayar pribadi?

Bapak B: BPJS yang bayar pribadi tiap bulannya pak.

Bapak A: Lho saya BPJS tetapi tidak bayar. (Sambil mengeluarkan kartu BPJSnya).

Bapak B: Oh ini kartu untuk orang miskin pak, makanya tidak bayar. Kalau saya gak bayar, malu pak saya. Lha saya saja punya bengkel masak untuk biaya berobat saja ditanggung negara.

Bapak A: Tapi saya bukan orang miskin pak, saya ini PNS.

Bapak B: Iya tapi kartu ini memang untuk orang miskin pak, yang pengobatannya di tanggung negara.

Tampak tidak menyenangkan sekali obrolan dua bapak-bapak tersebut, yang satunya tidak mau dianggap miskin tetapi kenyataannya biaya berobatnya ditanggung negara, yang satunya lagi merasa tidak miskin karena bisa membayar BPJS setiap bulan sehingga memandang rendah orang yang menggunakan BPJS KIS.

Saya sendiri sebenarnya juga menggunakan BPJS KIS, pengobatan saya ditanggung negara, tapi saya juga tidak merasa menjadi orang miskin, karena BPJS KIS itu saya dapatkan ketika saya masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta tanpa mengurus berkas tanda saya miskin. Ya, waktu itu tau-tau saya dan teman-teman saya disuruh ke loket Tata Usaha untuk mengambil Kartu Indonesia Sehat itu. Tentu saya senang sekali karena tau-tau mendapatkan jaminan pengobatan gratis.

***

Jika kisah tadi menceritakan tentang dua orang bapak-bapak yang sibuk mempermasalahkan tentang derajat kemiskinan, maka berbeda dengan tetangga-tetangga di desa saya. Setiap menjelang hari raya Pak RT di desa saya mendata orang-orang yang dianggap dalam kategori tidak mampu (miskin). Maka banyak tetangga saya yang kemudian berharap namanya dicatat oleh Pak RT agar mendapatkan bantuan sembako menjelang hari raya. Nenek saya karena memiliki ladang, maka dianggap mampu sehingga tidak dicatat oleh Pak RT. Tapi saya bisa melihat kekecewaan wajah nenek saya, menjelang hari raya itu, dia sibuk sekali menghitung orang-orang yang akan mendapatkan sembako. Diapun dengan terpaksa harus menyisihkan uangnya agar bisa membeli sembako untuk diberikan kepada sanak kerabat dekat. Alangkah bahagianya jika tercatat sebagai orang miskin, karena kita tidak perlu membeli sembako, kita akan mendapatkan sembako dari pihak atasan, begitulah angan-angan nenek saya.

***

Lalu siapa sebenarnya orang miskin itu? Di satu kondisi ada orang yang tidak mau dimiskinkan, tetapi disisi lain ada orang yang berharap suatu saat dianggap miskin oleh negara.

Di dalam QS An Najm: 43-48 Allah berfirman, 

dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis (43), dan sesungguhnya Dialah yang mematikan dan menghidupkan (44), dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan (45), dan sesungguhnya Dialah yang menetapkan penciptaan yang lain (kebangkitan setelah mati) (47), dan sesungguhnya Dialah yang memberi kekayaan dan kecukupan (48).

Dalam QS An Najm tersebut Allah telah memberikan hubungan lawan kata yang tepat, bahwa lawan kata tertawa adalah menangis, maka jika orang tersebut tidak tertawa, maka dia menangis. Lawan kata orang mati adalah hidup. Jika ia tidak mati, maka ia hidup. Lawan kata laki-laki adalah perempuan. Jika ia bukan laki-laki, maka ia perempuan. Lawan kata kekayaan adalah kecukupan. Maka jika ia tidak kaya berarti cukup.

Maka bagi Allah sendiri tidak ada kata miskin. Jika kita tidak diberi harta kekayaan yang melimpah, berarti Allah telah memberi kecukupan bagi kita. Cukup bukan berarti miskin, cukup menurut takaran adalah adil, sesuai dengan porsinya, sesuai dengan timbangannya, sesuai dengan ukurannya.

Maka jika ada orang yang menjelek-jelekkan orang lain miskin, atau ada orang yang merasa dirinya miskin, atau ada orang yang ingin dimiskinkan, aneh sekali pola berfikir orang ini. Bagaimana bisa disebut miskin jika sebenarnya bagi Allah kata miskin itu sendiri tidak ada. Kalau kita merasa tidak kaya, ya berarti kita ini cukup, bukan miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun